Contents
Seberapa Pantas (TAMAT)
2. Sang Penyiar
Angga, Hendra, dan Doyok segera bekerja. Ada beberapa motor yang kemarin belum selesai diservis. Pemiliknya pasti datang hari ini. Mereka bekerja sangat telaten dan selalu tersenyum kepada para pengguna jasa. Itu mungkin yang membuat orang senang menggunakan jasa mereka. Selain itu, Angga menyarankan kepada Doyok dan Hendra agar jangan terlalu tinggi mengambil untung. Apalagi kalau hanya servis tanpa ada komponen mesin yang diganti.
“Duh, lupa euy!” seru Angga disela-sela pekerjaannya.
“Apaan, Bos? Batu Akik?” sahut Hendra.
“Naon ujug-ujug Batu Akik!” seru Doyok.
Angga nyengir.
“Kenapa tadi tidak tanya Pak Ustaz, siapa Rahma yang memandu siaran lagu-lagu Top Hits itu!” ucapnya bernada sesal.
“Memangnya Ustaz itu siaran di radio yang sama gitu?” tanya Doyok.
Sementara Hendra, seolah tidak peduli dengan obrolan Angga dan Doyok. Ia sibuk dengan karburator motor King yang ia bongkar. Sesekali ditiup-tiupnya karburator itu sambil komat-kamit seperti merapalkan mantra.
“AR FM, kan!” seru Angga menghentikan kerjanya memandang Doyok .
“O, iya! Kok aku jadi pikun kayak si Hendra, ya, Bos?”
“Yee... lu mah bukan pikun atuh, tapi pelupa!” Hendra menimpal.
“Sama aja atuh Kusiiir....” balas Doyok.
Angga tertawa. Doyok nyengir kuda. Dia terkadang memang sering dipanggil Doyok karena perawakan yang tinggi kurus. Dan memang wajahnya pun mirip dengan komedian Doyok. Mereka tertawa bersama. Sementara orang-orang yang melihat mereka hanya tersenyum.
Matahari Kota Kembang terasa hangat di punggung Angga. Satu motor telah selesai ia servis. Jam dinding di bengkel menunjukan pukul 9 pagi. Jalan Tamansari sudah ramai. Di kiri dan kanan bengkel, angkringan yang menjual aneka makanan pun sudah mulai buka. Angga duduk sambil membersihkan tangan yang penuh oli dengan lap yang sebelumnya dibasahi oleh bensin. Kemudian, ia mengambil sebuah radio tape dari dalam bengkel. Setelah menyalakannya, ia memutar gelombang mencari siaran favoritnya.
Satu kosong enam koma delapan AR FM adalah gelombang radio favoritnya. Angga hampir tidak pernah absen mendengarkannya. Bukan saja karena lagu-lagu yang enak didengar, melainkan suara penyiar radionya yang menurutnya merdu dan seksi. Suara itu bahkan telah membuatnya jatuh cinta. Cinta buta. Ya, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan hati Angga saat ini. Betapa tidak, Angga belum pernah sekali pun bertemu dengan penyiar bersuara serak-serak basah itu, apalagi kenal. Namun, rasa rindu selalu datang menyelinap jika sehari saja tidak mendengarkan suaranya.
Hendra tersenyum. Begitu pun dengan Doyok. Mereka tahu betul apa yang sedang dirasakan bosnya itu. Beberapa kali, Angga terlihat jengkel. Sudah 3 buah lagu ia dengarkan, tapi suara penyiar itu tidak kunjung terdengar.
“Ke mana, ya?” Angga bicara sendiri, tapi cukup keras untuk didengar Hendra dan Doyok.
“Mungkin sakit, Bos!” sahut Hendra sambil nyengir.
“Tahu dari mana?”
“Kan mungkin atuh, Bos!” sahut Hendra. Lagi-lagi nyengir sambil sibuk membersihkan busi dengan ampelas.
“Kalau benar sakit teh kasian, ya, Bos.” Doyok memasang muka memelas.
Melihat muka Doyok yang tiba-tiba seperti komodo sakit demam, Hendra tidak kuasa menahan tawa. Begitupun dengan Angga. Mereka terkekeh-kekeh. Hendra melempar lap penuh oli ke wajah Doyok.
“Huek! Gila lu, Dra, emang wajah gue karburator apa?” seru Doyok.
“Bukan karburator, tapi knalpot,” timpal Angga.
Hendra dan Angga makin keras tertawa. Sementara Doyok hanya garuk-garuk sambil nyengir kuda. Tidak sedikit pun tergambar sakit hati di wajahnya. Ia tahu, sebenarnya Hendra dan Angga sayang padanya. Saling ledek di antara mereka adalah salah satu ritual untuk menghilangkan rasa jenuh dan lelah dalam bekerja.
“Ssstt!”
Angga memberi isyarat untuk diam. Doyok dan Hendra terdiam. Bersamaan dengan terdengarnya suara serak-serak basah penyiar radio yang sejak tadi ditunggunya.
“Halo-halo... Kawula Muda! Satu kosong enam koma delapan AR FM Bandung. Pagi... pagi… pagiii.... Duh punteun, Neng Rahma yang kecantikannya tidak terpengaruh kenaikan BBM ini telat. Biasa, semalam galau. Nyamuknya nakal-nakal lagi. Ok, Kawula Muda AR FM, untuk 180 menit ke depan alias tiga jam. Ingat! Tiga jam! Rahma yang selalu ditemani oleh Kang Bahar, sang operator dari negeri antah berantah yang akan mengawal Kawula Muda semua dengan memutar lagu-lagu hits minggu ini. Dan seperti biasa, setiap hari Senin, Rahma akan membacakan beberapa SMS ataupun twit yang masuk. Dan sudah ada twit yang masuk pertama dari Astri di SMA Pasundan 1. Ucapannya, ‘Hai Rahma! Astri mau titip salam nih buat Angga di Tamansari yang sedang asyik nyervis motor. Pesannya, jangan lupa makan, ya! Astri kangeenn...’ Ciee ... cieee … rupanya cowok yang namanya Angga ini sedang menjadi top hits minggu ini, ya. Karena hampir tiap hari adaaa ... saja cewek yang ngirim salam buat dia. Kayaknya generasi Afgan nih, hehehe. Sorry! Ok! Sambil Rahma sarapan, kita dengerin sebuah lagu yang agak lawas dikit, Kangen dari Dewa 19. Spesial buat Angga di Tamansari. Kuy, ah!!!”
Angga tersenyum. Menarik napas dalam setelah tadi sempat tertahan oleh suara seksi sang penyiar. Wajahnya cerah. Ternyata penyiar favoritnya tetap mengudara pagi ini. Meskipun dia sedikit kesal dengan keponakannya, Astri, yang mengirim lagu untuknya. Angga sedikit cemas, ia takut dikira cowok playboy oleh Rahma si Penyiar bersuara seksi itu. Karena, memang tiap hari ada saja temannya yang mengirim lagu untuknya.
“Kalau dibiarkan bisa merusak reputasiku nih!” gumamnya pelan. Namun, karena saat itu Doyok sedang berada di dekatnya, ia mendengar Angga bergumam.
“Tenang, Bos, Doyok janji bakalan membela dan menjaga nama baik Bos sampai titik darah penghabisan!” serunya berapi-api laksana seorang juru kampanye yang sedang berorasi.
“Memangnya perang!” seru Angga.
“Idih si Bos mah, perjuangan mendapatkan cinta itu berat, Bos. Lebih berat daripada gendong anak gajah seharian. Makanya, si Bos butuh bantuan saya. Doyok!” seru Doyok lagi.
Hendra hanya nyengir sambil terus fokus dengan pekerjaannya.
“Tidak! aku tidak butuh bantuan siapa pun dalam hal ini. Aku hanya butuh keberanian dan kenekatan untuk mendapatkan wanita ini!”
Itulah Angga. Ia selalu berusaha meraih apa pun sendiri. Tidak pernah bergantung kepada bantuan orang lain. Karena menurutnya, menggantungkan harapan kepada orang lain sama saja dengan bersiap-siap kecewa.
Mendengar jawaban Angga seperti itu, Doyok dan Hendra hanya tersenyum. Mereka sedikit pun tidak ragu dengan keberanian sahabatnya. Angga, pria yang suka akan tantangan. Dan baginya kini, tidak ada yang lebih menantang selain berusaha mendapatkan hati si Penyiar itu. Itulah yang pernah didengar Hendra dan Doyok. Meskipun hingga saat ini, belum terlihat usaha yang real dari Angga walau hanya sekedar untuk berkenalan. Angga masih memikirkan bagaimana cara tepat agar dia bisa setiap hari bertemu dengan si Penyiar. Dia juga tidak mau jika hanya dibilang fans fanatiknya.
Sambil terus bekerja, pikirannya terus melayang mencari jalan dan upaya, agar ia bisa berkenalan dan dekat dengan Rahma si Penyiar. Namun, hingga azan zuhur berkumandang dan Rahma mengakhiri acaranya, Angga belum mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya. Terkadang ingin langsung mendatangi penyiar itu, langsung mengatakan kalau dia suka padanya. Namun, tentu saja itu bukan cara yang baik. Karena menurut pemikirannya, cara terbaik menyatakan cinta kepada seorang perempuan itu adalah dengan tindakan dan perhatian, bukan dengan ucapan.
“Hmm....” Angga menarik napas panjang. Menghentikan pekerjaannya dan langsung pulang dulu ke rumah untuk mandi dan salat zuhur. Sedang Doyok dan Hendra menunggu di bengkel. Seperti biasa mereka bergiliran dalam melaksanakan salat ketika sedang bekerja. Karena tidak mungkin bengkel ditinggalkan tanpa seorang pun yang menjaganya. Namun, salat pun harus tetap mereka jalankan.
Usai salat zuhur, Angga bersiap pergi ke kampus karena ada urusan yang harus diselesaikan. Sambil menunggu lamaran kerjanya diterima oleh rumah sakit, Angga lebih sering menghabiskan waktu di bengkel bersama Doyok dan Hendra. Sebelum ke kampus, ia sempatkan mampir dulu ke bengkel memberikan uang makan untuk kedua pegawai yang telah ia anggap seperti saudara sendiri. Mungkin, oleh sebab itulah Hendra dan Doyok betah dan nyaman kerja di bengkelnya. Angga selalu berpesan agar dalam bekerja lebih mengedepankan menolong daripada mencari untung. Karena keuntungan itu akan datang dengan sendirinya. Angga juga selalu menasihati Hendra dan Doyok supaya jangan pernah meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim, sesibuk apa pun mereka bekerja. Sebab, pada hakekatnya tugas manusia adalah beribadah pada Allah. Jadi, percuma giat bekerja jika tak disertai ibadah. Hanya akan dapat lelah tanpa mendapat berkah.
***