Contents
Dendam Sang Mafia
Bab 5
Andin sedang duduk di depan laptop sembari mengerjakan tugas kuliah. Tiba-tiba, dia teringat dengan nama Aldi Purnama. Kata ayahnya, pria itu seorang pengusaha. Dia jadi penasaran, apakah benar pria yang dia temui di kampus kemarin siang adalah Aldi Purnama.
Karena rasa penasaran terlalu tinggi, Andin memilih keluar sejenak dari lembar tugas di laptop yang masih belum selesai dan beralih masuk ke internet. Ketika dia mengetik "pengusaha sukses di Indonesia" di laman pencarian, muncul sederet nama pengusaha, tetapi tidak ada nama Aldi Purnama. Dia coba menggunakan kata kunci yang lain, hasilnya tetap sama. Dahinya berkerut, mengapa tidak ada satu pun jejak media yang memberitakan tentang Aldi Purnama. Kalaupun Aldi itu pengusaha besar, pasti ada satu atau dua artikel yang membahas tentang kesuksesannya.
Andin menghela napas panjang. Entah mengapa, setiap terbayang wajah pria di kampus itu, dia merasa pria itu berhubungan erat dengan pemilik nama Aldi Purnama. Andai saja acara makan malam ini terlaksana, tentunya dia bisa bertemu langsung dengan sosok pengusaha itu dan menemukan jawaban atas pertanyaan yang sering kali muncul di benaknya.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Nino. Dia segera menjawabnya dengan sapaan sayang, seperti biasanya.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Nino dari seberang telepon.
Cukup mendengar suara lembut Nino, bibir Andin selalu mengulas senyum. "Lagi ngerjain tugas. Kalau kamu?"
"Lagi mikirin kamu." Terdengar suara tawa renyah dari Nino.
Andin ikut tertawa. "Kenapa mikirin aku? Mending tidur, udah malem."
"Gimana aku bisa tidur? Pikiran aku selalu penuh sama wajah kamu. Kangen."
Andin beranjak dari kursi, lalu berjalan menuju jendela yang hanya tertutup tirai tipis berwarna putih. "Kan, tiap hari kita ketemu. Masa masih kangen?"
"Pengennya 24 jam bareng kamu terus."
Bibir Andin tak berhenti tersenyum. Nino paling bisa menggombal dirinya. "Kamu mesti sabar nunggu dua tahun lagi." Sebelum resmi pacaran, Nino berjanji akan menikahinya setelah lulus kuliah.
Terdengar helaan napas Nino yang panjang. "Aku rela nunggu demi kamu walaupun masih lama."
"Oh, ya. Besok pagi, kamu nggak usah jemput aku. Kebetulan, papa mau ke kampus, jadi aku ikut mobil papa. Nggak apa-apa, kan?" Andin terdiam saat mendengar Nino sedang berbicara dengan seorang pria. "Sayang, kamu lagi sama siapa?"
Pertanyaan Andin diabaikan, Nino justru mengakhiri panggilan itu.
Andin ingat, Nino pernah cerita bahwa orang tuanya sudah meninggal, sehingga tidak ada siapa pun di rumahnya. Sekarang, dia malah mendengar suara orang selain Nino.
Mungkin itu suara tetangga atau temannya yang datang, pikir Andin. Gadis itu tidak mau berasumsi negatif terhadap Nino. Dia percaya Nino adalah tipe cowok yang jujur.
Di luar rumah Surya, ada Riza dan Rendi yang sedang mengawasi Andin dari dalam mobil. Mereka ataupun anak buah Aldebaran yang lain diperintahkan untuk memantau gerak-gerik keluarga Surya.
"Sepertinya, kita perlu menambahkan alat perekam suara di rumah mereka, jadi tahu apa saja yang mereka bicarakan dan informasi terbaru tentang mereka," ujar Rendi. Tatapannya terus menatap Andin yang masih berdiri di depan jendela. Sebelumnya, dia sudah meletakkan sebuah alat pelacak di mobil Surya.
"Kamu benar, Ren. Sepulang Pak Al dari Italia, kita diskusikan lagi hal ini dengan beliau," balas Riza. "Kalau perlu, sekalian tambah kamera agar kita bisa memantau kegiatan mereka di dalam rumah."
"Aku setuju." Rendi melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Sebaiknya, kita pergi ke gudang sekarang. Katanya, ada barang masuk jam sepuluh nanti."
"Oke." Mobil yang dikendarai Riza pun melaju meninggalkan area perumahan elit tersebut. Setelah setengah jam menempuh perjalanan, kedua pria itu tiba di gudang yang terletak di belakang rumah Aldebaran.
Gudang itu semula berukuran kecil, kemudian menjadi besar dan luas setelah direnovasi Aldebaran dan dijadikan sebagai tempat penyimpanan dan perakitan senjata api yang dijual kembali ke luar negeri dengan harga yang tinggi.
Tidak siapa pun yang mengetahui aktivitas ilegal itu. Lokasinya sangat tertutup, dikelilingi hutan lebat, dan jalan buntu.
Mobil boks datang. Rendi dan Riza berdiri di luar gudang. Ketika mobil itu berhenti, kedua pria itu memeriksa si sopir dan barang bawaan di dalam boks. Setelah memastikan barang yang dibawa sesuai dengan kiriman dari klien, mobil boks itu melaju ke dalam gudang.
Rendi mengirim pesan kepada Aldebaran, memberi laporan bahwa ada satu boks barang baru masuk ke gudang. Pesan terkirim. Dia dan Riza ikut menyusul masuk untuk mengawasi saat penurunan barang.
***
"Kamu nelpon siapa malam-malam begini, No?"
Tanpa menoleh pun, Nino tahu betul pemilik suara bariton itu. Dia gelagapan, spontan memutuskan panggilan, dan mengunci layar ponsel. Jantungnya berdegup cepat. Apakah pria berusia empat puluhan tahun itu mendengar semua percakapannya dengan Andin?
Nino berbalik menatap Pratama. Entah sejak kapan pria itu tiba di rumah, tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. "Om Tama? Ternyata, Om sudah pulang," ucapnya basa-basi, tetapi sangat kentara gugupnya.
Pratama menatap Nino dengan tajam. Dia melangkah maju, mendekati Nino.
Nino makin deg-degan. Dia bisa merasakan firasat buruk dari aura wajah Pratama.
"Apa kamu masih pacaran sama Andin?" tanya Pratama saat berdiri di depan Nino.
Nino sengaja merahasiakan hubungan spesialnya dengan Andin karena takut Pratama akan melarang. Namun, serapat apa pun dia menyembunyikannya, tetap terendus juga oleh Pratama. Ketakutannya itu justru berbanding terbalik. Yang terjadi, Pratama malah mendukung dan merestui dia berhubungan dekat dengan Andin. Tujuannya agar Nino lebih mudah melaksanakan tugas yang sudah diberikan.
"Iya, Om."
"Kapan kamu akan membalas semua kebaikan Om, Nino?"
Napas Nino tercekat. Setiap disinggung soal kebaikan Pratama, mulutnya serasa membeku.
"Ingat, Nino! Kamu berutang banyak hal kepada Om. Kebaikan Om selama ini tidaklah gratis, harus dibayar setimpal dengan jasa kamu."
Nino mengepalkan tangannya. Kata-kata itu selalu diucapkan Pratama, membuat dirinya geram sekaligus kesal. Dia merasa diperbudak. Hatinya sangat ingin berontak dan melawan. Namun, dia tak berdaya jika Pratama sudah menyinggung masa lalunya.
Enam belas tahun yang lalu, ayahnya masuk ke rumah sakit karena penyakit jantung. Saat itu, Nino masih duduk di bangku SMA sehingga tidak punya uang, sementara ayahnya tidak dapat dirawat jika belum membayar uang muka. Pikirannya buntu. Yang terlintas hanya meminjam uang. Dia mendatangi satu per satu tetangga dan kerabat dekat, tetapi hanya beberapa orang yang membantu. Itu pun masih jauh dari kata cukup. Tak tentu arah dia melangkah, hingga bertemu dengan Pratama di pinggir jalan.
Tidak hanya uang muka, Pratama melunasi semua biaya perawatan ayahnya Nino selama tinggal di rumah sakit itu. Nino benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepada Pratama yang sudah membantu ayahnya. Dengan tekad yang besar, dia mengungkapkan akan membalas kebaikan Pratama suatu hari nanti.
Takdir berkata lain. Setelah satu minggu dirawat, ayahnya Nino meninggal. Hati Nino serasa hancur ditinggal pergi oleh satu-satunya orang yang dia cintai. Ibunya sudah meninggal lima tahun yang lalu karena penyakit strok.
"Om tidak punya anak, sedangkan kamu tidak punya orang tua. Gimana kalau kamu jadi anak angkat Om? Om akan membiayai pendidikan dan memberi fasilitas mewah untuk kamu. Anggap saja, kamu membalas kebaikan Om ini."
Sepeninggal ayahnya, Nino merasa hidupnya sudah tidak berguna. Melihat kebaikan hati Pratama saat ayahnya masih hidup, dia pun luluh dan menerima tawaran Pratama.
Awal mula, kehidupan Nino berubah drastis. Dari yang biasa-biasa saja menjadi super kaya. Mau beli apa pun yang diinginkan, tinggal gesek black card. Bisa tinggal di rumah mewah. Dia juga dibelikan mobil impiannya. Setelah lulus kuliah, Pratama mengatakan semua kekayaan yang diberi kepada Nino tidaklah gratis. Sekadar menjadi anak angkat saja tidaklah cukup untuk membayar kebaikannya dahulu, harus dibayar dengan jasa Nino, yaitu memata-matai dan menghancurkan keluarga Surya.
Sebelum berpaling, Pratama menepuk-nepuk pundak Nino sebelah kanan. "Jangan terlalu larut dalam cinta! Tidak baik untuk masa depanmu! Setelah tugasmu selesai, kamu bisa hidup bebas di luar negeri. Om akan membiayai kehidupanmu."
Nino bergeming sambil memandangi punggung Pratama yang perlahan menjauh. Meski terkenal licik dalam berbisnis, perkataan Pratama tidak pernah main-main. Jika Pratama sudah berkata demikian, pasti akan terwujud. Tawaran Pratama sangat menggiurkan. Dia sudah lelah hidup terkekang bersama Pratama. Jika ingin hidup bebas, satu-satunya cara adalah menyelesaikan tugasnya. Namun, dia tidak bisa menyakiti Andin, gadis yang dicintai.
Nino menengadah ke langit. Dia menatap bintang-bintang sambil berbicara di dalam hati, Aku sudah lama mendambakan kehidupan yang bebas, tapi aku nggak bisa menghancurkan keluarga dari wanita yang aku cintai. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa pilihan ini begitu sulit?
***