Contents
CASTLOVE (TAMAT)
On a dark night, even if we’re lost and wandering, let’s be each other’s light.
Cibubur, April 2008
Haykal Taesano
"KAMU ngikutin aku lagi?”
Itu kalimat pertama yang keluar dari bibir Arumi sejak sekitar sepuluh menit Haykal duduk di sini, spot favorit Arumi saat jam istirahat. Haykal mengedarkan pandangan, memeriksa sekitar, siapa yang menjadi objek percakapan Arumi.
Tapi, gadis yang awalnya hanya terpekur pada gambarnya, kini menghadap Haykal di sebelah dengan kedua alis yang terangkat. “Keliatannya aku nggak ngomong sama kamu, ya?”
Mata Haykal terbelalak. “Oh, lo ngomong sama gue?”
“Bukan, sama kolam.” Gadis itu mendengus, lalu kembali mengabaikan Haykal dengan menekuni gambarnya. Membuat Haykal tertawa pelan atas selera humor gadis itu, sekaligus mencari cara untuk menanggapi Arumi.
“Bagus, deh. Soalnya gue nggak denger,” balas Haykal acuh tak acuh. Homor dibalas humor.
Arumi menghentakkan alat gambarnya di atas pangkuan secara keras. Gadis itu melipat tangan dan menatap Haykal kesal. “Sekolah ini gede. Kamu bisa bareng teman-teman cowok kamu buat menghabiskan waktu istirahat, atau jajan makanan di Kantin Merah-Putih, kan? Atau kalau mau waktu yang lebih berkualitas, bisa ke perpustakaan sana. Kenapa harus di sini, sih?”
Haykal terdiam sejenak. Ditatapnya dengan tenang bola mata Arumi yang menyala. Gadis itu terlihat kesal. “Allan dan Sultan lebih suka futsal buat menghabiskan waktu istirahat, dan gue nggak bawa baju ganti buat bergabung sama mereka. Kantin dan perpustakaan tempat yang banyak orangnya, gue nggak suka. Sekalipun perpustakaan itu suasananya hening, gue risih sama tatapan orang-orang yang ngelihat ke gue seolah-olah gue alien.” Haykal menggurat senyum, di saat gadis di depannya masih dengan wajah kesal. Dilanjutkan penjelasannya dengan nada yang lebih kalem. “Gue pilih di sini, karena ini satu-satunya tempat yang menarik perhatian gue. Sepi, hening, dan kelihatannya, anak perempuan yang biasa duduk di sini memang perlu ditemani.”
Kini, mata Arumi menyipit sinis tanpa kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Tapi kalau ternyata kehadiran gue mengganggu lo, gue minta maaf. Gue nggak ada maksud apa-apa, selain yang gue jelasin tadi.” Haykal menepuk kedua paha dan berdiri dari duduknya.
Gadis yang unik. Lebih unik dari yang dipikirkannya. Cuma senang menghabiskan waktunya sendiri, seolah tak membutuhkan siapa pun dalam kegiatan sekolahnya; mengumpulkan tugas kelas ke guru, menginformasikan segala sesuatu pada anak kelas, menghabiskan jam istirahat sendiri, sampai beberapa kali Haykal melihat gadis itu pulang sendirian saat waktu sekolah usai. Hanya berinteraksi seperlunya pada orang terdekat, tanpa peduli sekitar. Bahkan dengan Nina, teman sebangkunya, kadar interaksi mereka terlihat sangat seperlunya.
“Aku nggak usir kamu.” Gadis itu bersuara lagi ketika Haykal sudah berjalan tiga langkah. Ia memutar kepala, menatap Arumi yang kini tersenyum kepadanya. “Maaf kalau kamu tersinggung sama kata-kataku. Tapi, bukan maksudku nyuruh kamu pergi. Kamu boleh duduk di sini, atau di mana pun. Terserah kamu.”
Haykal tidak bisa menahan diri untuk tersenyum pada gadis di depannya. Senyum Arumi pertama kali, yang ternyata bisa menular padanya.
“Putri….”
Gadis itu mendongakkan kepala dan mendengus. “Teman-teman yang lain pada panggil aku Arumi lho, Kal.”
Haykal tertawa. Ia langsung duduk di bangku depan bangku Arumi. Mencegah gadis itu sebelum beranjak keluar kelas, menghampiri spot favoritnya. “Waktu pertama kali kenalan kan kamu nggak kasih tahu nama panggilanmu ke aku. Ingat nggak? Jadi, keputusan aku dong mau panggil kamu apa.”
Baiklah, sejak pertemuan yang mulai hangat dengan Arumi kemarin, ia mulai menyesuaikan diri untuk menyebut ‘aku-kamu’ dan meninggalkan ‘gue-lo’. Ia hanya ingin memanfaatkan kepercayaan Arumi yang mulai menerimanya, dengan memberikan kenyamanan dalam hubungan pertemanan mereka. Tanpa diduga, pertemuan kemarin yang—kemungkinan membuat Arumi merasa bersalah karena dianggap telah mengusirnya—membuat gadis itu mulai berbicara lebih panjang padanya, dan juga tanpa keberatan menyediakan telinga saat Haykal yang gantian berbicara.
Satu hal unik yang bisa Haykal simpulkan dengan cepat tentang Arumi; tipikal gadis introvert dan mudah tersentuh setelah mempercayakan orang lain masuk ke zona nyamannya. Sikap hangat yang sebenarnya ada di dalam dirinya bersembunyi, sehingga yang tampak justru kebalikannya; dingin, antisosial, dan suka mengeluarkan kata-kata sarkastis.
“Kamu mau ke taman dekat perpustakaan lagi?” tanyanya saat Arumi membereskan peralatannya.
“Iya, kamu mau ikut lagi?”
“Yaaa, kalau kamu nggak merasa terganggu, sih.” Haykal mengangkat bahu.
Arumi menyunggingkan senyum. “Kamu masih tersinggung sama kata-kataku kemarin, ya?”
“Hah? Eh…, nggak, kok. Maksudku—”
“Aku ngerti.” Arumi menyanggah. “Cuma, kamu kan anak baru, rasanya perlu adaptasi sama sekolah deh. Ikut-ikut ekskul apaaa gitu, kedengarannya lebih baik daripada ikut aku ke taman.”
“Masalahnya, tadi aku tanya Allan sama Sultan, di sini nggak ada klub atau ekskul film kan? Jadi berhubung ekskul itu nggak ada, aku belum bisa memutuskan untuk join di mana.”
“Ada,” jawab Arumi pelan. “Tapi baru-baru ini klubnya bubar karena nggak jalan.”
Haykal menyeringai. “Terus bedanya apa kalau gitu, Putri?”
Arumi menggigit bibir bawah. “Atau, gini aja! Kamu bisa ikut ekskul teater. Kebetulan kemarin baru dibuka pendaftaran anggotanya. Kan beda tipis tuh, kegiatannya sama-sama di seni peran.”
“Tapi sayangnya, aku bukan mau terjun ke acting. Justru, mau belajar jadi sutradaranya.” Haykal melenguh dan mengibaskan tangan. “Anyway, thanks sarannya. Nanti biar aku pikir ulang.”
“Hehe, sorry, Kal. Soalnya dari tadi anak di belakang liat-liat kamu ke sini, deh. Rasanya nggak enak aja.” Kepala Arumi menunduk. Ia mengambil salah satu spidol, dan memutarnya pada sebelah tangan.
Haykal mendongakkan kepala, mencari maksud kalimat Arumi. Tepat pada saat itu, gerombolan anak perempuan di belakang—yang biasanya ke kantin di jam istirahat—kini terlihat sedang sibuk mengalihkan ke hal yang lain, saat Haykal menangkap mereka. “Biarin aja. Dari pertama aku masuk sini, kayaknya mereka memang udah aneh. Jangan dipeduliin.”
Arumi berdecak. “Kalau aku cuma sendiri dan mereka cuma ngomongin aku, sih, aku nggak peduli. Tapi, sekarang kan beda.”
“Kalau begitu, anggap aja sekarang kamu cuma sendirian. Jadi, seolah-olah nggak ada yang beda.”
Arumi terlihat ingin menyanggah lagi, dan buru-buru mengurung ucapannya, ketika pundak Haykal ditepuk seseorang. Haykal menoleh.
“Bro, futsal, yuk,” ajak Sultan dengan mengedikkan kepala.
“Sekarang? Gue nggak bawa baju ganti.” Haykal menolak halus dengan mengacungkan kerah seragam.
Allan, yang berdiri di samping Sultan, ikut menimpali, “Pas pulang aja deh. Gimana? Harus mau, ya? Lo belum pernah gabung kita nih dari awal sekolah.”
Haykal menoleh pada Arumi. “Aku harus ikut nggak, Put?”
Mata Arumi terbelalak. “Eh? Ya udah, ikut aja. Kenapa harus tanya aku?”
“Oke.” Haykal menepuk tangan. “Kalau gitu, gue ikut, Tan, Lan.” Lalu menoleh pada Arumi di sebelahnya. “Kamu juga ikut, Put. Temanin aku, sekaligus ada yang mau aku omongin abis itu.”
Sebuah permintaan yang membuat Haykal tersenyum menang. Gadis di depannya kini tercengang dengan ekspresi muka yang ingin membuat Haykal tergelak.
Waktu permainan telah usai.
Haykal menghapus keringat di dahi seraya menengok kembali pada bangku panjang di salah satu tepi lapangan sekolah. Tempat gadis itu duduk sendiri, dengan buku sketsa di pangkuan.
Gadis itu masih dengan gayanya yang sama ketika Haykal mencuri pandang di tengah permainan futsal: sibuk mencoret sesuatu di buku sketsanya, tanpa peduli sekitar. Sesekali ia melihat gadis itu menatap ke arah lapangan sebentar, lalu kembali tenggelam dalam gambarnya.
Haykal berlari-lari kecil menghampiri gadis itu dan meraih botol air mineral dari tas yang terletak di sebelah duduk Arumi. Ia menenggak hingga setengah botol, sementara sisanya digunakan untuk menyiram kepala yang tertunduk. Setelah merasa segar, ia duduk di samping Arumi yang masih terdiam menatapnya.
“Gambar apa, Put?” Haykal menengok dan mencari tahu ke arah hasil gambar Arumi yang disembunyikan gadis itu dengan lengannya. “Liat dong.”
“Ada deh.” Arumi segera menampik dan menutup buku sketsa, lalu memasukkannya ke dalam tas.
“Kasih tau doong.” Haykal membujuk. “Kalau gambar kamu bagus, nanti aku minta ajarin.”
“Ajarin buat?”
Haykal mengangkat alis. “Bikin story board. Salah satu bagian saat plotting untuk film. Ada story board-nya.” Seperti salah satu film yang pernah dibintangi kakaknya, dan ia sesekali ikut dalam proses syutingnya. “Jadi, siapa tahu kamu bisa bantu, kan?”
“Aku aja sama sekali nggak tahu apa itu story board. Dan kamu juga nggak tau aku sukanya gambar apa, kan?” sahut Arumi tak acuh.
“Yaa, makanya kamu kasih tau aku, Nonaaa,” balas Haykal.
Arumi tersenyum. “Chibi. Semacam anime dari Jepang. Aku sukanya gambar yang begitu.”
“Oh, aku pernah tau, tuh. Adikku suka koleksi gambar-gambar itu di kamarnya karena dia maniak banget sama manga-manga Jepang.”
“Oh ya?” Mata Arumi membulat.
Haykal menopang dagu dengan sebelah tangannya dengan wajah yang menatap Arumi. “Apa jangan-jangan, dari tadi itu kamu gambar aku?”
Sontak, Arumi menyemburkan tawa, tangannya ingin menepuk Haykal yang sayangnya hanya berakhir melayang di udara. “Kamu kege-eran!” sahutnya cepat. “Bukan kamuuuu. Dan nanti aja aku kasih taunya, kalau lagi ada gambar bagus. Janji.” Arumi menunjukkan kelingking kanannya ke hadapan Haykal, membuat Haykal tersenyum.
“Oke. Deal kalau begitu.” Haykal mengangkat alis dan mengembuskan napas. Bertepatan dengan itu, di tengah lapangan Haykal menatap Sultan dan Allan melambaikan tangan ke arahnya dan berjalan menuju arah parkiran sekolah.
“Bro, pulang duluan!” seru Sultan pamit. “Arumi, kita pulang duluan, ya!”
“Yo! Hati-hati!” balas Haykal melambaikan tangan. Ia menatap Arumi yang tidak membalas seruan pamit dari Sultan. Ekspresinya seperti orang tercengang dengan mata yang fokus menatap ke depan. Membuat Haykal jail menyenggol lengan Arumi. “Putri? Kamu dipamitin, tuh.”
“Oh iya, bye,” balas Arumi sekenanya. Lalu gadis itu menarik napas dan menghadap Haykal. Dari bola matanya, Haykal merasa gadis itu tengah merahasiakan sesuatu. Terlihat karena dari gesture tubuhnya gadis itu gugup. Perlu jeda waktu beberapa detik, sampai akhirnya suara Arumi terdengar lagi. “Katanya kamu mau ngomong sesuatu ke aku?”
“Ngomong sesuatu?” Haykal mengerutkan dahi. “Aaah, yang tadi. Cuma mau bilang, kamu dapat salam dari Bunga.”
“Bunga? Maksud kamu Bunga Shovia?”
Haykal mengangguk cepat. “Iya. Tau, kan?”
Arumi mengerjapkan mata. Tanpa menjawab pertanyaan Haykal, ia justru melempar balik pertanyaan, “Dia udah di Indonesia sekarang?”
“Belum. Tapi sebentar lagi ke sini katanya. Belum tau tepatnya kapan. Kamu emangnya tau di mana dia sekarang?”
Arumi mengangguk pelan. “Berlin. Kata salah satu majalah yang aku baca, sih, gitu.”
Kalau boleh jujur, Haykal agak terkejut begitu tau ketertarikan Arumi pada majalah remaja perempuan. Terutama majalah yang biasanya ada Bunga sebagai modelnya adalah majalah fashion. Baiklah, sebenarnya pandangan ini terdengar begitu meremehkan. Hanya saja di sisi lain, ia menganggap Arumi yang pendiam, tertutup, biasanya sibuk dengan hal lain di luar hal-hal yang bersifat keperempuanan. Dan penilaian ini berlandaskan pengalamannya berteman dengan cewek-cewek berkepribadian mirip-mirip dengan Arumi dulu.
“Ngomong-ngomong, kamu nggak cerita apa-apa, kan, tentang aku ke Bunga? Aku takutnya dia pikir yang aneh-aneh,” ujar Arumi lagi.
Haykal tertawa kecil, “Tenang aja, dia welcome, kok. Dia cuma tanya tentang teman-temanku di sini. Terus titip salam ke teman-teman baruku. Berhubung Sultan dan Allan pasti heboh kalau aku sampaiin, jadi aku sampaiin salamnya ke kamu.”
Arumi tersenyum lega. “Syukurlah, dia sebaik yang aku tau.”
Haykal mengangguk cepat. “Nanti aku kenalin ke kamu kalau dia di sini.”
Mata Arumi mengerjap. “Serius?” Gadis itu menangkupkan tangannya ke wajah. “Wah, mau banget, Kal. Dia itu salah satu idolaku.”
“Oh ya? Masa?” Haykal menggoda. Melihat Arumi menyatukan alis, mengejar jawaban, ia segera mengalihkan topik. “Udah sore, Put. Sekolah udah sepi. Pulang, yuk?”
Arumi mengedarkan pandangan ke sekitar sebelum akhirnya mengangguk setuju.
Di depannya, masakan Lusia Milana memenuhi meja makan. Sup asparagus, pasta, dan es lemon favorit Haykal, yang membuatnya berharap makan malam ini bukan berlangsung sementara. Ia berharap selamanya. Sebuah kenyataan yang ia terima dari dulu dan ia harap tak ada yang berubah. Selamanya, bersama keluarga utuh, dan tidak ada yang terpecah.
“Tadi gimana di butik, Ma? Rame nggak?” Ia membuka topik pembicaraan sambil menyendokkan nasi ke piring. Satu hal yang tak ingin ia lewatkan selama tinggal bersama sang mama; melewatkan jam makan malam yang Lusia Milana selalu luangkan setiap harinya.
“Lumayan. Mama dapat orderan wedding dress tadi. Dan konsepnya juga unik. Kalau udah Mama rancang, kamu liat, ya, nanti?”
Haykal mengacungkan jari jempolnya. “Siap, Bos!”
Lusia Milana menyuap makanan pertama ke mulut dan menatap Haykal sambil menjentikkan jari. “Katanya, dekat-dekat ini Bunga mau ke Indo, ya?”
Haykal mengedikkan bahu dan mengangkat alis. “Katanya, sih, begitu. Dia mau jadi model Mama lagi di acara fashion show nanti?”
“Kalau dia nggak keberatan, sih, Mama dengan senang hati. Mama senang dengarnya, Kal, dia mau pulang. Kan, ada yang mau ngenalin dia ke Mama, bukan?” Lusia Milana menyenggol tangan Haykal, membuat anak lelakinya terkekeh pelan. “Ngomong-ngomong, how’s your school? Katanya kemarin ada yang mau diceritain ke Mama soal anak cewek di sekolah kamu itu. Siapa namanya? Putri atau Ratu?”
Gerakan Haykal terhenti, seketika memorinya membingkai adegan tadi sore; pada senyum Arumi yang meminta—nyaris memaksa—Haykal untuk tidak mengantarnya sampai rumah, sebaik apa pun Haykal berkata bahwa ia tak keberatan. Tapi gadis itu tetap mencegah agar motor Haykal sampai di dekat jalan rumahnya, sehingga membuat Haykal tak ada pilihan lain.
Ia tidak pernah berusaha mendekati perempuan mana pun sebelumnya, apalagi sampai serumit ini. Beberapa dari mereka-mereka yang sering kali menerimanya dengan tangan terbuka dan melakukan apa yang ia mau, kerap kali juga ia abaikan. Perempuan tak seharusnya mengabaikan pertahanan diri untuk melakukan apa yang tak seharusnya. Sikapnya yang seperti ini hanya ingin menegaskan batas, supaya siapa pun yang mendekatinya tak terlalu membesar-besarkan khayalan.
Kecuali, pada gadis yang dari awal sudah bisa dipercayainya. Ia menggaris besar untuk bagian ini. Sejak awal, ia menaruh simpati pada gadis mana pun yang bisa menjaga diri dan menempatkan posisi, sehingga ia tak perlu repot mengajarkan caranya menyesuaikan diri. Dan sejak pertama, pada gadis bernama Arumi Putri, ia menaruh apresiasi. Ia bisa berekspresi lepas, bebas menjadi diri sendiri, seiring dengan waktu yang—ia yakin—akan membawa satu sama lain semakin membuka diri.
Sebenarnya, mungkin tak seharusnya ia menaruh kepercayaan utuh, pada seseorang yang baru resmi menjadi temannya kurang dari satu minggu. Hanya saja, lewat pribadi Arumi—yang terlihat berbeda—ia seperti mendapat jawaban bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan. Gadis itu memang terbiasa sendiri, ia tergerak menemani, dan gadis itu tidak menolak.
Setidaknya, itu yang bisa ia nilai saat ini. Kalaupun salah, ia berharap perubahan itu muncul di saatnya ia kembali.