Try new experience
with our app

INSTALL

Bite the Bullet (TAMAT) 

LIMA

Sedikit membalas kekesalan Yunan ternyata cukup menyenangkan.

Kelas sudah lama berakhir, tapi Nesia baru datang ke rumah kaca hampir satu jam setelahnya. Keterlambatan Nesia pasti membuat Yunan kesal. Memang itu tujuannya. Ada perasaan bahagia menyelusup ketika membayangkan wajah kesal Yunan.

Saat akhirnya Nesia sampai di rumah kaca, dia sudah membayangkan akan disambut amukan serapah Yunan. Ternyata, dia mendapatkan balasan yang jauh lebih menyenangkan. Alih-alih kata-kata tajam Yunan, senyum manis Wira-lah yang menyambutnya. Ibaratnya, Nesia sudah bersiap untuk siksa neraka, tapi tanpa dinyana dia disuguhi nikmat nirwana.

“Yunan mesti nemenin adiknya karena ibunya lagi check up ke rumah sakit,” jawab Wira saat Nesia tanya ke mana perginya Yunan.

Itu pertanyaan basa-basi, tentu saja. Nesia tidak benar-benar peduli ke mana Yunan pergi. Tapi mendengar jawaban Wira, ada sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba muncul. Sebenarnya dia sudah hendak tanya perihal penyakit Ibu Yunan, tapi Wira buru-buru melanjutkan kata-katanya. 

“Jadi karena lo telat, Yunan minta gue buat gantiin dia.”

Kini dia tiba-tiba merasa begitu bodoh dan tidak bertanggung jawab. Kalau saja dia tahu bakal ada Wira, mungkin dia tidak akan sok sibuk hingga telat datang seperti ini. 

“Sorry,” balas Nesia pendek, sedikit rikuh dan salah tingkah.

Oke, Nesia memang sering membayangkan bisa seperti ini, berbincang berdua saja dengan Wira. Tapi saat kesempatan itu benar-benar ada, dia malah kehabisan kata-kata. Dia tidak bisa meramu kalimat dengan benar. Sejujurnya, dia bahkan tidak bisa berkonsentrasi. Otaknya mendadak kacau, detak jantungnya melonjak terlalu girang. Pandangannya tak henti mengagumi setiap jengkal wajah Wira. Matanya yang hitam tajam, alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tak henti merekahkan senyum manis, hingga garis tegas yang membentuk tulang rahangnya. Semua tampak memesona. Detak jantung Nesia makin tak terkendali. Sepertinya ini kali pertama dia benar-benar bisa dekat dengan cowok pujaannya.  

Hanya Nesia, atau cinta memang selalu membuat penderitanya menjadi konyol seperti ini?

“Oh, iya, selamat bergabung di Vigor.” Wira memecah keheningan yang nyaris menjalar. Nesia tersentak dan segera menurunkan pandangan. Merasa malu. “Kemarin lusa gue nggak bisa datang. Gue ada acara.”

“Makasih.” Sial! Lagi-lagi cuma satu kata pendek. Nesia, berpikirlah. Cari bahan pembicaraan. Apa pun.

 “Ngomong-ngomong, tadi Yunan bilang, katanya lo belum tahu mau nanam apa buat persiapan Alex?” tanya Wira, lagi-lagi dia yang memecah keheningan.

Nesia mengangguk senang, merasa mulai punya bahan untuk dibicarakan. “Iya, gue sama sekali nggak punya pengalaman apa-apa soal tanaman.”

“Buat Alex nanti, klub kita mau ambil tema vegetable,” ujar Wira mulai menjelaskan. “Anggota junior udah dibagi jadi dua kelompok. Satu buat nanam sayuran buah, satu lagi nyiapin sayuran daun. Kelompok kita dapat yang sayuran daun. Sementara itu, anggota senior kebagian nyiapin perangkat hidroponik dan vertikultur.”

Hidroponik? Vertikultur? Nesia yakin pernah mendengar istilah-istilah itu di salah satu mata kuliah dasar semester lalu. Hanya saja, dia tidak benar-benar paham. Sekarang, dia agak menyesal tidak benar-benar memperhatikan saat kuliah.

Nesia mengangguk sok paham. Dia tidak ingin terlihat terlalu bodoh di depan Wira. Cukup fokus pada hal yang dia tahu saja.

“Minggu kemarin, setiap anggota udah milih tanaman apa yang mau ditanam,” lanjut Wira. “Gue milih bayam cabut, Yunan milih selada, Arin milih kangkung, dan Fajar milih sawi. Masih ada kubis, bawang daun, seledri, atau lo bisa pilih sayuran daun apa pun selain empat jenis itu.”

“Yang gampang apa, ya?” Nesia nyengir, benar-benar tidak tahu. Dia cuma ingin menanam tanaman yang paling mudah tumbuh. “Kalau sulit, takut mati. Gue, kan, nggak paham apa-apa.” Nesia kembali memainkan kartu berlabel ‘tak-berpengalaman’ miliknya seraya memperlebar cengiran. Kalau Wira jahat, mungkin dia sudah akan menghinanya dengan menghubungkan statusnya sebagai putri seorang dosen. Semacam, ‘masak putri dosen kayak gitu aja nggak tahu’. Untungnya, Wira tak sejahat itu. 

“Sebenarnya, bayam sama sawi sih yang paling mudah tumbuh.”

“Oh,” gumam Nesia sedikit kecewa. “Kalau kubis sulit nggak tumbuhnya?”

“Atau, lo mau tukeran sama gue aja?” Wira menawarkan, membuat Nesia sedikit tersentak. “Lo yang bayam cabut, nanti biar gue yang nanam kubis. Gimana?”

“Lo serius?” Nesia memastikan, yang langsung disambut dengan anggukan ringan oleh Wira. Girang memenuhi rongga dada Nesia. “Yes. Thanks, Wir.”

Wira kembali mengangguk. “Terus, lo udah tahu belum di mana beli benihnya?”

Nesia menggeleng. “Nanti coba gue cari tahu. Atau, gue bisa minta suruh antar Vindi.”

“Atau, kalau Sabtu besok lo nggak ada acara, kita bisa beli benih bareng,” ujar Wira menawarkan sesuatu yang tidak pernah terpikir di benak Nesia.

“Ya, ya, gue nggak ada acara,” jawab Nesia seketika itu juga.

Rasanya dia menjawab terlalu cepat dan terlalu bersemangat. Sedikit memalukan sebenarnya, tapi dia tidak peduli. Yang dia pedulikan, Sabtu nanti, dua hari lagi, dia akan pergi berdua saja dengan Wira. Impiannya sejak lama akan segera terwujud.

Wira hanya tersenyum melihat antusiasme Nesia.

Nesia, ingat. Lo cuma mau beli benih bareng, bukan nonton film atau makan malam romantis. Hati kecil Nesia yang masih waras mengingatkan, tapi sisi genitnya menyahut tak acuh. Tak perlulah lo permasalahin untuk apa kalian pergi. Yang lebih penting adalah dengan siapa lo pergi.

Skakmat untuk diri sendiri.

***

Selepas urusan pemilihan komoditas, Nesia tak langsung pulang. Dia menghabiskan waktu jauh lebih lama lagi di rumah kaca bersama Wira.

Tadinya Nesia sudah berniat untuk pulang. Tapi begitu Wira menawarkan diri untuk memberinya sedikit tur rumah kaca, dia langsung melupakan rencana pulangnya. Apa pun alasannya tadi untuk bisa cepat-cepat pulang, rasanya jadi tak terlalu penting dibanding berdua dengan Wira lebih lama lagi.

Nesia baru saja dikenalkan dengan berbagai tanaman di rumah kaca yang sebagian baru dia ketahui namanya. Berbagai jenis kaktus yang mengisi deret sisi kanan rumah kaca, yang paling banyak terpapar matahari. Berbagai macam anggrek yang menggantung di akar pakis memenuhi dinding sisi kiri rumah kaca. Berbagai macam mawar warna-warni meramaikan deret meja tengah. Melihat tanaman penuh warna itu, rasanya Nesia ingin memboyong isi rumah kaca ini ke halaman rumahnya yang sempit. Bahkan berbagai tanaman sayur yang tak pernah dia anggap menarik sebelumnya, entah kenapa kini tampak berbeda.

“Ini kalian semua yang tanam?” Nesia bertanya takjub. Dia tak menyangka, UKM yang selama ini minim apresiasi ternyata punya koleksi yang cukup mengagumkan.

Dua hari lalu dia terlalu sibuk bertengkar dengan Yunan, sehingga tidak sadar rumah kaca ini ternyata begitu indah. Begitu memanjakan mata. Kenapa dia bisa sampai melewatkan keindahan seperti ini? Atau, jangan-jangan penilaian Nesia kali ini bias oleh kehadiran Wira? Entahlah.

“Hampir semuanya iya, kecuali kaktus-kaktus itu.” Wira mengangguk, lalu menunjuk deretan kaktus di sisi rumah kaca. “Kalau yang itu tinggalan anggota senior yang udah wisuda.”

Nesia ikut mengangguk. Matanya mengedar kagum sekali lagi, sebelum berhenti di sebatang tanaman mawar di meja tengah rumah kaca. Dia berjalan mendekati tanaman itu. 

Seketika Nesia takjub. Heran. Di depannya kini berdiri sebatang tanaman mawar berukuran mini yang tengah merekahkan empat bunga dengan warna berbeda; kuning, putih, merah, dan merah muda. Di balik kekaguman itu, sebuah tanya tiba-tiba menyeruak. Bagaimana bisa satu tanaman memiliki empat bunga dengan warna berbeda? Dia mengamati pangkal batangnya, berharap ada empat batang tanaman. Nyatanya, hanya ada satu batang. Jelas cuma satu tanaman.

“Itu hasil sambungan,” ujar Wira tiba-tiba sedikit membuat terkejut. Nesia menoleh, sedikit bingung. Wira malah menguarkan tawa kecil. “Mawar mini itu. Lo pasti lagi bingung kenapa satu tanaman bisa punya empat bunga yang beda-beda warnanya, kan?”

Ketahuan. Nesia nyengir malu, tapi tetap mengangguk membenarkan tebakan Wira.

“Di semester satu, kuliah Pengantar Ilmu Pertanian, masih ingat materi perbanyakan vegetatif buatan?” tanya Wira lagi.

Nesia langsung mengangguk, sambil mengingat-ingat materi itu. Lagi-lagi dia tidak ingin terlihat bodoh di depan Wira. “Yang ada cangkok dan steknya itu, kan?”

“Ya, itu salah duanya.” Wira membenarkan. “Kalau mawar empat warna ini dibuat pakai teknik grafting atau penyambungan. Tanaman aslinya sebenarnya cuma punya bunga warna merah, tapi kemudian cabang-cabangnya disambung dengan mawar warna lain. Hasilnya, bisa lo lihat sendiri. Cantik, kan?”

Nesia mengangguk, makin kagum. Ternyata UKM ini bukan cuma urusan menanam dan panen. Ada kerja kreatif yang turut serta di dalamnya.

“Kalau lo mau, kapan-kapan gue bisa ajarin lo bikin mawar kayak gini.” Wira menawarkan, tiba-tiba.

“Serius?!” tanya Nesia. Wira langsung mengangguk mantap. “Mau. Mau banget.”

Hati Nesia tiba-tiba dicumbu bahagia. Memang tak salah dia menjagokan Wira dalam taruhannya. Dilihat dari sisi mana pun, posisi Wira jelas lebih unggul dibanding Yunan. Untuk mendefinisikan sesuatu bernama ‘suka’, perlakuan Wira yang begitu lembut dan menyenangkan jauh lebih terdefinisi daripada tusukan kata-kata tajam Yunan.

***

Sebelas tahun lalu.

Itu adalah hari ulang tahun tersedih yang pernah Yunan kecil rayakan sejauh ini. Dia mungkin baru berumur delapan tahun, tapi dia tahu bahwa acara ini tidak akan pernah sesempurna tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja tidak akan pernah. Banyak hal yang telah berubah.

Tidak ada lagi sosok Ayah di antara mereka. Itu pembeda yang paling jelas. Empat bulan lalu, sebuah kecelakaan lalu lintas telah merenggut kehadiran Ayah dari sisi tiga putranya. Kecelakaan itu juga merenggut kemampuan berjalan Ibu. Yunan tak tahu apa nama penyakit yang diderita Ibu. Yang dia tahu, sejak pulang dari rumah sakit beberapa bulan lalu, Ibu selalu duduk di kursi roda. Kesulitan melakukan banyak hal, termasuk memasak dan merawat Gema, adik laki-lakinya yang masih bayi.

Jadi, Yunan kecil tak sedikit pun protes ketika ulang tahunnya kali ini hanya dirayakan dengan sebuah kue berhias lilin berbentuk angka delapan di atasnya. Tak ada sajian makanan malam mewah masakan Ibu seperti biasanya. Yang ada hanya beberapa piring makanan sederhana yang kakaknya beli dari luar. Juga, dia pasrah ketika tak melihat satu kotak hadiah pun. Padahal dulu saat Ayah masih hidup, dia sempat berjanji akan menghadiahi Yunan dengan sepeda baru.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga...”

Lagu itu mengalun di sekitar meja makan. Ibu ikut bersenandung, menimpali suara Bagas yang paling kencang di antara yang lain, sembari menimang Gema dalam pangkuannya. Yunan menutup mata dan mengucap doa sebelum meniup lilin di depannya. Tepuk tangan riuh mengikuti begitu lilin padam seutuhnya.

Yunan mendongak, menatap wajah-wajah bahagia di sekelilingnya. Ibu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Sementara itu, Bagas membentangkan senyum sangat lebar, senyum yang mengingatkannya pada senyum Ayah. Yunan ikut tersenyum. Sulit untuk tak tertular kebahagiaan itu.

Lalu, hal-hal lain berjalan dengan cepat. Menyanyi lagi, memotong kue, dan ucapan-ucapan selamat.

Yunan masih sibuk mengunyah kue ulang tahunnya ketika tiba-tiba Bagas bangkit meninggalkan meja makan. Kenapa dia pergi, padahal kue di piringnya masih separuh lebih?

“Abang mau ke mana?” tanya Yunan pada Bagas.

“Mau ganti baju,” jawab Bagas menunjuk seragam SMA yang masih melekat di tubuhnya. Akhir-akhir ini dia memang sering pulang mendekati waktu makan malam. Dia sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional SMA-nya.

Yunan mengangguk dan kembali menyuap sesendok kue lagi. Beberapa kali suapan kemudian, tiba-tiba Bagas sudah kembali duduk di kursinya. Anehnya, dia belum berganti pakaian. Dia masih mengenakan seragamnya.

“Kok nggak...?”

Yunan sudah hendak menanyakan kenapa kakaknya tidak jadi berganti pakaian, ketika Bagas tiba-tiba memotong kalimatnya. “Coba tengok ke belakang?”

“Hah?”

“Tengok ke belakang,” perintahnya lagi.

Meski dengan kebingungan yang makin besar, Yunan menurut. Dia menengok, mengikuti arah pandang kakaknya. Satu tengokan 180 derajat, dia langsung berteriak gembira.

“Sepeda!” teriak Yunan girang bukan main melihat sepeda baru di belakangnya.

Ini benar-benar luar biasa. Tadinya, Yunan pikir tak akan ada hadiah untuk ulang tahunnya kali ini. Sekali pun ada, dia tidak menduga akan mendapat sepeda, hadiah yang sangat dia impikan.

“Makasih, Bang,” ujar Yunan masih kegirangan. Dia sedang mengelilingi sepeda baru itu, seolah ingin memastikan bahwa sepeda itu nyata.

“Ngucapin makasihnya ke Ibu aja,” jawab Bagas. Senyum di wajahnya benar-benar cerah. “Ibu yang beliin sepeda itu.”

Yunan menoleh ke arah Ibu, lalu berlari menghampirinya. Memeluknya erat. “Makasih, Bu.”

Ibu mengangguk dan tersenyum. “Iya. Dirawat baik-baik, ya?”

Yunan mengangguk mantap. “Siap!”

Saat itu, Yunan benar-benar percaya bahwa itu adalah hadiah dari Ibu. Beberapa tahun kemudian, dia baru sadar Bagas telah membohonginya. Bukan Ibu sebenarnya yang membelikan sepeda itu untuknya. Bagas-lah orangnya. Dia rela menyisihkan gaji tiga bulan penuh dari hasil kerja paruh waktu demi bisa memberikan hadiah untuk adiknya.

“Abang cuma mau bantu wujudin janji Ayah sebelum meninggal,” jawab Bagas kala Yunan mengonfirmasi kebenaran berita itu, beberapa tahun setelah malam ulang tahun kedelapannya. “Kini Abang-lah laki-laki tertua di rumah ini. Bisa dibilang, Abang adalah pengganti Ayah, seseorang yang harus ada ketika anggota keluarganya butuh.”