Try new experience
with our app

INSTALL

CASTLOVE (TAMAT) 

If you could see, here’s an empty space for you.

Cipanas, Januari 2014

Arumi Putri

 

SALAH satu cara untuk menentukan jawaban atas permintaan Sultan adalah pulang ke rumah.

Kedengarannya memang sama sekali bukan keputusan yang benar; ketika Sultan yang jauh-jauh dari Surabaya menemuinya sampai Jakarta, dan ia yang ada di Jakarta, justru pulang ke rumah orang tuanya di Cipanas. Sultan hanya tau ia sedang bertugas acara tour sekolah. Dan ia—dengan kepulangannya ke rumah ini—bukan bermaksud untuk mendiskusikan hal penting itu bersama orang tuanya. Ia hanya ingin berdiskusi pada diri sendiri dengan menakar hati lewat jejak-jejak masa lalu yang belum tertutup penuh. Dan berharap dengan cara ini, keputusan terbaik akan muncul nantinya, sesuai dengan pikiran dan perasaan yang tepat.

Suara gaduh terdengar dari dalam rumah begitu Arumi mengucap salam, yang disusul dengan tiga kurcaci kecil menyembul ke luar menyambutnya. Aya, Chaca, dan Abid. Tiga sepupu kecilnya ini pasti dititipkan ke ibunya karena Tante Melati—adik bungsu Ibu—lembur kerja lagi. Dan berhubung ia anak satu-satunya di keluarga ini, Sukma Ratnasari—ibunya—yang merasa kesepian, sama sekali tidak keberatan kalau direpoti bocah-bocah ini.

“Waah, ada yang pulang,” sambut Ibu. “Ayo, Aya, Chaca, Abid, salim ke Kakak Putri,” lanjut Ibu yang disusul dengan tiga bocah tadi berebut tangan Arumi. “Naik apa ke sini, Put? Nggak bilang-bilang sama Ibu kalau mau pulang.”

Arumi mencium tangan ibunya seraya tertawa kecil. “Sengaja, Bu. Mau kasih surprise.”

Ibu mengelus kepala Arumi lalu mencium pipi anak semata wayangnya itu. “Pilih mandi-istirahat, atau mandi-makan-istirahat?”

“Mandi langsung tidur aja, Bu. Tadi di jalan sambil ngemil, jadi sekarang masih kenyang.” Lalu mata Arumi menyapu isi rumah. “Bapak di mana? Nggak di rumah?”

“Lagi di Kelurahan tadi ada acara bapak-bapak. Ya udah, kalau mau mandi dulu. Mau Ibu buatin air panas sekalian?”

Arumi mengangguk cepat. Diletakkan tasnya di sofa ruang televisi dan segera menghampiri kamar mandi.

MATANYA mengerjap-kerjap beberapa kali sebelum terbuka total. Efek bangun tidur membuat pikirannya belum fokus penuh, tapi entahlah, tiba-tiba sensor kepalanya merasa ada yang kurang dengan kamarnya sendiri. Satu detik, ia masih berpikir, dua detik…, tiga detik; boks biru kenangan Haykal! Ah, iya betul! Terakhir kali ia ke sini, ia belum mengubah sejengkal pun dekorasi kamarnya. Dan ia benar-benar ingat, boks biru itu selalu ada di atas lemari bajunya. Tadi saat masuk kamar, ia belum menyadari apa pun karena yang ada di pikirannya hanyalah ingin istirahat. Sekarang, di mana boks itu?

Ia segera bangkit dari tidurnya dan mengobrak-abrik isi kamar. Mulai dari kolong kasur, rak buku, lemari baju, kolong meja rias. Semuanya…, tidak ada. Ia menggigit bibir bawah, ketakutan menggerogoti pikiran dan hatinya.

 “Kak Putri!!”

Arumi segera menoleh pada pintu yang terbuka tiba-tiba. Dua anak perempuan menyembul masuk tanpa aba-aba. Aya dan Chaca. Mereka berdua langsung cekikikan, membuat Arumi kebingungan.

“Hihihi… Kak Putri rambutnya acak-acakan kayak nenek sihir. Hihihi,” ceplos Aya dengan nada berbisik—yang sayangnya terdengar telinga Arumi. Dua bocah itu menutup bibir, membenam tawa, membuat Arumi memeriksa rambutnya.

Oh, geez. Kusut!

“Kak Putri, kata Bapak, kalau udah bangun, ditunggu Bapak di ruang makan,” sahut Chaca.

“Iya, nanti Kak Putri nyusul, ya. Sekarang Kak Putri mau sisiran dulu.”

Kedua bocah itu kembali cekikikan. “Kak Putri kayak nenek sihir. Hihihi.” Aya mengulang ucapannya, sebelum mereka menutup pintu dan meninggalkan Arumi sendiri.

Arumi menatap dirinya sendiri lewat pantulan cermin meja rias. Rupanya benar-benar porak poranda. Tapi, masa bodoh lah. Masalah ini bisa segera dibereskan, tapi, masalah utamanya masih belum menemukan jawaban; boks biru itu ke mana?!

"GIMANA kabar kerjaan, Put?” Firmansyah—bapaknya—membuka  percakapan seraya menyendok sepotong ikan.

“Baik, Pak,” jawab Arumi singkat. 

“Masih mau di situ? Nggak coba buat kerja jadi konselor perusahaan?”

Topik ini lagi! Arumi mengeluh dalam hati. Nggak Bapak, nggak Sultan, selalu bertanya hal yang sama. Padahal dari dulu, jawabannya pun tak pernah berubah. Keputusan yang dilewati banyak pertimbangan ini masih belum memiliki alasan untuk berubah pikiran. “Masih, Pak.” Singkat, dan semoga dengan ini Bapak selalu ingat.

“Kemarin Bapak ketemu teman lama, dia sekarang kerja di salah satu perusahaan makanan di Jakarta. Katanya ada lowongan di bidang konselor. Kalau kamu mau…”

Arumi mengangkat bahu dan mengembuskan napas. Penawaran yang tidak jauh berbeda dengan Sultan.

“Ngomong-ngomong, Put.” Suara Ibu menengahi. Mungkin Ibu bisa menangkap suasana yang tak enak lewat pembicaraan tadi. “Teman kamu yang namanya Sultan itu nggak ada kabarnya lagi? Jadi ingat dulu waktu dia anterin kamu pulang, kan.”

Tubuh Arumi menegang seketika. Ia pikir, percakapan yang akan dibawa Ibu nggak akan membuat suasana mencekatnya. Tapi, kini ia terbawa oleh perasaan mencekik atas rasa bersalah pada Sultan. “Ba…baik, Bu. Dia kerja di Surabaya.” Degup jantungnya berdebar keras. Berharap getaran suara aneh yang ia keluarkan tadi tidak membuat Ibu curiga.

Yah, sejak dulu ia dan Sultan tergolong akrab, mungkin Ibu menganggap mereka sebagai teman dekat. Dan sampai sekarang pun, Arumi masih enggan buka suara tentang hubungan mereka sebenarnya. Terlalu ragu dan takut.

“Kapan dia ke sini, ya?” Ibu menggumam sendiri—menyambung percakapan yang tadi, membuat Arumi hanya mampu memandang makanan di hadapannya, tanpa ada nafsu untuk melahap. Nafsu makannya menguap tak bersisa.

“Ngomong-ngomong…,” Bapak kembali membuka suara. “Kemarin Tante Melati sama Om Irham sempat nginep di sini sebelum bocah-bocah mereka dititipkan. Mereka tidur di kamar kamu. Jadi, Ibu sama Bapak beres-beres. Barang-barang kamu yang udah usang dan berdebu kami buang.”

“Buang?!” Sensor di kepala Arumi mendeteksi cepat. Apa boks biru itu termasuk dalam barang usang yang dimaksud Bapak?

“Iya. Yang kecil-kecil langsung dibuang, kalau yang besar-besar, taruh di gudang.”

Arumi langsung meninggalkan ruang makan dan meluncur ke gudang tanpa aba-aba. Berharap barang yang dicarinya masih ada.

BAPAK marah. Dan untuk hal ini, sebenarnya Arumi bisa menerka akan terjadi.

Mereka sering berselisih pandangan. Dan sepertinya, sampai kapan pun, Bapak menganggap pandangan Arumi selalu salah, sebanyak apa pun ia membela diri, mengklarifikasi.

Nada-nada tinggi keluar dari bibir Bapak. Pada kalimat-kalimat yang membuat Arumi ketakutan. Dan seperti yang sudah-sudah, Arumi menunduk, bungkam, meski ingin sekali menyampaikan kalimat-kalimat yang membanjiri benaknya. 

Untuk kali ini, masalah ada di boks biru yang ia pegang. Kilat marah terpancar kuat di mata Bapak, begitu ia kembali dengan debu-debu yang menempel di baju, demi boks biru ini. Bapak tidak pernah mengerti arti boks biru ini untuknya. Sehingga yang Bapak anggap, usahanya sangat tidak masuk akal.

“Kamu nggak menghargai ucapan Bapak dulu-dulu kalau kamu masih simpan barang itu! Jangan bergaul sama anak artis. Bisa rusak kamu!”

Arumi menangis. Terlalu sakit mencerna kesimpulan tanpa landasan fakta apa pun. Rasanya ingin sekali ia sangkal. 

Karena di hatinya, seperti ada celah khusus yang didedikasikan untuk seseorang pemilik boks ini.

Sesuatu di luar rasa cinta, yang ia sendiri sulit mendeskripsikannya.

Sesuatu yang mendorongnya untuk segera meninggalkan rumah. Melarikan boks biru yang baru ia temukan kembali, menuju tempat yang memanjakan memorinya, mencetak jelas wajah lelaki kelas sebelas yang diam-diam selalu memperhatikannya; SMA Merdeka.