Try new experience
with our app

INSTALL

Afraid 

Chapter 1

Kilauan sinar kerlap-kerlip yang menjadi setitik bagian dari penerang bumi bersembunyi di balik gumulan awan dengan warna usang semakin mengepul menjadi satu bagian yang menyebarkan kegelapan. Bulanpun tak sanggup untuk memancarkan sinar.

Cahaya alami pada malam hari itupun pergi, menjauh dan dikalahkan. 

Hembusan semilir angin malam terhirup dengan lembut, setitik air yang menyapa mulai menyerang. Datang bersama dengan angin yang berubah menakutkan. Menerjang seluruh benda tak berguna hingga menimbulkan kehangatan yang di rindukan. 

Kerinduan yang termakan oleh rasa sakit hanya akan terkubur dalam diam. Bibir pun hanya bisa mengatup dengan rapat. Melepaskan yang meninggalkan bukanlah perkara yang mudah tertelan dengan baik. 

Di tinggalkan dengan sebuah rasa sakit dan setengah hati tertinggal memberi efek yang menakutkan. Takut akan sebuah rasa tanpa permisi itu datang kembali.

Ketakutan adalah sebuah kata yang di hindari banyak orang. Namun, tanpa sadar mereka akan merasakannya juga. Ketakutan akan sebuah kata yang berakhir di tinggalkan, terlebih dengan sebuah kekecewaan yang menghentikan detak jantung tak bersalah serta bayangan indah di masa depan.

Tidak ingin merasakan, lagi. Tidak ingin di tinggalkan, lagi. Karena setengah hatinya sudah mati dan membeku dalam kesakitan yang tak bisa terelakan begitu saja.

ἳ9ἳ9ἳ9

Wanita dengan kaos putih berlabel Summer Flowers tersebut mengambil beberapa peralatan pencangkokkan bunga pada laci nomor dua dari atas. Dia menaruh satchel bag yang terselempang dipundak keatas meja. Berjalan seraya bersenandung ria, lagu yang masih menguasai pendengarannya selalu terdengar sempurna. Padahal pada kenyataannya dia tak mendengar apapun. Hanya terlihat gerak bibirnya yang tak jelas.

Rhein memakai apron berwarna biru langit dengan motif bunga, tentu saja apron tersebut milik Summer Flowers. Dia juga memakai menutup kepala berupa kain tipis yang berbentuk segitiga bermotif kotak-kotak.

"Rhein," panggil seseorang yang kini berdiri tepat di belakang Rhein. 

Yang di panggil sedang duduk, dia menoleh lalu berdiri dan tersenyum.

"El, kenapa dengan wajah mu, hm?" Rhein mengampit kedua pipi Elina hingga membuat bibir wanita di depannya tersebut mengerucut. Sementara Elina sama sekali tidak terhibur, dia melepas paksa kedua tangan Rhein yang masih enggan terlepas dari pipi chubby-nya.

Rhein dan Elina sudah berteman baik sejak dua tahun yang lalu dan mereka bertemu pertama kali di Summer Flower. Iya, mereka merasa nyaman satu sama lain membuat keduanya semakin dekat sampai sekarang.

"Dia tidak menghubungiku, dan ini sudah dua hari." Elina melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian yang satunya terangkat untuk menyanggah kepala. 

Rhein yang kembali duduk untuk memulai aktivitasnya sedikit mendongak.

"Kamu sudah menghubunginya?" Rhein memiringkan kepala sedikit menatap dari bawah, di bawah dagu Elina yang masih menampakkan wajah masam.

"Tidak. Dia mengatakan sedang sibuk, dua hari yang lalu. Jadi, aku takut untuk menghubunginya lebih dulu," pekik Elina.

Rhein hanya mengangguk paham. Dia tak bisa membela siapapun, meskipun Elina sahabatnya. Ah, seharusnya Elina menghubungi lebih dulu. Atau, mungkin Alvin —kekasih Elina— memang benar-benar sedang sibuk. Entahlah.

"El, kamu tau kan dia kuliah semester akhir. Bisa saja dia sibuk dengan skripsi, iya kan?" Alasan yang masuk akal. Setahu Rhein begitu, tapi setidaknya Alvin juga harus memberi kabar atau sekadar mengirim sebuah pesan singkat.

"Lupakan." Elina menghembuskan napasnya kasar. Kemudian dia terduduk di samping Rhein untuk mengambil bunga yang siap jual. 

"Rhein, daripada menjadi pengagum rahasia, kurasa kamu harus menunjukkan siapa dirimu." pengalihan topik yang membuat Rhein membatu.

"El! Apa yang kamu bahas sekarang, hah?" Rhein yang sedang mengorek-ngorek tanah dan memasukkan pada pot kecil berdecih dengan tatapan nyalang. Elina hanya menggeleng, sahabatnya selalu begitu.

"Si pemain piano, kan? Kamu menyukainya. Aku pikir dulu kamu akan mendekati adikku, ternyata kamu menyukai si pemain piano." Elina terkikik. 

Perempuan dengan pipi chubby keturunan indonesia blasteran dengan korea tersebut selalu mengingat bagaimana perasaan curiga dan keingintahuan mengenai kedatangan Rhein ke Chaerist Cafe yang hampir setiap hari. Dia sempat berasumsi sahabatnya itu menyukai Yoga, adiknya.

"Ah, kamu memang sok tahu, El. Lagipula aku hanya kagum dan menyukai lagunya," Elak Rhein. Dia mengambil setangkai bunga mawar kuning kemudian di cangkok ke tangkai mawar merah yang akan menghasilkan sebuah warna berbeda, oranye.

Rhein mengikat sambungan tangkainya sementara dengan tali sebelum benar-benar menyatu.

"Kamu sering mengambil bunga, Rhrin! Dan kamu tidak membelinya, kan? Kalau Ibu Sean tahu pasti dia akan marah. Jadi, sebelum aku memberitahunya lebih baik kamu jujur sama aku kalau kamu menyukai si pemain piano," ancam Elina.Percayalah perempuan tersebut tak akan melakukan apa yang dia katakan. Dia hanya butuh kejujuran. Karena sejauh ini Rhein selalu menutup diri tanpa seorangpun yang tahu bagaimana perasaannya.

"Okay. Terserah kamu menganggap aku suka, gila atau semacamnya. Yang kurasa hanya sebatas kagum, dan dia pandai mengespresikan wajah dengan nada serta lirik lagu yang di nyanyikan. Itu yang membuat aku lebih sering datang ke Chaerist Cafe, untuk mendengarkan lagunya. See?" Rhein menatap Elina meyakinkan bahwa dia tidak berbohong. Memang seperti itu kenyataannya.

"Aku berani bertaruh pada akhirnya kamu akan jatuh cinta padanya." Elina tersenyum yakin. Dia benar-benar yakin, apalagi ketika Yoga bercerita tentang bagaimana Rhein menatap Jian —si pemain piano— di Chaerist Cafe.

"Elina, apa bunganya sudah siap? Atau Rhein tidak berhasil mencangkoknya?" Suara Ibu Sean —pemilik Summer Flower— menginterupsi dua perempuan yang sedang mengobrolkan hal tidak penting. Hanya saja cukup menarik untuk di bahas, membunuh waktu yang akan terasa lambat jika terlalu serius.

"El, cepat bawa ke depan," desis Rhein. Dia menyikut lengan Elina buru-buru.

"Ah, iya. Rhein tidak pernah gagal dalam hal pencakokan mawar, bagaimana? Ini bagus kan, Bu?" Elina menunjukkan perpaduan bunga mawar kuning dan merah dalam satu pot berukuran sedang yang dia bawa. Hasil dari apa yang Rhein kerjakan seminggu yang lalu.

"Kamu memang terbaik, Rhein." Ibu Sean tersenyum dan menatap manis ke arah Rhein yang sedang berdiri cukup jauh. Rhein merespon dengan senyuman, sedikit membungkukan tubuhnya berterima kasih. 

"Cepat bawa ke depan, El. Mungkin lima belas menit pemesannya akan datang." lanjut Ibu Sean seraya menyentuh pundak Elina kemudian pergi meninggalkan dua karyawannya tersebut.

"Baik, Bu. Rhein, aku ke depan." 

Setelah membungkukkan tubuh menghormati Ibu Sean. Elina menoleh ke arah Rhein untuk pamit pergi ke depan, menaruh bunga yang sudah siap jual pada tempat yang sudah di sediakan.

Rhein mengangguk, dia kembali duduk untuk melanjutkan aktivitasnya mencangkok bunga yang lain. Dan perlu di ketahui dia spesialis bunga mawar. Bunga yang lain tentu juga ada dan di cangkok oleh orang berbeda. Karena Summer Flower bukanlah Toko Bunga yang kecil. Pendapatan dari konsumen cukup di atas rata-rata dan memiliki pelanggan tetap yang lumayan banyak.

ἳ9ἳ9ἳ9

Kagum dan suka tentu memiliki perbedaan. Suka belum tentu merasa kagum, tapi bagaimana dengan kagum? Kebanyakan orang akan merasa suka. Sama halnya dengan suka dan cinta. Itu sebuah kata yang benar-benar berbeda jika di pahami.

Kekaguman hanyalah rasa senang dan merasa istimewa saat melihat ataupun mendengar sesuatu. Kagum bukanlah rasa ingin memiliki, sederhana saja jika melihatpun rasanya sudah lebih dari cukup tanpa ingin memiliki.

Rhein mendorong pintu transparan Chaerist Cafe dengan pelan. Suasana yang selalu dia jumpai, ramai seakan mendominasi keadaan di dalam sana. Dia tersenyum, tempat yang di sukai selalu terlihat kosong. Mungkin hanya dia yang menginginkan tempat tersebut.

Tidak lupa dengan apa yang harus dia bawa. Masih sama tanpa berubah sedikitpun. Setangkai mawar berwarna oranye yang selalu berada dalam genggaman dengan aroma khas yang alami.

Rhein menarik kursi yang menghadap ke arah di mana si pengisi musik akan bermain di sana. Dia duduk tenang, lalu menaruh satchel bag pada meja serta membiarkan bunga yang dia bawa berada di sampingnya.

"Perempuan tiara bunga. Kamu selalu tepat waktu. Aku boleh bergabung?" 

Sebutan yang di berikan oleh pria tersebut untuk Rhein bukanlah sekadar sebutan belaka. Tirai bunga sederhana yang selalu menghiasi kepala si perempuanlah yang membuat julukan itu akhirnya terdengar.

Rhein menoleh, pria dengan kemeja garis-garis biru yang mendapat perpaduan dengan warna putih tersebut tersenyum ramah. Tapi, siapa dia?

"Bumi."

Rhein yang tampak masih bingung langsung menjabat uluran tangan pria pemilik nama Bumi tersebut supaya terkesan menghormati.

"Rhein. Tapi—"

"Aku teman Yoga. Dan aku juga sering datang ke sini, kamu juga selalu datang, kan?" Bumi terlihat menyandarkan punggungnya pada kursi sedikit membusung, lalu kembali meluruskan tubuhnya, dia tersenyum, lagi.

"Wah, rupanya kalian di sini." Suara Yoga membuat Rhein dan Bumi mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Dia temanmu?" Tanya Rhein menatap Yoga menunggu jawaban. Bukan tidak mempercayai, Rhein hanya ingin memastikan.