Try new experience
with our app

INSTALL

Afraid 

Chapter 2

"Ah, iya, Mbak. Dia mas Bumi, seumuran Mbak, kok.” Yoga menarik kursi kosong yang masih tersisa kemudian duduk di sana, sedikit mendekat dan berdesis pada telinga Rhein, "dia sepupu mas Jian."

"Hah? Apa di—" 

"Tidak. Dia tidak tahu." Yoga tersenyum yang membuat mata sipitnya hampir menghilang. 

Rhein menghembuskan napasnya lega, hanya Yoga yang tahu, tidak untuk yang lain. Itupun karena Yoga pernah memergoki Rhein menaruh bunga di atas paper bag milik Jian.

"Tapi aku melihatnya." Mendengar atau tidak tiba-tiba Bumi kembali bersuara. Meskipun yang dia pancarkan dari wajahnya tak menunjukkan rasa penasaran, kalimat yang baru saja dia ucapkan membuat Rhein membeku.

"Kamu melihat?" Takut. Entah kenapa Rhein merasa takut seseorang mengetahui bahwa dia adalah pengagum rahasia tersebut.

"Bunga itu, aku sering melihatnya da—"

"Ini pesanan Yoga, iya kan? Ah, aku harus segera pergi. Elina sudah menungguku," pekik Rhein terkesan terburu-buru. Dia memberi mawar oranye yang di bawanya pada Yoga kemudian menyahut satchel bag miliknya tanpa di selempangkan pada pundak. Dia juga membungkukkan tubuh menghormati kedua pria tersebut lalu segera pergi sedikit berlari.

"See? Dia benar-benar wanita itu, kan?" Bumi meminta penjelasan Yoga. Tapi pemilik Chaerist Cafe tersebut malah mengendikkan bahunya tanpa suara.

"Yog, kamu tau siapa pengagum rahasia Jian, kan? Dia tidak mungkin bisa masuk ke backstage tanpa mengenalmu." Bumi yakin. Entah kenapa dia benar-benar merasa perempuan yang baru saja pergi tersebut yang menjadi pengagum rahasia Jian.

"Dia bisa saja masuk melalui perantara orang yang kukenal. Kamu tahu, temanku juga banyak, kan?" Yoga selalu memiliki alasan untuk tidak memberitahu kebenarannya. Ini bukanlah yang pertama kali Bumi menanyakan pengagum rahasia sepupunya tersebut, bahkan sudah beberapa kali hingga dia memutuskan untuk mencaritahunya sendiri.

Jika Jian tidak merasa gila ketika menerima bunga tersebut, Bumi tak akan bersusah payah mencari siapa pelakunya. Kesakitan Jian bukan tanpa sebab, dan mawar adalah salah satu kenangan yang dia miliki terasa kembali menyapa. 

Bumi sungguh tak tega, melihat Jian mematung dengan aliran krystal yang selalu membasahi wajahnya hanya untuk mengamati bunga mawar yang bahkan dia tidak tahu siapa pengirim aslinya.

"Jadi, apa kamu mau membantu mas Jian? Mencari pengagum rahasia itu? Sudah duabelas mawar oranye dan kita tidak menemukannya. Dia akan semakin gila. Datang kemari untuk bernyanyi? Kamu tahu? Dia juga mengenang sesuatu pada lagunya. Aku yakin semua orang menyukai penghayatan dan lirik lagunya. Karena dia memakai hati. Kamu masih tak mau membantunya, Yog?" Sekali lagi Bumi memohon. Dia sangat yakin Yoga tahu semuanya, tapi apa dia juga mendapat sesuatu yang bernilai tinggi sampai merahasiakan hal tersebut?

ὍaὍaὍa

Alunan musik ballad yang selalu Rhein dengar setiap malam seakan tak mau enyah dari pendengaran. Meskipun malam ini dia tak bisa melihat dan mendengar secara langsung, suara itu masih terngiang begitu sempurna dan akan selalu terdengar istimewa.

Rhein mengayunkan kaki, duduk di tepi balkon adalah kesukaannya. Menatapi langit yang bertaburan gemerlap bintang membuat malamnya tidak terlalu buruk. Setidak nya dia masih mempunyai beberapa video hasil rekaman yang sengaja dia simpan pada ponselnya.

Hanya dengan memutar ulang perform beberapa hari yang lalu bisa membuat tepi bibirnya melengkung. Perlu di garis bawahi, Rhein tak menyukai si pemain piano, dia hanya kagum. Iya, kagum.

Sejak satu bulan yang lalu dia mengagumi sosok pemain piano yang selalu memiliki penghayatan luar biasa dengan lagu yang dia nyanyi kan. Alunan musik yang mendapat sentuhan lembut dari jarinya begitu menyentuh. Saat itu dia hanya menjadi penonton dari sekian banyaknya orang yang ada di Chaerist Cafe. Ide memberi bunga mawarpun baru menyapanya beberapa hari yang lalu. 

Penyamarannya tidak boleh di kenali apalagi sampai di ketahui secara langsung, itu yang dia pikirkan sampai sekarang. Rhein tahu, suatu saat dia akan meninggalkan Jakarta. Dan tidak ingin melukai seseorang dengan kepergiannya.

Tiga tahun Rhein di asingkan oleh orangtuanya ke ibukota. Nyonya Delima menyuruh adiknya untuk mencarikan Rhein pekerjaan supaya putrinya tersebut memiliki kesibukkan dan tidak lagi memikirkan Jackson. 

Satu tahun dia seperti mayat hidup yang hanya sanggup mengedipkan matanya yang hampir tidak terlihat. Tangisannya tidak pernah berhenti, tubuhnya enggan untuk bergerak dan mulutnya menolak segala jenis makanan yang masuk.

Kegagalan pernikahan yang di alaminya membuat Rhein setengah gila. Setelah menjalani terapi gangguan jiwa, perempuan tersebut tak mendapat perubahan yang lebih baik. 

Jackson —calon suaminya— di temukan sedang beradu desahan dan berbagi peluh kenikmatan tiga hari sebelum pernikahannya dengan Rhein. Dia hanya bisa mengepal tangannya dan mendadak keluh untuk mengucapkan sesuatu yang membuat dadanya terasa begitu sesak. Pandangannya terasa semakin kabur ketika jantungnya mulai berdetak lambat dan saat itu juga Rhein tidak sadarkan diri. Terbangun dengan kondisi jiwanya yang mulai terganggu.

Siapa yang tidak terpukul? Siapa yang tidak sakit? Undangan yang sudah di sebar berakhir dengan kesakitan yang menganggu kejiwaannya.

Entah ke mana perginya Jackson, perempuan itu sudah tak peduli sama sekali. Kesembuhannya ketika berada di Jakarta sekitar satu tahun setelah menetap di rumah Paman Wira. Pengobatan medis dan penyembuhan pada orang pintar berjalan bersama. Tuhan masih menyayanginya dan memberi kesempatan untuk merasakan kehidupan normal kembali.

"Rhein," panggil Bibi Neni memegang pundak Rhein. 

Yang di panggil menoleh lalu beranjak untuk berdiri. Dia berjalan masuk yang di ikuti Bibi Neni di belakangnya.

"Apa hari ini baik-baik saja?" Tanya Bibi Neni. Dia selalu menanyakan keadaan Rhein setiap harinya.

Rhein hanya merespon dengan anggukan kemudian tersenyum, dia sudah benar-benar keluar dari keterpurukannya. Sekilas mungkin bayangan menyakitkan itu berputar dengan sendirinya. Tapi, dia bersyukur tuhan memberitahunya sebelum semua terlambat. Pikirannya kembali berjalan dengan baik dan normal.

ἳ9ἳ9ἳ9

Bukan membiarkan ataupun tidak merasa penasaran. Tentu saja yang di kagumi memiliki keingintahuan yang tinggi. Tapi, tidak mungkin untuk dia mencari tahunya sendiri. Dia berpikir si pengagum rahasia malah akan pergi. Toh, pengagum rahasia juga tak akan mau penyamarannya ketahuan, kan?

Itu adalah sebuah pemikiran secara normal dari kebanyakan orang yang melihat. Bukan benar-benar Jian yang berasumsi. Jika benda lain yang di gunakan mungkin Jian tak akan selarut ini. Tapi, kenapa harus bunga mawar yang berwarna oranye? Memilukan hatinya, sungguh.

Mawar merah ataupun oranye tak ada bedanya. Toh, namanya akan tetap sama, Mawar. Bagaimana Jian bisa melupakan Jissela, jika benda kesukaan wanita yang dipujanya selalu menyapa, bahkan setiap hari. 

Bagaimana bisa dia pergi dan meninggalkan masa lalu jika terjebak pada sebuah kenangan yang mengikatnya secara perlahan namun terasa begitu mematikan.

"Aku ingin mawar oranye, Ji."

"Oranye?"

"Perpaduan warna merah dan kuning."

"Mau ku carikan sekarang?"

Jissela mengangguk yang mendapatkan respon senyuman. Jian mengelus pucuk kepala Jissela sayang. 

Suara itu, suara Jissela terdengar semakin melemah setiap harinya. Kesabaran selalu Jian tanamkan meskipun sebenarnya dia sangat perih melihat beberapa alat bantu pada tubuh Jissela tak kunjung dilepas, malah semakin bertambah.

Kejadian itu tidak akan pernah hilang. Sampai kapanpun. Di mana dia mulai merasa takut, gelisah, dan pada akhirnya harus rela. Bunga mawar terakhir yang diminta Jissela belum sempat dilihatnya. Wanita itu lebih dulu memejamkan mata dengan wajah lelah.

Jerit tangisan yang tidak bisa di tahan memekakan ruang UGD yang di tempati Jissela sebelum pada akhirnya di pindahkan pada ruang jenazah. Air matanya hingga mengering dan wajahnya terlihat datar, dunia seperti berhenti dan akan segera berakhir.

"Jian,"

"Jian,"

"Jian,"

Suara itu, menyapa pendengaran Jin yang sedang duduk termenung di tepi ranjang milik Jissela. Dia tinggal semalam di rumah tunangannya tersebut. Tak mau keluar dari kamar dengan aroma khas milik Jissela, dia bisa merasakan sebuah kehidupan bukan kematian.

Jian bergegas bangkit dan mencari asal suara yang dia dengar, berkali-kali dia memekik memanggil nama Jissela dengan nada bergetar. Membuka pintu kamar mandi yang terlihat tanpa penghuni kemudian membuka pintu keluar yang menghubungkan dengan ruang tengah. Masih dengan pekikan yang sama, semua orang yang datang untuk berbelasungkawa menatap Jian ibah.

"Jian, sadarlah."

Nyonya Kenny —Ibu Jissela— memeluk Jian seperti anaknya sendiri. Semakin Jian larut dalam kesedihan, semakin keluarga Jissela terpukul. 

Kaki Jian melemas, tubuhnya memerosot dan akhirnya pria tersebut duduk di lantai dengan kepala menunduk, menangis, lagi. 

Satu tahun merawat Jissela yang mulai melemah membuat dia semakin terpuruk, pada akhirnya akan tetap pergi. Bibi Eci yang ada di sana membantu Jian untuk bangun kemudian membawanya kembali ke kamar, kamar lain dan bukan lagi kamar milik Jissela. Sementara orang tua Jissela menemui tamu yang sudah menyempatkan untuk datang.

ἳ9ἳ9ἳ9

"Ji, kamu menerima bunga lagi?" Bumi menekan knop pintu kamar Jian tanpa permisi. Dia mendekat ke  arah di mana Jian sedang duduk.

"Tidak. Dia tidak datang malam ini, Jissela sudah benar-benar pergi." 

Jian menunduk, wajahnya begitu datar tapi Bumi melihat dengan jelas pria itu menahan air matanya.

"Ji, dia bukan Jissela. Aku akan menemukannya, segera." 

Bumi memegang bahu Jian kuat dan meyakinkan sepupunya tersebut atas apa yang baru saja diucapkan.