Try new experience
with our app

INSTALL

Afraid 

Chapter 3

Jian tak merespon. Dia beranjak bangkit dari duduknya. Setelah pulang dari Chaerist Cafe dan mengingat kembali kenangan terakhir bersama Jissela, dia berjalan ke arah di mana dua belas bunga mawar oranye yang dia terima setiap hari tersimpan dengan rapi.

Jian sempat berpikir bunga tersebut dari Jissela. Sekadar ingin menghibur hatinya sendiri, dan dia tidak peduli siapa pengirim aslinya. Karena, tidak mungkin Jissela, kan

Jian masih waras jika kalian paham. Hanya saja, masih terjebak dalam kemelut masa lalunya yang belum bisa dia relakan.

Jian menyentuh salah satu kelopak mawar oranye tersebut. Salah satu kelopaknya jatuh, mungkin itu yang paling lama tinggal di sana. 

Jian merawatnya, berharap Jissela memiliki takdir yang baik seperti bunga tersebut. Alam yang berbeda bukanlah penghalang untuk mereka tetap saling mendoakan.

Bumi yang sedari tadi hanya mengamati bagaimana Jian memperlakukan bunga tersebut dengan lembut akhirnya murka. Dia mengambil paksa kemudian membawanya keluar melalui pintu balkon apartemen, ingin segera membuang.

"Kamu sama saja membunuh Jissela! Kembalikan dan jangan campuri urusanku, Bum! Aku baik-baik saja!" Jian berteriak di tengah pintu, tidak ingin mendekati Bumi yang berada di tepi balkon.

Bumi menarik kembali vas bunga bening tersebut lalu sedikit menoleh ke arah Jian, "Kamu gila sejak Jissela meninggal! Tidak ingin kembali ke rumahmu? Sampai kapan kamu akan mengasingkan diri seperti ini, Ji?" teriak Bumi dengan emosi yang berapi-api.

"Aku tidak gila. Biarkan dia hidup, meskipun hanya di sini," Jian menunduk nadanya semakin terdengar melemah, tangan kirinya terangkat untuk menyentuh dada.

Bumi yang perlahan mendekat, menatap Jian nanar, "Pulanglah dan lupakan Jissela. Kamu akan selamanya terjebak kesakitan selama bunga ini tersimpan, dan Jissela, dia tidak akan tenang. Lepaskan dia, Ji."

Jian memaku. Jujur saja, apa yang di ucapkan sepupunya memang benar. Jian tidak terlalu bodoh untuk memahami hal semacam itu. Hanya saja pikirannya semakin tertutup dengan kesakitan karena di tinggalkan.

Jissela tidak akan tenang. Apa sekarang waktunya Jian untuk melepaskan Jissela?

"Kamu benar. Buanglah," lirih Jian melambaikan tangan ke arah tempat sampah dengan malas kemudian langkahnya kembali masuk ke dalam kamar.

‘Jissela, maaf kan aku. Pergilah dengan tenang.'

Entah sebuah halusinasi atau bukan Jian melihat bayangan Jissela tersenyum, melambaikan tangan lalu berjalan ke arah sinar yang entah dari mana asalnya, dan bayangan Jissela hilang saat sinar tersebut mulai terlihat menjauh. Setitik senyuman terukir di bibir Jian, bertepatan dengan Bumi yang membuang bunga tersebut pada tempat sampah.

"Tenangkan pikiranmu, Ji. Aku pergi," pamit Bumi. Sepupunya itu sudah benar-benar pergi yang ditandai dengan suara pintu tertutup kembali.

Jian yang sedang rebahan di atas ranjang mendongak, menatap langit kamar. Dia beranjak bangun, lagi. Menyibak gorden lalu mengambil teropong yang dia simpan dengan baik.

Sebelum melihat keindahan benda langit dengan benda tersebut, dia mengulurkan tangan dan jarinya menunjuk salah satu bintang yang menurutnya paling terang, di sana Jissela sekarang, gumamnya.

Pria dengan kaos santai tersebut mulai menggunakan teropong. Iya, teropong yang akan memperjelas bentuk dari bintang yang dia yakini adalah Jissela.

Jian mengarahkannya ke atas, senyuman terukir meski hanya sekilas. Dia harus segera mengakhiri sebelum termakan kenangan itu lagi.

Namun, ketika Jian menurunkan penglihatannya pada teropong. Benda tersebut tidak sengaja menangkap seorang wanita yang saling memeluk satu sama lain di depan sebuah Toko Bunga.

Satu lagi, dia melihat mawar oranye dalam genggaman wanita tersebut, persis seperti yang dia terima setiap hari. Beberapa kali dia meng-zoom benda tersebut dan sangat yakin, bunga itu memang sama. Tanpa pikir panjang Jian bergegas pergi dan membiarkan teropongnya di sana.

Sedikit berlari, Jian menghampiri Toko Bunga yang dia lihat melalui teropong beberapa menit yang lalu. Tidak ada orang sama sekali, dan dia yakin toko tersebut baru saja tutup saat mendapati kata 'Close' terpampang didepan pintu.

Jian melangkah lambat, entah kenapa dia memiliki feeling bunga yang di pegang wanita itu adalah bunga yang dia terima akhir-akhir ini. Sangat persis.

ἳ9ἳ9ἳ9

Sekecil apapun kesalahan, namanya akan tetap sama, kesalahan. Di sengaja atau tidak jika itu salah akan tetap salah. Kesalahan bisa di lindungi dengan kebenaran, tapi hanya sementara. Pada akhirnya akan tetap salah.

Rhein diam merenung di atas ranjang, bergelung dengan selimut tebal di musim dingin memang menyenangkan. Tapi, terasa ada yang kurang. Dia harus kehilangan salah satu aktivitasnya. Iya, dia kehilangan pekerjaan karena sebuah kebodohan yang di lakukan berulang.

Mawar oranye terakhir yang resmi di beri oleh Ibu Sean masih tergeletak rapi di atas nakas. Entah dengan maksud apa, Ibu Sean memberikan mawar itu dengan kalimat yang terakhir kali dan Rhein harus pergi dari Summer Flower, dengan kata lain dia dipecat.

"Lihat nanti atau lusa, Ibu. Aku akan menghubungi lagi," desisnya via telepon. Dia mengakhirinya kemudian kembali meletakkan ponsel di sebelah bantal.

Ibunya selalu menghubungi supaya Rhein kembali ke Surabaya. Wanita pendatang di Jakarta tersebut sudah tidak memiliki alasan untuk tidak kembali. Toh, dia sudah tak bisa menggunakan pekerjaan sebagai alasan.

Rhein bangkit dari tidurnya, duduk di tepi ranjang seraya menatap gorden kamar. Pikirannya teringat pada sosok pria si pemain piano. Entah kenapa rasanya sangat merindukan. Dua hari dia tak datang ke Chaerist Cafe.

Pertama, karena Bumi mencurigainya dan dia tak yakin Yoga masih merahasiakan apa yang diketahui. Iya, mungkin Yoga sudah memberitahu Bumi mengenai pengagum rahasia Jian. Kemugkinan itu sangat besar, Rhein yakin.

Kedua, karena semalam dia mendapat sidang pemecatan dirinya dari Summer Flower. Mood-nya mendadak down membuat dia lupa bahkan enggan datang ke Chaerist Cafe. Pikirannya sedang kacau semalaman. 

Bunga yang dia letakkan di atas nakas, bunga terakhir yang di beri Ibu Sean tanpa mencuri lagi, bisa jadi bunga terakhir yang akan di berikan untuk si pemain piano. Rhein memang tahu namanya, tentu melalui Yoga. Tapi, secepat itukah pertemuan dengan Jian akan berakhir? 

Okay, Rhein harus siap untuk menahan langkahnya supaya tidak pergi ke Chaerist Cafe lagi. Kemungkinan dia akan benar-benar kembali ke Surabaya.

Trauma yang di alami mengenai masalalu sudah berangsur lebih baik dan sedikit menghilang. Tiga tahun sudah cukup untuk dia menghilang dari Surabaya. 

Satu tahun pertama yang membuatnya hampir gila, dan dua tahun terakhir yang membantunya untuk hidup kembali tanpa bayang-bayang masalalu.

Tapi, untuk jatuh cinta lagi? Rhein tidak memikirkan sedikitpun. Bahkan dia tak memutuskan perasaan apa yang sedang dia rasakan untuk Jian. Rhein yakin, hanya kagum. Iya, hanya kagum dan tidak lebih.

♔♔♔

Suasana Summer Flower masih sama. Perbedaannya hanya tidak ada Rhein. Elina yang di yakini sebagai teman dekat Rhein dipindah tugaskan pada bagian yang awalnya milik Rhein. 

Meskipun posisi tersebut bukan keahlian Elina. Ibu Sean menuntut wanita itu untuk melakukan tugas yang baru saja diamanahkan. Karena, Ibu Sean tidak akan menerima keberadaan Rhein lagi.

Mencuri bukanlah hal yang bisa di toleransi oleh siapapun. Terlebih jika itu benar-benar di sengaja. Tidak seberapa memang, tapi jika di biarkan mungkin akan berlangsung lama dan berkelanjutan. 

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tawar seorang karyawan Summer Flower ketika mendapati pria bertubuh tinggi tengah celingukan mencari seseorang, mungkin.

"Bagaimana aku harus mengatakannya? Ah, wanita yang selalu membawa mawar oranye?"

Yang di tanya bingung. Tidak semua karyawan tahu tentang masalah yang menimpa Rhein. Yang mereka tahu Rhein hanya dipecat, mengenai alasan masih samar-samar di bicarakan karyawan lain.

"Atau, yang biasanya memakai tiara bunga?"

Hanya melihat sekali memang dan jika itu salah Jian tak apa. Tapi, dia benar-benar melihat wanita itu memakai tiara bunga sebagai penghias kepalanya semalam dan bisa saja setiap hari, kan?

"Rhein?"

"Rhein?" Jian mengulangi. Masih terdengar asing, sangat asing.

"Sayang sekali, dia baru saja dipecat semalam." raut wajah karyawan tersebut menyayangkan. Karena bagaimanapun Rhein dikenal pekerja yang tekun. Hanya saja kesalahan setitik yang berdasarkan atas kebohongan meruntuhkan kepercayaan Ibu Sean.

"Dipecat? Apa kamu tahu alamatnya?" Jian sedikit kaget. Atau bahkan wanita itu tidak akan datang ke Chaerist Cafe dan tidak mengizinkan Jian mengenalnya dulu.

"Maaf, aku tidak tahu. Elina teman baiknya, tapi dia sedang pergi mengantar pesanan bunga," lirihnya. Tugas terakhir Elina sebelum dia benar-benar berada pada tanggung jawab yang sebelumnya milik Rhein.

"Baiklah, terima kasih." Jian membungkukan tubuhnya menghormati kemudian melangkah pergi meninggalkan Summer Flower dengan raut sedikit kecewa. Jika dia bisa lebih cepat mungkin bisa menemukan Rhein. Toh, Summer Flower ternyata berada di dekat apartemen yang ditempatinya sekarang.

ἳ9ἳ9ἳ9

Cahaya semakin meredup, sedikit sorotan tertuju pada pria yang mulai duduk di depan piano. Dia menoleh, mengamati beberapa pengunjung Chaerist Cafe yang masih sama seperti yang lalu. Ramai. Hanya saja terasa sedikit berbeda. Dia sedang berdoa bunga mawar oranye tersebut kembali terlihat di atas paper bag yang sengaja dia taruh di dekat pintu backstage, tidak lagi di dalam. Iya, Jian hanya ingin memastikannya siapa wanita yang diam-diam memberikan mawar oranye. Karena, sudah pasti bukan Jissela, Jian sadar mengenai hal itu. Dan dia hanya ingin menanyakan maksud dari mawar oranye tersebut.