Try new experience
with our app

INSTALL

Afraid 

Chapter 4

Jarinya menekan lembut tus piano menghasilkan bunyi pertama yang terdengar ber-genre ballad, lagi. 

Jian menyanyikan lagu berjudul The Day —kesukaan Rhein—. Lagu yang Jian ciptakan sendiri. Lirik yang terlahir oleh suasana hati yang mendominasi pada masalalu. 

Dia ingin terbang lagi, ingin berjuang lagi tanpa melupakan kenangan yang terukir indah dan berakhir meninggalkan setengah hatinya. Seperti lirik pada The Day, Jian tidak ingin menangis lagi dan akan bangkit. Kehidupannya masih panjang dan dia akan melepaskan bayangan Jissela tanpa melupakan kenangan yang sudah terlahir dan diukir bersama.

Mata Jian menyapu seluruh ruangan Chaerist Cafe. Menatap satu persatu pengunjung dengan menyamarkan senyuman. Tapi, pandangannya berhenti pada sosok wanita yang duduk di pojok kanan Chaerist Cafe.

Wanita itu menunduk, pura-pura memainkan ponselnya. Dan Jian merasa sedikit keanehan. Iya, dia melirik sekilas kearah paper bag dan terlihat mawar oranye sudah ada di sana. Sialnya Jian tak menangkap siapa yang menaruhnya.

Rhein yang merasa tak nyaman mendapat tatapan nanar milik Jian sedikit gugup. Terlebih ketika pria itu mulai pergi meninggalkan piano dan berjalan ke arah paper bag-nya. Dia mengambil bunga mawar oranye yang baru saja di taruh Rhein.

Mata mereka tidak sengaja bertemu. Jian memegang mawar oranye tersebut seraya menyoroti mata milik Rhein yang langsung dialihkan ke sembarang tempat oleh si pemilik.

'Apa dia tahu?'

Rhein bergumam sendiri di dalam hati. Dia merasakan sebuah langkah kaki semakin mendekat, saat matanya menangkap sosok Jian yang menarik kursi di depannya, Rhein tersenyum, samar.

Jian mengangkat bunga mawar oranye yang di pegangnya, menunjukkan pada Rhein. Matanya memandang meminta penjelasan. 

Rhein gugup, bahkan dia tak memiliki niatan untuk memberitahu identitas aslinya.

"Penampilanmu selalu bagus. Aku menyukai lagu The Day. Dan aku penggemarmu." 

Rhein tersenyum canggung. Hanya sebuah peralihan topik dan pura-pura acuh atas penjelasan yang diminta Jian.

"Apa ini kamu?" Jian menaruh mawar oranye tersebut diatas meja, kemudian bersendekap menatap Rhein meminta penjelasan, lagi.

"Mawar oranye? Maaf, aku tidak tahu mengenai itu. Ah, aku harus segera pergi." Rhein tersenyum, membenahi tasnya kemudian berdiri menghormati. Dia benar-benar tak ingin menjelaskan apapun.

"Pengagum rahasia adalah pecundang yang selalu memberi bunga tanpa mau menanamnya!" pekik Jian lantang. 

Seluruh pengunjung menoleh, menatap yang baru saja berbicara lalu beralih menatap yang diajak bicara.

Rhein menghentikan langkah saat tangan mungil miliknya mulai menyentuh pinggiran pintu, dia mendorongnya sedikit tapi di urungkan yang mengakibatkan pintu tersebut kembali tertutup rapat. Dia masih membatu tanpa membalikkan tubuhnya.

"Mbak, Mas." Suara Yoga menginterupsi pendengaran kedua manusia tersebut.

Rhein memutar tubuhnya perlahan. Dia menatap Jian yang berdiri di sana, dengan bunga masih dalam genggaman.

"Mbak, ikut aku." Yoga menarik pergelangan Rhein, membawa wanita itu ke backstage yang di ikuti Jian dibelakangnya.

Entah ke mana Yoga membawa wanita tersebut. Saat memasuki backstage, Jian tidak menemukannya. Dia enggan untuk mencari dan yakin jika wanita itu masih di dalam sana. Jian memilih duduk di sofa, tangannya perlahan meremas keras bunga tersebut.

"Maaf," lirih Rhein yang muncul di depan Jian. 

Yang sedang duduk perlahan mengangkat kepalanya. Menatap Rhein datar namun begitu terasa emosinya.

"Iya. Aku yang menaruh bunga mawar oranye itu. Jangan salah paham jika aku boleh mengatakan. Aku bekerja di toko bunga dan salah satu tugasku adalah mencangkok warna bunga. Mawar oranye salah satunya. Kupikir itu cukup bagus untuk kuberikan padamu. Aku salah satu penggemarmu di Chaerist Cafe. Maaf, jika bunga itu mengganggu. Aku berjanji ini yang terakhir kali. Maaf," Rhein menunduk. 

Yoga jelas menceritakan semuanya. Mengenai bunga mawar oranye yang didapat Jian membuat pria itu kembali mengingat masalalunya. Rhein sungguh tidak tahu mengenai hal tersebut dan dia merasa bersalah. Kata maaf mungkin tidak bisa membuat Jian kembali semringah. Tapi, dia sungguh meminta maaf.

"Jelaskan arti warna dan jumlah kamu beri padaku. Apa kau menginginkan sesuatu yang lebih?" Jian melempar bunga mawar yang dia remas beberapa menit yang lalu diatas meja.

"Oranye berasal dari warna merah dan kamu pasti tau artinya, dan mawar kuning. Kurasa kamu tidak terlalu bodoh mengenai arti warna tersebut." Entah enggan menjelaskan atau memang sengaja membuat Jian semakin geram. 

Rhein seakan menguji kesabaran pria tersebut.

"Cinta dan sahabat?" 

Seperti yang di katakan Rhein, Jian tidak bodoh mengenai hal tersebut.

"Menyukai tanpa sebuah ikatan? Ah, maksudku semacam mengagumi." Rhein menjelaskan dengan tenang, "sebenarnya aku hanya memberimu duabelas bunga. Hmm, karena aku memiliki satu lagi, kurasa pas yang memiliki makna pengagum rahasia. Tapi, tidak rahasia lagi karena kamu sudah tau." Meskipun Jian menatapnya datar dan sedikit terbawa emosi, Rhein justru berusaha untuk tetap memberi senyuman. Meskipun sama dan canggung.

"Apa arti dari jumlah duabelas bunga?" tidak puas, Jian semakin gencar mempertanyakan apapun yang membuat pikirannya tidak tenang.

"Sudah malam, kurasa aku harus segera pergi. Terima kasih sudah mengizinkanku masuk ke backstage. Aku pergi," lirih Rhein beralih menatap Yoga yang berada di sampingnya. Dia membungkukkan tubuh menghormati kemudian melakukan hal yang sama pada Jian yang masih tersulut emosi.

Sengaja, Rhein tak merespon lagi. Karena dia tidak mau menyatakan kekonyolan hanya karena sebuah jumlah bunga. Duabelas bunga yang memiliki makna 'Aku menyukaimu' akan membuat harga diri Rhein semakin turun. Dan dia tidak mau. 

Biarkan Jian berspekulasi dengan pikirannya sendiri, atau dia bisa mencaritahu sendiri. Dunia sudah canggih, bukan?

Bumi yang baru saja datang dan berpapasan dengan Rhein dipintu keluar tampak terengah, dia sedikit berlari, "Yoga, jadi benar dia, kan?" tanyanya seraya mengatur napas.

Yoga mengangguk, lalu dia duduk di sofa, "Maaf. Aku mengetahui semuanya dari awal, tapi dia selalu melarangku. Aku berada di posisi yang sulit, tapi pada akhirnya aku memihak kalian. See? Dia tidak akan melakukannya lagi." 

Bumi menghembuskan napas lega, "Bagaimana? Sudah lebih baik, Ji?"

Tanpa merespon atau sekadar bertukar pandang Jian seakan acuh dan tidak peduli. Dia langsung mengambil jaketnya dan bergegas pergi. Meninggalkan Yoga dan Bumi yang masih duduk di sana.

ἳ9ἳ9ἳ9

Tiga hari setelah pengakuan tersebut Jian benar-benar merasa kehilangan. Mawar oranye yang selalu dia terima setelah bernyanyi tidak lagi ada. 

Wanita yang sempat dia soroti dengan tatapan tajam tidak terlihat lagi. Dia benar-benar menghilang dan Jian merasa kehilangan.

"Aku mendengar dari kakakku, Mbak Rhein akan kembali ke Surabaya besok pagi dan kemungkinan dia tidak akan kembali ke Jakarta."

"Adakah hubungannya denganku?"

"Barangkali kamu ingin menemuinya mas, yang terakhir?"

Jian kembali mendengar ucapan Yoga semalam. Kakinya benar-benar ingin pergi ke Bandara Soekarno-Hatta. Harus kah dia menemuinya?

Tanpa pikir panjang Jian langsung bergegas pergi. Dia mengedarkan pandangan pada ruangan luas Bandara. Meskipun hanya sekali, dia yakin yang di lihatnya adalah orang yang sedang dicari.

"Rhei, Rhein!" teriaknya pada seorang gadis dengan pakaian kemeja simple yang di padukan dengan celana jeans biru sedang menyeret kopernya. Dia menoleh dan Jian tersenyum, "Maaf," lirihnya. Iya, dia salah orang.

Rhein yang sedang berdiri di belakang Jian tanpa sadar mengulum senyum. Dan ketika Jian membalikkan tubuhnya, dia terkejut. Yang dicari ada di sana.

"Rhein, kamu benar-benar akan pergi? Maaf, maaf karena aku mungkin berpikiran buruk padamu. Mengenai bunga mawar itu dan masalaluku, lupakan." Jian hanya tak ingin Rhein di sangkut-pautkan dengan masalalunya. Jelas wanita itu tidak tahu apa-apa.

"Ini untukmu. Anggap saja sebuah hadiah." 

Jian memberikan tiara bunga berwarna keemasan. Rhein tersenyum, bagaimana bisa pria itu tahu benda yang di sukainya? Hanya Jian yang paham.

"Jian, maaf jika aku membuatmu mengingat tentang Jissela, lagi." Rhein muram. Benar-benar merasa bersalah.

"Tidak. Lupakan. Kamu penggemarku, bukan?" tanya Jian. Tampaknya dia ingin menawarkan sesuatu pada Rhein. 

"Jika aku berbohong mengenai itu?" Rhein mengangkat alisnya menantang. Mungkin apa yang Elina taruhkan benar. Tapi, Rhein tidak yakin dia benar-benar menyukai Jian. Dia hanya tak ingin mudah jatuh dalam rangkulan seseorang jika untuk pergi saja akan menyakiti hatinya yang sudah mulai menyatu kembali.

"Maksudmu?" Jian bukan pria bodoh atau semacamnya. Dia hanya tak yakin dengan apa yang di pikirkan. Seringaian jail Rhein begitu terasa.

"Lupakan. Tidak penting." Wanita itu tersenyum tak ingin menjelaskan. Jian yang mendengarpun tidak mempermasalahkan.

"Aku mengajakmu untuk bernyanyi bersama. Kamu bisa kan? Malam ini, dan kamu harus membatalkan tiketnya. Aku akan mengganti dan setujui permintaanku." terkesan memaksa, tidak? Mungkin Rhein merasa seperti itu. Tapi dia malah semakin tersenyum untuk menggoda Jian.

Bola matanya tampak melihat ke atas untuk berpikir. Pada kenyataannya dia tak memikirkan apapun dan lagi-lagi dia menebar pesona melalui senyumannya yang membuat Jian melakukan hal yang sama. Tersenyum.

"Okay. Aku setuju, bernyanyi lagu The Day?" Rhein terkikik, "tapi, siapa yang pergi? Aku sedang menjemput orang tuaku, Jian. Dan satu lagi, kamu mengajakku bernyanyi bersama di Chaerist Cafe? Apa kamu tau Yoga menyuruhku mengisi musik di sana juga?" Alasan Rhein tidak jadi pergi adalah dia menerima pekerjaan baru yang di berikan Yoga. Dan percayalah, apa yang Yoga katakan semalam pada Jian hanyalah omong kosong.

"Aishh! Yoga membodohiku, awas saja dia. Jadi dia menyuruhmu mengisi musik juga?" tanya Jian memastikan.

Rhein mengangguk, sedetik kemudian teriakan yang memanggil namanya terdengar. Itu suara kedua orang tuanya yang sangat merindukan Rhein. Mereka saling memeluk. Dan Nyonya Selly benar-benar merasa putrinya kembali seperti semula. Tidak lagi murung dan sedih, apalagi memekik memanggil nama Jackson. Mereka sangat bersyukur melihat Rhein seperti sekarang.

Pandangannya beralih pada sosok pria tinggi yang sedang tersenyum saat mendapati tatapan dari kedua orang tua Rhein.

"Dia temanku, Ayah, Ibu," ucap Rhein mengenalkan Jian. Mereka tersenyum, begitu juga dengan Jian. Pria itu mengulurkan tangannya, meraih tangan kedua orang tua Rhein bergantian.

"Jian."

"Jaga Rhein dengan baik, ya." Ayah Rhein mengelus punggung Jian seraya memberi amanah. 

Rhein yang mendengar langsung memukul lengan Ayahnya. Memalukan, bahkan dia barusaja mengenal Jian, kan?

Mereka berpisah saat Rhein dan kedua orang tuanya menuju ke rumah Bibi dan Paman. Sementara Jian berpamitan bahwa ada sesuatu yang harus dia urus di apartemen. Alibi belaka, karena dia benar-benar masih canggung.

Mereka tersenyum di sela perjalanan yang di tempuh. Meskipun berbeda tujuan, pikiran mereka tertuju pada satu topik. Bernyanyi bersama nanti malam. Bayangan terindah sudah mereka rekam dan akan mewujudkannya di Chaerist Cafe.

Yoga juga sengaja mengundang kakaknya, Elina dan kekasih kakaknya —Alvin— yang sudah datang beberapa hari yang lalu serta Ibu Sean pemilik Summer Flower. Selain bernyanyi Rhein akan meminta maaf lagi mengenai bunga mawar yang dia ambil secara diam-diam. 

Jian yang menyuruhnya. Pria itu tahu semuanya dari Yoga. Pemecatan Rhein karena mengambil bunga yang diberikan padanya. Rhein harus meminta maaf di depan Jian –katanya.

Rhein akan memulai kembali kehidupan yang sebenarnya tanpa mempermasalahkan masalalu, lagi. Begitupula dengan Jian, dia akan mengenang Jissela tanpa mengganggu kehidupannya yang tetap harus berjalan.

Pertimbangan mengenai perasaan mereka selalu memicu ketakutan. Tapi, setidaknya mereka akan lebih hati-hati dan menjaga perasaannya supaya lebih tenang.

ἳ9 END ἳ9