Try new experience
with our app

INSTALL

Rahim 

Bab 4: Darah dan Cinta

MA, maaf sepertinya Dewa tidak cocok untuk Nia.

Itu pesan yang kukirim kepada Mama sepuluh menit setelah meninggalkan restoran tempat Dewa mengajakku bertemu sore ini. Mama pasti akan kecewa, tetapi aku tidak bisa meneruskan perjodohan ini. Dewa tidak berada dalam satu frekuensi denganku. Bicaranya terlalu kaku, formal, dan diselingi bahasa Inggris dengan aksen Australia. Selama satu jam aku mendengar ocehannya, rasa pening di kepala semakin menjadi.

Kuputuskan untuk langsung berangkat ke Rumah Sakit Pelita, meski tugas dinas malam masih dua jam lagi. Aku butuh suasana yang lebih ramai ketimbang berdiam diri di kamar kosan yang sempit dan sepi, lalu malah memikirkan Dewa lagi.

Tugas dinas malam ini cenderung tenang. 

Pasien yang datang tidak terlalu ramai. Aku 

dan Retha hanya menolong satu ibu bersalin saat tengah malam. Sebelum Subuh, pasien itu sudah dipindahkan ke ruang rawat pasien nifas.

Akan tetapi, wajah Retha terlihat bingung saat menemuiku di ruang rehat selepas melihat kondisi pasien yang baru datang. Aku baru selesai salat Subuh dan duduk merebahkan diri di sofa. 

“Kenapa? Pasien baru?” tanyaku.

Retha mengangguk ragu. “Tapi, Teh … itu pasiennya perdarahan.”

Mendengar itu aku lantas bangkit. “Kok, malah ke sini? Udah telepon Dokter Bimo? Inpartu¹ atau apa?” Kupakai jilbab instanku dan beranjak ke luar ruangan. 

“Itu Teh …. “ Suara Retha tertahan. 

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, aku meninggalkannya dan segera menuju ke ruang bersalin.

Pasien di hadapanku masih cukup belia. Usianya 19 tahun. Kondisinya pucat dan gemetaran. Keringat bercucuran memenuhi kening dan pelipisnya. Kulihat kain batik dan pakaiannya dibasahi darah segar. Aku segera memasang infus dan memberikan oksigen sambil melakukan anamnesa cepat.

“Perkenalkan, saya Bidan Kania. Teteh lagi hamil? 

Suaminya mana?” tanyaku.

Perempuan itu ragu-ragu ketika menjawab. “I-itu di luar nungguin, Bu.” Dia berdeham sebelum melanjutkan. “Sa-saya enggak ha-hamil. Ba-baru aja nikah kemarin.”

Jawaban itu membuatku terdiam. Banyak asumsi terlintas di benakku. Aku menatapnya saksama. Perempuan bernama Dewi itu tertunduk, terlihat takut bercampur malu.

“Teh Dewi baru nikah? Jadi perdarahannya karena …. “ Kata-kataku menggantung di udara, menciptakan suasana yang tiba-tiba canggung.

Dewi mengangguk singkat lalu terisak pelan. Melihat reaksinya, aku mendekati kemudian memeluk bahunya yang bergetar hebat.

“Ssst  … Teteh yang tenang, ya. Insyaallah saya akan bantu. Kita lihat dulu sumber perdarahannya dari mana,” ujarku lembut. Kuelus-elus punggungnya untuk menenangkan.

“Hiks, hiks, sakit banget, Bu. Sa-saya enggak kuat. Saya udah bilang suami saya, tapi dia maksa terus. Saya takut,” bisiknya seraya terus terisak.

Sesaat kemudian Retha datang. “Teh, Dokter Bimo kayaknya tidur. Enggak diangkat teleponnya. Apa perlu aku minta operator telepon lagi?”

“Udah enggak apa-apa. Enggak usah ditelepon lagi. Biar kita tangani dulu. Tolong panggil suami pasien,” jawabku.

Pria yang duduk di hadapanku menatap penuh harap. Namanya Edi, berusia 32 tahun, sebaya denganku. Perawakannya tinggi besar dengan otot-otot menonjol di kedua lengannya. Dari identitas yang tertulis di lembar informasi keluarga pasien, aku tahu pria ini berprofesi sebagai instruktur di sebuah pusat kebugaran. 

Tak heran mengapa Dewi mengalami perdarahan seperti itu. Badan Dewi terbilang mungil, ditambah dia dalam keadaan tidak siap dan takut saat mereka melakukan hubungan suami istri.

Kulihat Edi menjadi tegang ketika aku mengatakan perlu bicara dengannya. Dia mungkin terkejut karena peristiwa ini. Seharusnya malam pertama mereka menjadi kenangan yang indah, tetapi ini justru menyebabkan istrinya harus dilarikan ke rumah sakit.

Aku tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga pasienku, terlebih urusan ranjang mereka. Namun, setidaknya aku bisa memberikan sedikit edukasi kepada mereka agar kejadian yang sama tidak terulang kembali. Setelah semuanya beres, aku akan mengobrol dengan suami Dewi. Sekarang yang harus ditangani adalah perdarahan yang terjadi pada perempuan muda itu.

Selepas mendapatkan persetujuan dari Edi, aku meminta pria itu menunggu di luar. Kemudian aku segera melakukan tindakan kepada Dewi. Ada luka robek di organ vitalnya dan mengenai pembuluh darah yang cukup besar. 

Itulah mengapa Dewi mengalami perdarahan yang cukup banyak. Kali ini aku melakukan tindakan di luar kebiasaanku: menghitung jumlah jahitan. Hal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan pascatindakan nanti.

Diperlukan total lima jahitan untuk memperbaiki luka sobekan yang Dewi alami. Untunglah pasienku ini cukup kooperatif dan dapat bersikap tenang ketika proses penjahitan luka berlangsung. Aku menyuruh Retha untuk memanggil Edi seusai tindakan dilakukan untuk menemani istrinya.

Edi datang tergopoh-gopoh kemudian memeluk Dewi. Pria itu memohon maaf dengan suara lirih. Aku pura-pura mengabaikan mereka seraya melengkapi catatan medis pasien.

Pria itu pasti merasa sangat bersalah karena telah menyebabkan istrinya terluka. Hal ini menjadi pelajaran untuknya bahwa hubungan cinta adalah mengenai kesiapan dan pengertian.

Sebagai tenaga kesehatan pun aku harus memberikan pendidikan seksual kepada masyarakat. Bukan melulu soal pengobatan dan tindakan pertolongan, tetapi upaya pencegahan dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, meskipun masih banyak orang yang menganggap itu tabu.

Setelah menyelesaikan semua pekerjaanku, aku mengajak suami Dewi berbicara empat mata. Kami duduk berhadapan di nurse station. Aku minta Retha memeriksa kondisi Dewi selagi kami berbicara.

“Istri Bapak sudah stabil sekarang. Perdarahannya sudah berhenti setelah lukanya dijahit lima jahitan.” Aku memaparkan.

Edi menekuk wajahnya penuh sesal. Dia hanya bergumam pelan menanggapiku.

“Kalau hasil pemeriksaan nanti bagus, istri Bapak boleh pulang jam 10. Jangan lupa luka jahitannya harus tetap bersih dan kering. Nanti bidan yang dinas pagi akan menjelaskan bagaimana cara merawat luka jahitannya.” Aku meneruskan.

“Bu.” Edi menatapku ragu. “I-itu nanti gimana?” tanya dia.

“Gimana apanya?” Aku balik bertanya.

Pria di depanku tampak resah dan menggaruk dagunya. “Ma-maksud saya … kalau nanti saya mau hubungan lagi gimana?” suaranya tertahan, membuatku tersenyum.

“Kalau sudah sembuh lukanya silakan. Tapi Bapak harus lebih sabar, ya. Dalam hubungan suami istri, harus ada kenyamanan dan kesiapan pada istri pun suami. Jadi harus lebih pandai melakukan pemanasan.” Aku berseloroh untuk mencairkan ketegangan.

Perkataanku membuat pria itu tersenyum malu-malu. Seketika wajah tegangnya sirna, berganti dengan rasa lega. 

Kejadian ini mungkin akan terus membekas di benaknya sampai kapan pun. Semoga dia dapat menjadi suami yang lebih sayang lagi kepada istrinya. ***

1. Inpartu: dalam masa persalinan.