Contents
Rahim
Bab 5: Kacamata
PAPA marah saat meneleponku pagi ini setelah seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan Dewa. Pria itu mengadu kepada ibunya, Tante Rosa. Kemudian Tante Rosa mengajukan komplain kepada Papa sebagai sahabatnya. Pastilah aku yang jadi sasaran empuk. Papa bilang aku terlalu pemilih dan tidak tahu diri.
Sakit hati? Pasti. Namun, aku sudah tak ambil pusing.
Karakter Papa yang keras dan selalu menghakimi sudah jadi makanan sehari-hari di kehidupan keluarga kami. Papa merasa dia adalah pembuat keputusan atas hidup anak-anaknya.
Keluarga besar kami masih menganut sistem patriarki yang kuat, di mana sabda laki-laki adalah segalanya.
Setelah mendengar ceramah Papa selama
20 menit, akhirnya aku pergi bekerja. Aku tidak ingin berlarut-larut dalam kemuraman. Aku harus semangat karena pekan ini ada acara peringatan ulang tahun Rumah Sakit Pelita, tempatku bekerja. Panitia acara menggelar berbagai perlombaan yang diikuti oleh seluruh unit di rumah sakit, termasuk unit ruang bersalin, tempatku berdinas saat ini. Ada lomba cuci tangan, lomba kebersihan ruangan, lomba cerdas cermat, dan masih banyak lagi.
Hari ini aku mewakili ruang bersalin untuk mengikuti lomba cerdas cermat bersama Dokter Bimo dan Linda. Jauhjauh hari kami sudah mempelajari sejarah rumah sakit serta berbagai hal yang mungkin saja dipertanyakan saat lomba. Kami telah melewati babak penyisihan tiga hari sebelumnya dan berhasil menang. Itu membuat kami maju ke babak final.
Lomba cerdas cermat babak final berlangsung cukup meriah, diselenggarakan di aula rumah sakit. Kami menempati meja paling ujung sebagai grup C, bersaing dengan Unit Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit di grup A dan Unit Rawat Inap di grup B. Dokter Bimo duduk di tengah menjadi juru bicara. Aku dan Linda duduk mengapitnya.
Sejak tadi Dokter Bimo tampak gelisah dan terus menyeka kacamatanya meski benda itu sudah bersih mengilap. dia pasti sangat grogi.
“Kenapa, sih, Dok? Tenang aja. Ini cuma lomba seruseruan.” Linda terheran-heran melihat gerak-gerik Dokter Bimo.
Suasana aula sangat ramai. Para pengunjung dan pasien diperbolehkan menonton perlombaan. Mereka sudah duduk berjajar rapi memenuhi deretan kursi di hadapan kami. Auranya memang sedikit menegangkan. Sebenarnya jantungku juga berdebar lebih kencang, tetapi aku berusaha menenangkan diri dan berdoa dalam hati.
“Ini lebih menegangkan ketimbang operasi pasien hamil gemelli¹ tempo hari, yang kembar tiga itu, lho!” katanya sambil bergidik.
“Masalahnya juri cerdas cermatnya mantan mertua. Iya, kan?” Aku menimpalinya.
Mata Dokter Bimo melebar. “Kok, kamu tahu, sih? Diem-diem kamu stalking aku, ya? Kamu udah ngaku kalau aku keren, kan? Pernah jadi menantu Direktur Rumah Sakit Pelita,” katanya sambil menggodaku.
Aku mencebik lantas terkekeh.
“Ih, Duda Genit!”
Kami semua tertawa pelan agar tidak menarik perhatian yang lain. Dokter Bimo memang pernah menikah dengan putri bungsu Dokter Rudi, direktur rumah sakit ini. Itu sudah jadi rahasia umum dan menjadi bahan candaan seluruh personel ruang bersalin.
Kepribadian Dokter Bimo yang kocak dan menyenangkan membuat kru ruang bersalin sudah menganggapnya seperti keluarga. Terlebih statusnya sebagai duda dan aku yang perawan tua—jika memang ukuran sosial perempuan lajang umur 32 tahun diterjemahkan sebagai perawan tua—menjadikan kami bulan-bulanan jika sedang bercanda soal jodoh.
“Pokoknya kalau kita menang, aku bakal traktir kalian es doger,” kata Dokter Bimo sungguh-sungguh.
“Hilih! Es doger doang. Sisanya dikemanain?” Aku mendelik, pura-pura keki.
“Aku tabung buat masa depan kita, Kania.” Lagi-lagi dia membuat kami terkikik geli.
“Dasar dokter kere!” ejek Linda.
“Aku kan Obstetrian² baru. Belum balik modal.” Dokter Bimo membela diri.
“Udah, udah. Sebentar lagi mau mulai,” ujarku ketika melihat pemandu acara naik ke podium.
Lagi-lagi Dokter Bimo melepas kacamata lalu membersihkan benda berbingkai besi itu dengan kain pembersihnya. Tampak sekali kecemasan di wajah dengan rahang tegas itu. Aku harus membuat dia tenang kalau ingin perlombaan cerdas cermat ini lancar. Jika dia grogi terus bisa-bisa kelompok kami akan kalah dan hadiah sebesar lima juta akan melayang.
Tiba-tiba ide konyol terlintas di pikiranku. Aku sempat ragu, khawatir akan dampaknya nanti. Namun, aku harus membuatnya diam dan mengikuti lomba dengan tertib. “Dok,” bisikku. Aku mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengannya.
“Apa?” Dia menoleh dan balas berbisik.
“Enggak usah dilepas-lepas terus kacamatanya. Udah paling ganteng pake kacamata.” Aku meneruskan.
Seketika kulihat dia tersekat. Telinganya memerah karena perkataanku. Wajahnya pun merona berubah warna. Sedetik kemudian aku sadar, apa yang kukatakan barusan justru boomerang untukku. Setelah ini pasti Dokter Bimo akan terus menggodaku.
Aku terkejut ketika tiba-tiba tangannya meremas jemariku. “Makasih, lho, Nia. Aku emang ganteng dari lahir.”
Rasanya ingin kutoyor kepalanya karena masih sempat menjawab dengan gurauan. Aku harus menarik napas dalamdalam agar tawaku tidak meledak. Kulihat dia terkekeh pelan dan seketika menegakkan punggung saat pembawa acara mengucapkan salam pembuka.
Baru saja pertanyaan pertama untuk regu A akan dibacakan tiba-tiba pelantang suara menggemakan panggilan penting.
“Panggilan untuk Dokter Bimo Sp.OG. Ditunggu di ruang ICU. Sekali lagi. Panggilan untuk Dokter Bimo Sp.OG. Ditunggu di ruang ICU.”
Pembawa acara mempersilakan Dokter Bimo meninggalkan meja. Dia menatapku pasrah. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. Apa boleh buat, pasien tetap yang utama. Dia memang punya pasien nifas yang tengah dirawat di ICU karena gagal ginjal akibat eklamsia³. Jadi dia harus memeriksanya segera apabila terjadi perubahan kondisi pasien.
“Aku titip tahta ini, ya. Kudoakan kalian menang biar bisa jajan es doger sampai kembung,” katanya sebelum meninggalkan kami.
Aku dan Linda terkekeh melepas kepergiannya. Dia memang dokter unik yang nyentrik. Melalui tangan pria berkacamata itu lahir banyak bayi yang sehat dan selamat meskipun diwarnai segala faktor penyulit yang menimpa setiap ibu. Gayanya yang enerjik dan lucu membuat pasien-pasien lebih bersemangat saat menjalani masa sulit, baik di ruang bersalin maupun di kamar operasi.
Terlepas dari itu semua, dia adalah sosok dokter yang loyal dan profesional. Pengabdiannya kepada dunia kesehatan begitu besar. Dia lebih mengutamakan pasienpasiennya dibandingkan kesenangannya sendiri. Mungkin itu yang menyebabkan rumah tangganya mengalami kegagalan. Dokter Bimo membutuhkan pendamping yang tidak banyak menuntut dan dapat mengerti kesibukannya. Aku, misalnya. Ups!
***
- Gemelli : Kehamilan kembar.
- Obstetrian : Dokter ahli kandungan.
- Eklamsia : Kejang akibat darah tinggi (keracunan kehamilan).