Try new experience
with our app

INSTALL

Rahim 

Bab 6: Gunanya Teman

DI pertengahan babak akhir Dokter Bimo kembali ke aula. Setelah mengalami ketertinggalan di babak sebelumnya, akhirnya kami berhasil jadi pemenang lomba cerdas cermat dengan selisih nilai tipis dari Unit Rawat Inap. Itu semua berkat Dokter Bimo yang berhasil menjawab semua pertanyaan dengan cepat. Aku dan Linda begitu takjub melihat semangatnya.

Sebagai selebrasi, Dokter Bimo mengajak kami makanmakan di sebuah restoran seafood tak jauh dari rumah sakit. Kami makan seperti orang kesurupan, menghabiskan banyak menu yang dipesan. Mungkin karena kami melewatkan makan siang, sehingga sangat kelaparan.

Selepas makan, Linda pamit duluan karena sudah dijemput. Dokter Bimo bersikeras mengantarku sampai ke kosan, padahal letaknya tak begitu jauh dari restoran, hanya 

15 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.

“Udah malem. Enggak baik anak gadis jalan sendiri, harus dalam pengawalan orang yang kompeten,” ujarnya beralasan.

Aku malas berdebat dan akhirnya setuju. Aku juga sudah sangat letih dan ingin langsung beristirahat. Dokter Bimo baru mengendarai mobilnya meninggalkan gerbang kosan setelah memastikan aku masuk dan mengunci gerbang. Dia akan kembali ke rumah sakit karena malam ini gilirannya jadi dokter jaga.

Setelah mandi, salat, dan membersihkan wajah, aku segera saja terlelap. Tidak punya kesempatan mengingatngingat wajah Dokter Bimo yang melepasku dengan senyuman.

*

Deringan ponsel yang terus menerus membuatku terpaksa membuka mata. Kulihat jam weker di atas nakas masih menunjukkan pukul dua dini hari. Siapa yang menelepon pada jam tidur begini?

Kuraih ponsel dan melihat nama Evi di layar. Keningku berkerut. Evi adalah temanku yang tinggal di lantai dua kosan ini. Kami berteman sejak dua tahun lalu, saat kami sama-sama menjalani tes kesehatan saat melamat kerja di Rumah Sakit Pelita. 

Aku kemudian diterima sebagai bidan di ruang bersalin. Sedangkan Evi yang berlatar belakang pendidikan ahli madya rekam medis diterima di Instalasi Rekam Medis..

“Halo, Vi. Kenapa?” Aku menjawab dengan suara parau.

“Kania, to-tolooong! Ini ada yang keluar. Tolong aku!” jeritnya seraya terisak-isak. 

Seketika aku bangkit terkejut. Evi memang sedang hamil anak pertamanya. Kalau tidak salah usianya masuk delapan bulan minggu ini.

“Kamu sama siapa di situ?” tanyaku sambil beranjak mencari sesuatu di lemari. Aku membutuhkan sepasang sarung tangan steril untuk berjaga-jaga.

“Sendiri. Roni lagi tugas ke Cirebon. Baru pulang besok.” Evi menjawab dengan suara lemah.

“Oke, tahan dulu. Tarik napas terus. Aku ke situ sebentar lagi.”

Setelah menemukan benda yang kucari, aku memelesat ke luar kamar lalu berlari menuju ujung lorong. Langkah berisikku mungkin akan membangunkan penghuni kosan lain. Kunaiki tangga dengan cepat dan dalam beberapa detik sampai di lantai dua.

Aku terperenyak ketika tiba di kamar Evi. Cairan dan darah memenuhi lantai. Bau amis menguar di udara. Evi tampak duduk terkulai di atas tempat tidur. Pakaiannya basah dan bernoda merah.

“Ya, Allah.”

“Kania! Aduh … sakit banget ini. Aku pengen buang air.” Evi masih sibuk mengatur napas dan menahan nyeri. 

“Jangan dulu!” jeritku. “Berbaring dulu. Tetep atur napas, ya.”

Aku membantu Evi mengatur posisi tubuh hingga berbaring. Tak lama Evi tenang kembali karena kontraksinya melemah.

“Aku cek dulu.” Aku segera membuka kemasan sarung tangan steril dan mengenakannya.

Mataku terbelalak ketika menemukan sebuah bokong mungil dan merah sudah terlihat di jalan lahir Evi.

“Bayimu letak sungsang? Berapa minggu umur kehamilan?” tanyaku. 

Evi mengangguk “Baru 34.”

Aku segera menghubungi nomor Dokter Bimo dari ponselku. Panggilan dijawab setelah empat kali nada sambung.

“Assalamualaikum.” Suaranya terdengar bersemangat, rupanya dia masih terjaga. “Kenapa nelepon? Kangen?”

“Temen di kosanku mau partus¹. Prematur 34 minggu. Letak bokong murni, udah keliatan bokong bayinya.” Aku tak sempat menanggapi candaannya.

“Kayaknya enggak keburu dibawa ke sini. Lahirkan saja pake metode Bracht². Habis lahir baru bawa ke sini. Aku beresin dulu pasien di sini, nanti aku minta ambulans jemput ke situ, ya,” jawabnya. 

Aku tertegun mendengar jawaban Dokter Bimo.

“Kamu pasti bisa. Aku yang tanggung jawab nanti.” Seperti merasakan kegalauanku, Dokter Bimo meyakinkan.

“Bismillah,” ujarku sebelum menutup telepon.

“Ini mules lagi. Aku udah enggak kuat, Nia. Mau ngeden lagi! Aduuuh.” Evi berteriak. 

“Tenang, tenang. Oke, terpaksa kita lahiran di sini. Tapi ingat, kamu harus nurut apa kataku.” Aku mencoba menenangkannya. 

Evi sibuk mengatur napas. “Aduuuh! Enggak kuat ini.” Dia menjerit lagi.

Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan selembar selimut juga kain sarung. Kualasi bokong Evi dengan kain sarung. Aku menaruh selimut di atas perutnya.

“Nanti bayinya kutaruh di atas perut kamu. Kamu peluk biar enggak kedinginan, ya. Sekarang buka kancing baju kamu. Kita siap-siap dulu. Bayi kamu kecil, belum ada 2,5 kilo. Jadi kita harus menjaga kehangatannya.” Aku memberinya penjelasan. 

Awalnya Evi tertegun, tetapi kemudian dia mengangguk juga. “I-iya,” jawabnya.

“Kalau mau ngeden, tunggu sampai puncak nyeri. Tarik napas dulu dari hidung, terus tutup mulut lalu dorong. Inget, jangan teriak. Kamu harus fokus.”

Beruntung           Evi       mengerti           semua instruksi.          Dia kooperatif dan melakukan semua yang kuminta.

“Ini udah mau ngeden. Mules banget!” serunya.

“Oke. Tarik napas, tahan … dorong panjang.” Aku bersiap.

Evi mengedan sekali. Sayangnya tenaga Evi masih belum kuat sehingga tidak ada kemajuan. Namun, aku tetap harus memujinya.

“Bagus. Sekarang tenaganya ditambah. Tarik napasnya lebih panjang dan fokus mendorong ke bawah, jangan di leher.” Aku memberi arahan. “Kamu pasti bisa, Sayang.”

Evi kembali menarik napas. Dia mendorong lebih kuat dan ada banyak kemajuan.

“Bagus! Dorong lagi, terus … ya.” Aku melakukan manuver pertolongan persalinan dengan metode Bracht. “Lagi … stop!” seruku ketika tubuh bayi lahir setengahnya. Aku membenahi tali ari-ari agar tidak terjepit di jalan lahir.

“Nia, aku pengen ngeden lagi.” Evi merintih.

“Ya, boleh. Ayo dorong lagi lebih kuat.” Aku mengarahkan bokong bayi ke atas setiap Evi mendorong.

Seluruh tubuh bayi sudah lahir. Tinggal kepalanya yang masih berada di dalam jalan lahir. Aku meminta Evi mengedan lebih kuat karena kepala adalah bagian terbesar dan keras. Sekuat tenaga Evi mendorong. Dalam dua detik seluruh bagian tubuh bayi berhasil terlahir.

Aku menyimpan tubuh mungil itu di atas perut ibunya. Bayi Evi bergeming. Aku segera melakukan rangsangan sembari membersihkan lendir di tubuh bayi. Beberapa saat kemudian akhirnya bayi Evi menangis diiringi tangisan ibunya.

“Alhamdulillah.” Evi tersedu-sedu.

“Alhamdulillah.” Aku membeo.

Keharuan ini membuat tenggorokanku tersekat. Pandanganku kabur karena air mata. Aku terharu melihat perjuangan temanku. Dalam hati aku bersyukur lagi karena kelancaran dan kemudahan yang Allah berikan.

“Vi, kita harus ke rumah sakit sekarang. Plasenta kamu masih belum lahir. Bayimu juga harus dihangatkan di inkubator. Aku minta bantuan yang lain dulu, ya.” Di sela tangisannya Evi mengangguk. “Kania,” ucapnya.

“Ya. Ada yang sakit?” tanyaku khawatir. 

Evi menggeleng. “Enggak.”

“Ya, kenapa?”

Tangisnya pecah lagi. 

“Makasih, ya. Kalau enggak ada kamu, mungkin bayi aku kenapa-kenapa.” Suaranya terdengar lirih.

Aku tersenyum maklum. “Sama-sama, Sayang. Itu gunanya teman.”

Tidak ada yang sangat kuinginkan beberapa waktu lalu selain ini semua. Melihat temanku tak berdaya aku hanya berharap, tanganku dapat membantunya. Aku ingin Evi dan bayinya sehat dan selamat. Itu sudah sangat membahagiakan. ***

  1. Partus: Melahirkan.
  2. Bracht: Salah satu metode persalinan pada posisi bayi sungsang.