Try new experience
with our app

INSTALL

Seberapa Pantas (TAMAT) 

6. Pandangan Pertama

Deg! 

Seolah ada benda keras membentur dada Angga ketika mengetahui bahwa gadis yang kini berdiri di hadapannya adalah wanita yang siang dan malam ia rindukan. Ternyata, lebih indah dari bayangan terindahnya. Bumi serasa berputar lambat. Sehingga gerak bibir gadis di depannya begitu lambat. Sampai-sampai, Angga dapat menghitung berapa gigi bagian depannya. Bola mata berbulu lentik itu berkedip lambat juga, sehingga Angga dapat menghitung berapa jumlah bulu mata gadis itu.

“Halooo....” 

Rahma berseru ketika melihat Angga tiba-tiba mematung memandangnya. Namun, Angga seolah tidak mendengar. Bahkan dari bibirnya keluar kata-kata ajaib yang membuat Rahma terdiam.

Amboi!

Indah nian purnama kembar di wajahmu itu

Ah, ingin sekali aku iktikafkan cinta di bening matamu

Membendung air matamu

Berkedip dan menatap masa depan bersamamu

Rupanya, Rahma ikut terhanyut oleh kata-kata Angga. Pak Midun menatap Rahma dan Angga yang saling menatap. Kemudian, mengeluarkan pentungannya dan memukul kepala Angga.

“Wadaw!” Angga tersadar dari rasa terpesonanya. 

Rahma menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. Ia segera memalingkan wajah ke arah pintu masuk gedung AR FM karena mendengar Mbak Putri memanggilnya.

“Iya, Mbak!” serunya menjawab panggilan Mbak Putri.

“O, ya, Kang, kalau mau melamar kerja, coba saja bicara sama Mbak Putri itu. Siapa tahu di sini lagi membutuhkan karyawan baru,” sambungnya. 

Rahma menatap Angga sekilas, karena tidak kuasa bertatapan dengan sepasang mata yang begitu tajam seolah langsung menusuk hatinya. Sementara pikirannya segera merekam kata-kata Angga tadi, kemudian menyimpannya dalam memori hati tersunyi.

Mbak Putri sudah berdiri di antara mereka.

”Ada apa ini?” tanya Mbak Putri. Matanya menatap Angga.

“Ini, Mbak, ada yang melamar kerja di sini,” jawab Rahma.

Angga mengangguk ramah kepada Mbak putri.

“O, kirain ada apa. Ya, sudah, biar Mbak yang urus. Kamu sudah waktunya siaran tuh!” sahut Mbak Putri. ”Dan kamu, ikut saya!” sambungnya kepada Angga.

“Ke mana, Mbak?” tanya Angga, yang tidak tahu kenapa dirinya menjadi agak sedikit telmi, alias telat mikir.

“Ke mal, terus kamu traktir saya,” jawab Mbak Putri. 

Rahma kembali tersenyum. Sementara Pak Midun membuka mulutnya. Namun, batal ketika Mbak Putri menepuk bahunya. Pak Midun pun nyengir tanpa suara. Angga sadar bahwa pertanyaannya terkesan tolol. Ia pun ikut nyengir.

“Rahma masuk duluan, Mbak!”

“Eits, bareng sama dia nih. Tunjukin ruangan Mbak. Mbak mau ke depan beli sesuatu,” sahut Mbak Putri.

“Ok! Ayo, Kang!” serunya kepada Angga dan langsung melangkahkan kakinya. Angga segera mengikuti dan berjalan di samping Rahma. 

Hari itu, Angga merasakan hari terindah sepanjang hidupnya. Betapa tidak, di sampingnya kini berjalan dengan anggun wanita yang selama ini ia cintai dan rindukan.

“Namanya siapa, Kang?” tanya Rahma pelan. Wajahnya menunduk melihat setiap pijakan kakinya.

“Panggil saja Angga, Teh,” jawab Angga.

“Aduh... jangan panggil Teteh dong! Rahma aja! Kan masih unyu-unyu!” jawab Rahma sedikit manja dan memang itulah karakternya. Setiap kata yang diucapkannya terkesan manja dan menggemaskan.

“Terus apa dong!” 

“Panggil aja, Rahma. Atau lebih lengkap lagi Neng Rahma yang lucu nan cantik jelita dan menggemaskan. Begitu.” 

Rahma semakin membuat Angga ingin mengucek-ngucek rambutnya saking gemas. Mereka pun tiba di lobi. Tampak beberapa orang sedang duduk berbincang sambil menonton televisi yang tergantung di sudut langit-langit lobi tersebut. Angga segera mengenali salah satu dari mereka, yaitu Ustaz Idrus yang khas dengan peci putih dan janggutnya yang tipis.

“Kamu Angga, kan!” seru Ustaz Idrus.

“Pak Ustaz, udah kenal toh!” Rahma yang menjawab.

“Kemarin sewaktu Bapak kehabisan bensin di jalan, Angga ini yang menolong Bapak,” jawabnya.

“Ternyata, Angga ini adalah ehem-ehemnya Neng Rahma!” sambungnya.

“Ih, ari Pak Ustaz ke mana aja. Baru juga kenal. Rahma disuruh Mbak Putri bawa Kang Angga ke ruangannya. Karena dia mau ngelamar kerja di sini. Begitu ceritanya Bapak Ustazku yang baik dan tidak sombong,” jawab Rahma dengan nada lucu.

Semua yang ada di lobi tersenyum mendengar kata-kata Rahma.

“Oooh… kirain,” Ustaz Idrus tersenyum.

“Memangnya, kamu sudah tidak di bengkel lagi?” Ustaz Idrus bertanya pada Angga.

Angga kebingungan ditanya seperti itu. Kalau jujur, tidak mungkin untuk saat ini. Satu-satunya jalan yang ia harus lakukan adalah berbohong untuk sementara.

“Saya berhenti, Pak. Ingin cari pengalaman baru!” jawab Angga.

“Mm… bagus! Anak muda memang harus banyak pengalaman,” Ustaz Idrus mengacungkan jempol.

“Rahma pamit siaran dulu, ya. Pak Ustaz dan Kang Angga ngobrol-ngobrol aja dulu. Anggap aja di rumah sendiri. Kalau mau minum, beli sendiri!” Rahma tersenyum dan segera naik ke lantai dua menuju ruang siaran.

Ustaz Idrus tersenyum menatap Rahma. Begitu pun dengan Angga. Hatinya semakin yakin bahwa wanita seperti inilah yang ia cari. Tekadnya untuk mendapatkan cinta Rahma pun semakin kuat.

Ustaz Idrus mengajaknya duduk. Namun, baru saja pantatnya menempel di sofa, Mbak Putri sudah datang dan meminta Angga untuk ikut ke ruangannya di lantai dua. Tepatnya, di samping ruang siaran. Ketika melewati ruang siaran, ia melihat Rahma sedang siaran. Ia pun mengangguk sambil tersenyum. Rahma membalasnya dengan manis.

Mbak putri mempersilakan Angga duduk ketika masuk ke dalam ruangannya. Ruangan manajer itu sangat rapi. Udaranya sejuk, bukan karena AC. Sebuah jendela kaca berukuran besar membuat siapa pun yang ada di ruangan itu dapat melihat Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Burangrang yang sejak zaman purba selalu berdampingan. Mereka seolah dua raksasa besar penjaga Gerbang Tanah Pasundan.

“Nama kamu?” tanya Mbak Putri tiba-tiba.

“Angga, Mbak.”

“Bawa surat lamarannya?”

“Bawa, Mbak!”

Angga segera mengeluarkan map berwarna biru dari dalam tasnya. Kemudian, diberikannya kepada Mbak Putri. Sejenak suasana menjadi hening. Mbak Putri terlihat serius meneliti lembar demi lembar surat lamaran milik Angga. Namun tiba-tiba, ia tersenyum ketika melihat sebuah foto.

“Ini foto siapa?” tanya Mbak Putri sambil memperlihatkan sebuah foto kepada Angga.

“Astaghfirullah, kok bisa ada di sana sih. Itu mah foto Bibi saya atuh, Mbak! Bi Sur,” jawab Angga nyengir.

“Kirain istrimu,” sahut Mbak Putri tersenyum.

“Tidaklah Mbak, saya mah masih ting-ting. Hehehe…” jawab Angga sedikit malu dengan kecerobohan kata-katanya.

“Begini. AR FM memang sedang membutuhkan karyawan baru. Yaitu, satu untuk posisi penyiar sekaligus reporter. Dan satu lagi untuk posisi cleaning service. Dan, setelah membaca lamaranmu, ternyata kamu lulusan SMP. Betul?”

“Betul, Mbak!” jawab Angga. 

Angga memang sengaja hanya menyertakan ijazah SMP-nya, karena ijazah SMA di simpan di rumah orang tuanya. Dan tidak mungkin juga ia mengaku sebagai mahasiswa. Apalagi mahasiswa kedokteran.

“Maaf sebelumnya, ya. Bukannya saya membeda-bedakan orang dari tingkat pendidikannya, tapi sudah jadi aturan di sini bahwa untuk menjadi seorang penyiar minimalnya lulusan SMA. Kecuali, jika kamu bersedia jadi cleaning service.”

“Jadi, maksud Mbak bagaimana? Saya diterima tidak?”

“Iya, kamu Mbak terima jadi anggota keluarga AR FM sebagai cleaning service. Jika kamu bersedia, maka besok pun kamu sudah bisa mulai bekerja. Nanti, saya kenalkan kepada Mang Dudung karena beliau adalah OB sekaligus cleaning service paling lama di sini.”

“Alhamdulillah… saya mau, Mbak. Jadi apa pun, saya bersedia, asalkan bisa jadi keluarga besar AR FM, Mbak.” 

Angga senang sekali dengan jawaban Mbak Putri.

“Ya, sudah. Besok jam 7 pagi, kamu harus sudah ada di sini. Biar sebelum kerja, kamu mendapat pengarahan dari Mang Dudung.”

“Siap, Mbak! Jangankan jam tujuh, kalau perlu saya nginep di sini!” jawab Angga.

Mbak Putri tersenyum melihat semangat Angga.

“Kalau begitu saya pamit dulu, Mbak!” seru Angga.

“Silakan!”

Angga keluar dengan wajah semringah. Ia berhenti sejenak ketika melewati ruang siaran. Memandang Rahma yang sedang sibuk dengan mikrofonnya. Rahma balas menatapnya. Dan lagi-lagi senyum menghiasi bibir mereka. Kemudian, segera turun dan keluar dari lobi setelah mencoba berkenalan dengan semua yang ada di lobi. Tanpa sedikit pun rasa malu ia mengenalkan diri sebagai cleaning service baru di AR FM. 

Dua orang gadis yang duduk di kursi resepsionis menyambut hangat perkenalannya. Sedang Ustaz Idrus sudah tidak ada. Mungkin sudah pulang. Angga segera keluar menghampiri vespa antiknya yang terparkir di samping Avanza putih milik Rahma. Kemudian, memberi tabik kepada Pak Midun sang satpam lucu dan segera meluncur pulang. Ia ingin segera mengabarkan kepada dua sahabatnya bahwa ia telah diterima kerja di AR FM.

Sementara itu, Rahma agak terganggu konsentrasinya. Ia terus teringat kata-kata Angga di depan pos satpam tadi. Ia lebih sering memutar lagu daripada ngomong. Bahkan beberapa twitter yang masuk tidak dibacanya. Biasanya, dalam siaran ia paling doyan ngoceh. Apalagi membaca twitter dari para pendengarnya. Tapi, kali ini pikirannya terus bertanya-tanya. Apakah Angga adalah orang yang sama dengan penulis puisi di majalah favoritnya? Sebab gaya bahasanya sama banget. Atau mungkin Angga juga hanya membaca di majalah itu?

“Ah, kenapa aku jadi mikirin dia?” gumamnya dalam hati. 

Namun kemudian, Rahma tersenyum sendiri. Entah kenapa, ia merasakan kebahagian tiba-tiba. Kata-kata Angga tadi membuat hatinya berbunga-bunga.

***