Try new experience
with our app

INSTALL

Seberapa Pantas (TAMAT) 

7. Ungkapan Cinta Tian

Malam di Kota Kembang pada musim kemarau seperti ini sangatlah indah. Lampu-lampu jalanan, perumahan, serta gedung-gedung bagaikan bintang yang berjatuhan tidak beraturan. Tapi, tetap indah dipandang dari kejauhan. Dari ketinggian, angin berembus kencang. Rahma berdiri di pinggiran Flyover Pasopati sambil memandang lampu-lampu kota yang bertebaran. Rambut sebahunya meriap tertiup angin.

Flyover Pasopati adalah salah satu tempat nongkrong yang asyik di kawasan Bandung. Karena dari sana, kita bisa melihat sebagian Kota Bandung. Meskipun sebenarnya sedikit berbahaya karena kendaraan cukup ramai, juga telah beberapa kali terdengar penodongan oleh geng motor di tempat ini. Namun, sepertinya bagi kawula muda Bandung, itu bukan suatu masalah, yang terpenting enjoy.

“Bandung memang indah, ya, Tian.” Ucap Rahma kepada Tian yang duduk di atas motor gedenya. Namun, matanya tidak bergerak sedikit pun dari hamparan lampu-lampu Kota Kembang.

“Iya, dong!” jawab Tian sambil tersenyum.

“Makasih, ya, sudah ajak Rahma jalan-jalan.”

“Iya, nanti kapan-kapan Tian ajak lagi ke tempat yang jauh lebih indah deh!” sahut Tian.

“Janji, ya!”

“Iya! Eh, ngomong-ngomong kenapa Rahma nggak mau pulang ke Jakarta? Memangnya nggak kangen sama orang tua?” tanya Tian.

“Ya, kangen atuh. Tapi….”

“Kenapa? Jangan-jangan, Rahma lagi menghindari seseorang di sana, ya? Lagi marahan, ya, sama pacarnya?” kata-kata Tian semakin menjurus ke hal pribadi.

Rahma tidak menjawab, karena tiba-tiba teringat kenangan pahitnya dengan Reza, mantan tunangannya.

“Kok, diam sih! Maaf, ya, kalau Tian salah ngomong.” Tian merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, Tian. Rahma hanya lagi malas aja bahas Jakarta,” jawab Rahma pelan.

Tian menatap Rahma dari samping. Purnama yang tidak sempurna di langit seolah hilang keindahannya, ketika ia menatap wajah Rahma. Tian turun dari motornya. Kemudian, melirik ke samping. Terlihat olehnya berpasang muda-mudi Bandung sedang menikmati malam bersama kekasihnya. Tian menarik napas dalam.

“Rahma....”

“Hmm….”

“Tian mau ngomong sesuatu.”

Rahma menatap Tian sekilas. Kemudian, mengalihkan kembali ke hamparan Kota Bandung. Lagi-lagi, angin meriapkan rambutnya sehingga Tian mencium wanginya.

“Ada apa? Ngomong aja! Siapa tahu Rahma bisa bantu.”

“Begini, Rahma. Sebenarnya, Tian cinta sama Rahma. Bahkan, semenjak kita pertama kali bertemu di AR FM,” lirih Tian.

Rahma tersentak mendengar kata-kata Tian. Ia tidak menyangka sedikit pun bahwa Tian menaruh hati padanya. Sementara, dari semenjak pertama kali bertemu hingga kini, Rahma tidak punya perasaan lebih padanya. Rahma terdiam.

“Rahma mau nggak, terima Tian sebagai pacar? Tian janji, akan selalu berusaha menjadi yang terbaik buat Rahma!” lanjutnya.

Rahma bingung. Hatinya yang tadinya senang dan bahagia, tiba-tiba saja berubah. Namun, Rahma pun tidak ingin membuat Tian sakit hati.

“Tian. Rahma sangat berterima kasih jika Tian cinta sama Rahma. Tapi maaf, Rahma belum bisa jawab sekarang. Rahma masih sedikit trauma dengan cinta. Mungkin benar kata Tian tadi, bahwa Rahma nggak mau pulang ke Jakarta karena menghindari seseorang yang sangat Rahma cintai, tapi sekaligus Rahma benci.”

Tian sangat terpukul atas jawaban Rahma. Karena selama ini, Tian cukup perhatian padanya. Itulah sebabnya ia berani mengungkapkan isi hatinya karena mengira Rahma pun menyukainya. Ternyata salah. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. Apalagi mendengar alasan dari Rahma.

“Maafkan Rahma, ya,” ucap Rahma pelan.

“Nggak apa-apa. Tian ngerti kok. Memang butuh waktu dan keberanian dalam diri kita untuk melupakan seseorang yang kita cintai sekaligus kita benci. Tapi, Tian mohon izin sama Rahma!”

“Apa?”

“Izinkan Tian berusaha membuktikan rasa cinta dan sayang Tian sama Rahma! Dan izinkan Tian setia menanti hati Rahma terbuka untuk Tian!”

Rahma terdiam mendengar kata-kata Tian yang menurutnya lumayan manis. Tapi anehnya, ia tidak tersentuh sedikit pun. Apa mungkin karena hatinya mati? Rahma bertanya-tanya dalam hatinya sendiri.

“Sudah malam. Sebaiknya kita pulang, besok pagi kan Rahma harus siaran!” ucap Tian.

Rahma hanya mengangguk. Tian pun menyalakan motor gedenya. Rahma segera naik di belakangnya. Kini, ia tidak mau berpegangan ke pinggang Tian. 

Aneh, tiba-tiba ada sedikit rasa risih. Tian segera melajukan motornya turun ke arah Jalan Tamansari. Kemudian, berbelok ke kiri dan lurus melewati Kebun Binatang yang lengang. Setelah melewati Simpang Dago, ia lurus terus hingga belok kiri di depan Hotel Sheraton ke Jalan Kanayakan dan menghentikan motornya tepat di sebuah kos-kosan bertingkat dua.

Rahma turun. Setelah mengucap terima kasih, ia segera membuka pintu pagar kemudian masuk dan menaiki tangga menuju kamar-kamar yang berjejer di lantai dua tanpa melihat ke belakang. Sementara Tian,  ia hanya terdiam sejenak menatap Rahma dari belakang, hingga Rahma masuk ke dalam salah satu kamar kos-kosan tersebut. Tian pun segera memutar motornya dan pulang ke rumahnya di Jalan Cipaganti.

Rahma menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Ia bingung, sangat bingung. Bagaimana ia harus bersikap kepada Tian besok dan selanjutnya? Ia tidak ingin Tian terus berharap kepadanya. Itu bisa menyakiti hati Tian, karena Rahma tidak yakin ia bakalan bisa jatuh cinta kepada Tian. 

Sebenarnya, ia telah banyak mendengar tentang Tian dari Mbak Putri dan beberapa orang penyiar lainnya, kalau Tian adalah seorang playboy. Jika hanya sebagai teman, Rahma tidak peduli bagaimanapun Tian. Tapi, untuk menjadi seorang pacar, ia harus berpikir seribu kali. Karena ia tidak ingin mengalami sakit hati untuk kedua kalinya.

***

Malam kian larut. Jalanan mulai sepi. Tapi, angin semakin berembus kencang dan dingin. Sesekali terdengar deru mobil melintas dengan cepat. Malam itu, Angga, Hendra, dan Doyok terpaksa harus kerja lembur karena tadi siang konsumen cukup banyak. Sedang tenaga pegawai kurang. Angga merasa bersalah, karena tadi siang ia tidak menyempatkan diri membantu. Ia malah berjalan-jalan keliling Bandung dengan beberapa teman klub motor vespanya. Makanya, malam ini meskipun badanya terasa capek, ia memaksakan diri untuk membantu Hendra dan Doyok.

Jam dinding di bengkel menunjukkan pukul setengah dua belas malam dan perut mulai lapar. Sedang warung nasi dan makanan di Jalan Tamansari sudah tutup semua. Pulang ke rumah Bi Sur, Angga merasa tidak enak karena jam segini biasanya Bi Sur pasti sudah tidur.

“Jam segini enaknya makan apa, ya?” tanya Angga.

“Kalau lagi gini mah makan apa aja pasti enak atuh, Bos. Yang penting, panas dan sedikit pedes. Biar mata melek!” jawab Doyok.

“Mi rebus mau?” tanya Angga.

“Wah, boleh, Bos. Biar aku yang beli!” seru Hendra.

“Nggak usah. Aku aja. Kalian istirahat! Ngopi dulu biar nggak masuk angin,” timpal Angga sambil memakai jaketnya. 

Angga menyalakan motor vespa antiknya. Ia sudah sangat hafal di mana bisa mendapatkan mi rebus yang enak. Ia pun meluncur tenang menuju Jalan Kanayakan di depan Hotel Seraton tempat di mana angkringan mi rebus langganannya berada. Hanya butuh sepuluh menit saja ia sudah sampai di Jalan Kanayakan yang selalu ramai 24 Jam. Tukang ojek terlihat berkumpul main kartu di teras sebuah minimarket. Beberapa orang yang mengenalnya pun segera menyapa.

“Sini, Bro, ngopi!” teriak salah satu tukang ojek berambut cepak.

“Wah...lagi kerja euy!” jawabnya sambil mengangkat tangan.

Tukang ojek itu tidak menjawab lagi. Setelah memarkir motornya di depan sebuah minimarket, Angga menghampiri penjual mi rebus langganannya yang terlihat sedikit sepi. Hanya beberapa orang saja yang tampak berdiri menunggu pesanan. Salah satunya adalah perempuan berambut sebahu mengenakan baju tidur berwarna merah muda.

“Eh, si Akang Kasep. Ke mana aja atuh Kang? Kok, baru nongol!” seru perempuan setengah baya penjual mi rebus itu ketika Angga duduk di bangku panjang menghadap beraneka macam gorengan.

“Sibuk, Bi!” jawab Angga sambil meraih pisang goreng yang terlihat masih mengepul. Namun, baru saja ia membuka mulutnya, 

“Hey, basmalah dulu kenapa, main sikat aja!”

Angga segera menoleh ke arah datangnya suara.

“Neng Rahma? Kok, di sini?” 

Rupanya perempuan yang memakai baju tidur berwarna merah muda bermotif bunga adalah Rahma yang malam itu tidak bisa tidur. Dan memang, kos-kosannya tidak terlalu jauh dari pangkalan ojek. Ia turun karena merasa lapar.

Rahma tersenyum menghampiri Angga.

“Kucel banget, ih!” serunya. ”Habis ngapain?”

“Oh, iya, saya lagi bantuin teman di bengkel. Dan disuruh beli mi rebus,” jawab Angga. Ia tidak mampu menatap kecantikan Rahma malam itu.

“Rajin amat. Kayak nggak ada besok pagi aja.”

“Lah, besok kan saya sudah kerja di AR FM jadi cleaning service.” 

“Serius!” sahut Rahma.

“Iya, seribu rius malah!”

“Wah... selamat, ya! Jadi partner dong kita!”

“Ya, tidaklah. Neng Rahma mah penyiar, sedang saya mah hanya cleaning service.” Angga merendah.

“Yee...nggak ada bedanya atuh, Kang, cleaning service sama penyiar. Sama-sama cari duit dan sama-sama karyawan,” jawab Rahma.

Sebelum Angga sempat menjawab. Sepasang muda-mudi datang dan langsung duduk di bangku. Membuat Rahma bergeser duduknya lebih dekat dengan Angga. Bahkan, kaki dan bahu tangan mereka bersentuhan. Tentu saja Angga merasa risih, karena bajunya penuh dengan sisa oli. Ia segera berdiri.

“Mau ke mana?” tanya Rahma.

“Saya berdiri aja, Neng. Nanti kalau duduk, baju Neng Rahma bisa kotor kena baju saya,” jawabnya.

“Idih, lebay banget si Akang. Duduk sini!” Rahma bergeser sedikit memberi tempat untuk Angga.

Bibi penjual mi rebus hanya tersenyum melihat Angga sekilas. Angga duduk kembali. Jantungnya terasa berdebar lebih cepat. Salah tingkah. Rahma menatapnya sambil tersenyum.

Bibi penjual mi rebus meletakkan dua mangkok mi rebus di depan Rahma dan Angga.

”Ini! Sambil makan ngobrolnya, biar nggak terlalu salah tingkah,” katanya tersenyum kepada Angga.

 Rahma pun tersenyum. Ia mengerti apa maksud dari Bibi penjual itu. Memang, ia pun melihat Angga yang salah tingkah. Tapi, ia semakin merasa tertantang untuk menggoda Angga. Sifat isengnya yang selama ini terpendam, tiba-tiba muncul kembali. Entah kenapa.

Sementara, Angga terlihat semakin bingung. Bukan hanya karena duduk berdampingan dengan Rahma, tapi ia pun teringat pada Hendra dan Doyok yang menunggunya di bengkel. Jika makan di sini, pasti Hendra dan doyok kelaparan di sana.

“Di bengkel ada berapa orang, Akang Kasep?” tanya Bibi penjual mi rebus yang terlihat sudah sangat dekat dengan Angga.

“Biasa, Bi!” jawab Angga sedikit aneh.

“San!” teriak Ibu penjual mi rebus memanggil anaknya yang sedang duduk di teras minimarket dan segera menghampiri.

“Apa, Mak!”

“Tolong antarkan ini ke bengkelnya Kang Angga! Bilangin sama si Doyok kalau Kang Angganya sedang sibuk,” ucap ibunya dan perlahan membuat Angga semakin serba salah. Belum lagi, Rahma yang tiba-tiba meraih mangkoknya.

“Akang suka pedes nggak? Sini, biar Rahma kasih saos sedikit!” seru Rahma.

“Nggak usah, Neng, biar saya sendiri.”

“Sudah tuh! Sok dimakan atuh!” seru Rahma lagi sambil menatap Angga yang terlihat semakin salah tingkah. Rahma tertawa dalam hati.

Hayu atuh bareng, Neng!” jawab Angga mencoba bersikap tenang.

“Apa mau disuapin? Boleh! Sini, Neng suapin, A.” Rahma semakin berani menggoda Angga. Tangannya pura-pura hendak mengambil sendok di mangkok mi rebus Angga.

“Nggak usah, terima kasih.” Angga segera menyuapkan mi ke mulutnya dan...

“Haaah....”

Angga kapanasan. Hampir saja mi rebus itu ia muntahkan kembali. Tapi, ia berusaha menahannya. Matanya langsung berair. Setelah mi itu tertelan, ia langsung meraih botol air mineral di depannya dan langsung meminumnya. Rahma tertawa, tidak kuasa menahan geli melihat Angga mengipas-ngipas mulutnya yang terbuka dengan tangan.

“Pelan-pelan dong!” ucapnya sambil menutup mulut agar tawanya tidak terlalu keras. Si Bibi penjual ikut tertawa sambil geleng-geleng melihat tingkah Angga.

Wajah Angga merah menahan malu, panas, dan pedas. Sebuah komposisi yang sangat lengkap untuk malam ini. Malam di mana ia pertama kali duduk berdampingan dengan wanita yang diam-diam sangat ia cintai. Tapi, semua itu tidak mampu melindap kebahagiaan dalam hatinya. Sambil terus menikmati mi rebus, Rahma dan Angga sesekali saling menatap dan bertukar senyum.

Malam meninggi. Rahma segera pulang setelah mi rebusnya habis. Begitu pun dengan Angga. Ia segera kembali ke bengkelnya. Hendra dan Doyok sudah selesai dengan pekerjaannya. Mereka telah bersih dan bersiap untuk tidur di kamarnya masing-masing. Doyok dan Hendra memang tinggal di bengkel itu. Angga sengaja membuatkan mereka kamar di atas bengkel. Meskipun sangat sederhana, tapi Hendra dan Doyok merasa betah.

Tentu saja malam itu Angga tidak dapat tidur. Wajah Rahma selalu terbayang-bayang. Tidak seinci pun wajah Rahma yang ia lupakan. Mengingat wajah Rahma adalah kewajiban barunya selain salat dan makan. Berbeda lagi dengan yang dirasakan oleh Rahma, ia merasa bahagia karena sudah lama tidak merasakan kebahagiaan tertawa seperti tadi saat menggoda Angga. Ia seolah menjadi dirinya sendiri saat berdekatan dengan Angga. Sejenak kebingungannya tentang Tian ia lupakan.

***