Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

Saat Senja Berakhir 

Bagian 1

“PERGI adalah jalan terbaik, akan tetapi menghadapi jauh lebih baik.”

Tulisan itu adalah tamparan bagi dirinya sendiri. Sebuah pengingat keras soal masalah yang dihadapi lelaki bertopi pet hitam. Sebuah buku kecil seukuran telapak tangan menjadi kawan setia selain senja di tepi dermaga. Kesendirian adalah rasa yang harus diterimanya di tanah yang jauh. Pena hitam mencatat segala keluh kesahnya dan buku kecil itu tidak pernah membocorkan masa lalunya.

Lelaki itu selalu duduk di tepi dermaga setiap senja. Menyaksikan ratusan kapal yang bersandar dan menurunkan muatan yang diperoleh dari lautan. Ikan, udang, lobster dan kerang jadi pemandangan umum di pelabuhan Bridlington, sebuah pemandangan yang serupa dengan tempat asalnya. Dia rindu kampung halamannya, kampung yang terkenal dengan panen ikan bandeng dan udangnya dari tambak.

Dia menyempatkan diri menyaksikan senja di negeri orang. Di kota Yorkshire, semua terlihat asing. Kesepian menjadi kawan yang menemani lelaki bertopi pet hitam.

Pakaian yang dipakainya nyaris sama sepanjang hari, mantel cokelat muda dan kacamata kotak jadi ciri khas Faisal Qurtubi. Benar, Faisal Qurtubi si lelaki kurus yang singgah di dermaga setiap hari.

Ada alasan mengapa Faisal memilih dermaga. Selain pemandangannya yang menyejukkan hati, ada kenangan tersendiri yang ingin dilupakannya melalui desir angin laut. Andai saja dia bisa memutar waktu, ingin rasanya memperbaiki kesalahan di masa lalu. Kesalahan yang membawanya terdampar di negeri asing bernama Britania Raya.

Masih membekas dalam ingatannya, bagaimana dirinya menikam lelaki kurus dari belakang. Setan apa yang merasuki dirinya waktu itu, yang pasti dia telah menghilangkan satu nyawa anak Adam demi menutup kesalahan yang lain. Kesalahan itu adalah cinta yang tidak seharusnya tumbuh, cinta yang seharusnya, lupakan saja, dia tidak ingin membuka luka lamanya lagi.

Hal yang pasti bahwa Faisal ingin memulai hidup baru. Dia korbankan segalanya demi keselamatan diri. Identitas di komunitas dilepas demi kebebasan di Negeri Ratu Elizabeth

II. Pihak berwajib mungkin tidak menyadari keberadaannya di sini. Entah ini sebuah keberuntungan, atau justru bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Bersama kawan yang sama-sama kabur dari Sidoarjo, mereka menjalani hidup layaknya para perantau dari Asia. Kerja dan makan, sebuah rutinitas yang berjalan sepanjang masa. Kawannya bernama Harun, orang yang memberi jalan kabur ke Inggris dan memberi pekerjaan sesuai kemampuannya.

Hari ini mereka bertemu di kafe pinggir jalan. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Harun kepada Faisal. Dari dermaga nelayan, dia melangkahkan kaki ke pinggir jalan. Menunggu bus tingkat yang sebentar lagi tiba di halte, sudah biasa baginya menaiki transportasi umum ini setelah mengunjungi dermaga Bridlington.

Pintu bus terbuka secara otomatis, kaki kanannya menginjak lantai dasar bus dengan tegap tenang dan melangkah naik. Lantai pertama terlihat lengang, jarang ada penumpang penuh di saat senja, rata-rata penumpang memilih naik ke lantai dua untuk menikmati panorama senja yang indah dari atas bus, akan tetapi, dia memilih menyendiri di kursi paling belakang.

Di lantai pertama, keheningan jadi kawan perjalanan selain supir bus yang memegang kemudi. Rute yang dilalui adalah pertokoan di Beverley, arah selatan dari tempat tinggalnya sekarang. Beverley merupakan pusat keramaian di selatan Yorkshire. Banyak kafe dan restoran yang bertebaran di kota yang berusia sepuh ini. Sejak abad ke-13, tempat ini jadi jujukan berbagai komunitas.

Lelaki itu memandangi pemandangan dari balik jendela bus lantai dasar. Orang-orang berpostur tinggi besar dan berhidung mancung berjalan di pinggir jalan yang tersusun dari mozaik bebatuan lama. Lampu jalan yang tegak berdiri di

tepi jalan mulai menyala saat sinar senja terganti oleh gelapnya petang di Beverley.

Selain melihat pemandangan luar, Faisal memandangi pantulan bayangan dari jendela bus. Dia melihat dirinya telah berubah penampilannya, rambut panjang sebahu kini telah dipangkas tinggal beberapa sentimeter. Kini Faisal memakai kacamata bulat dengan frame warna perak. Satu-satunya yang masih sama hanya topi pet hitam yang dipakainya ke mana pun dia pergi.

Bangunan lawas masih kokoh berdiri, bangunan berlantai dua dengan atap merah menyapa pendatang dan pelancong saat bus yang ditumpangi Faisal masuk ke Beverley. Lalu lalang kendaraan roda empat lebih ramai dibanding dengan sebelumnya. Lampu toko, kafe dan restoran menghiasi pinggir jalan yang mulai gelap.

Faisal melihat para pejalan kaki menikmati hari dengan bersantai atau sekadar menikmati pergantian warna langit, dari jingga menjadi kelam. Meski tempat ini merupakan kota lama, bangunan modern juga berdiri mengiringi bangunan tua. Uniknya, keberadaannya tidak merusak harmoni yang ada dan melengkapi satu sama lain.

Lelaki yang mengenakan topi pet hitam itu turun dari bus dan berjalan menuju tempat pertemuan. Sebuah kafe sederhana di dekat halte jadi tempat pertemuan mereka. Gawai miliknya bergetar, notifikasi dari pesan singkat dari Harun masuk di kotak pesan.

Tertulis bahwa dia ada di dalam kafe dekat halte, dia memakai kemeja lengan panjang warna merah duduk di meja nomor 12. Alamat dan foto ikut masuk dalam pesan singkatnya, kini Faisal tinggal mengikuti ‘share location’ darinya. Di depan pintu kafe, seorang jangkung dengan potongan rambut pendek duduk sembari menikmati makan malamnya. Lelaki yang mengenakan kemeja lengan panjang itu mengangkat tangan sebagai tanda bagi Faisal yang berdiri di depan pintu. Lelaki itu bernama Harun Kasimun. Seorang pengusaha kapal angkut yang pernah menolongnya tinggal di sini. Dengan senyum lebar, Harun menyapa kawan lamanya dan menyuruhnya masuk. 

“Hei, apa kabar?”

“Kabar baik, bagaimana usahamu?”

“Seperti yang kau tahu, aman dan lancar jaya. Tidak ada yang mencari kita di sini. Tidak ada yang berani selama kita patuh pada perintah bos besar.”

“Kau benar, di sini aku bisa bekerja dengan tenang. Walau kau tahu, orang-orang sini cukup dingin terhadap kita.” “Muka mereka saja yang dingin, asal kau beri uang

akan cerah seperti di Indonesia. Semua bisa diatur selama kau punya uang. Uang yang menyelamatkan kita dari hukuman penjara. Aku dengar, perusahaanmu sedang memperbaiki jalur rel kereta api?”

“Benar, mereka sedang merevitalisasi jalur lama untuk tujuan pariwisata.”

“Berarti ada material yang perlu diganti?”

“Iya, rel tua akan dilelang oleh perusahaanku. Kau mau ambil proyek itu?”

“Sudah pasti, kapan lagi kita bisa meraup untung dari sini? Selama ini mereka hanya mencari untung dari kita. Nikel, baja, dan logam mulia, semua mereka borong dan kita diberi keuntungan yang tidak seberapa.”

“Lalu, kau mau membalas keculasan mereka, begitu?” 

“Tidak, justru kita harus belajar kepada mereka.

Bagaimana mereka bisa besar dan makmur seperti sekarang.

Ingat, Inggris berjaya karena berhasil merampas harta lawannya. Bagaimana mereka makmur saat ini bila tidak merampas? Raffles saja melucuti Jawa dan membawanya ke sini!”

“Tapi, apa ini tidak berlebihan?”

“Hei, kita bukan warga Indonesia lagi! Kita sudah berganti identitas di Inggris, ingat itu!”

“Baik, kita memang bukan warga Indonesia lagi.” “Nah, lagi pula, kita ini pelarian. Kau mau dipenjara

karena kasus yang dilakukan oleh pacarmu?”

“Tolong, jangan ungkit masalah itu!”

“Aku tahu, aku tahu waktu itu kamu khilaf karena bujuk rayunya. Tapi aku tidak menyalahkanmu. Si Jalang itu memang pantas dihukum, sayangnya kamu juga ikut terseret dalam kasusnya.”

“Harun! Aku minta tolong, jangan ungkit masalah itu

lagi.”

“Baik, baiklah kalau begitu, sepertinya kau memang

tidak ingin membuka masa lalumu lagi. Tapi ingat, kita ini harus saling bantu. Aku telah membantumu kabur dari Sidoarjo dan kau juga harus membantuku dalam menjalankan bisnisku di sini.”

“Kau ingin apa dari aku?”

“Tidak banyak sih, hanya minta tolong hubungi bosmu saja. Bilang kalau teman lamanya mau minta bantuan.”

“Kenapa tidak kamu sendiri saja?”

“Sebab saat ini ada orang yang mengawasiku, entah dari imigrasi atau pihak berwajib dari Indonesia.”

“Pihak berwajib?”

“Kau tidak perlu memikirkannya, ini beda kasus. Asal kau ikut caraku, maka kau akan aman.”

Setelah menceramahi Faisal layaknya sang pengkhotbah karbitan, dia pergi meninggalkan meja bundar beserta lelaki bertopi pet hitam itu. Sebelum meninggalkan kafe, lelaki yang memakai kemeja warna merah itu berbalik dan mengucapkan pesan terakhir.

“Oh iya, jangan lupa untuk hubungi bosmu. Kau sudah kupesankan teh hitam dan pasta untukmu.”

Dia pergi meninggalkan Faisal, pertemuan itu tidak sampai setengah jam. Hanya bagi Faisal, pertemuan tersebut terasa lama sekali. Dia tidak ingin bertemu dengan lelaki licin sepertinya. Dia berbicara sangat santun, lemah lembut dan berwawasan. Hanya saja, Harun Kasimun begitu lihai berbicara hingga lawan bicaranya tak bisa berkutik.

Harun kasimun dahulu seorang pengusaha yang terjun ke lembaga pemerintahan. Dia adalah tangan kanan dari Lisa Putri Mulyadi, pemilik Mulyadi Property dan orang yang pernah Faisal kasihi. Dia mahir memainkan kata menjadi bujuk rayu yang mematikan.

Dia kurang tahu pasti, apa hubungan antara Harun dan Lisa. Yang pasti, keduanya adalah sosok yang membuatnya lolos dari ancaman hukuman penjara. Hal yang diketahuinya sekarang adalah Harun seorang “Pengusaha” yang suka dengan cara “kasar” bagi beberapa orang. Mengancam dan mengintimidasi jadi senjata baginya untuk memperkaya kantong pribadinya.

Faisal merindukan gurunya. Andai dia bisa kembali ke masa lalu dan mencegah dirinya melakukan kesalahan fatal, pasti Faisal akan melakukannya. Hanya saja semua sudah berakhir. Orang baik yang bernama Adrian Mahulete sudah meninggalkan alam fana ini untuk selamanya, dan yang membuat Faisal menyesal sejadi-jadinya adalah dialah yang menikam gurunya sendiri.

***

“Excuse me, Mister Fairuz?” tanya pramusaji yang membawa pesanan dari Harun.

“Yes, I am.”

“This is your order from Mr. Harun.” “Oh, Thanks.”

Sang pramusaji itu menyodorkan piring berisi spaghetti ukuran sedang dengan saus bolognese dan potongan daging cincang dan taburan oregano dan irisan seledri serta daun bawang di atasnya. Tak lupa, pramusaji yang terlihat lebih muda darinya menuangkan teh dari cerek keramik berwarna putih gading ke cangkir kosong yang telah tersedia di atas meja.

Sang pramusaji menyebut Faisal dengan nama Fairuz, sebab di sini dia memakai nama samaran sebagai Fairuz. Konon, mengganti nama dan penampilan adalah cara terbaik untuk menghilangkan jejak keberadaan seseorang. Apalagi di sini dia adalah seorang pelarian.

Setelah menghabiskan hidangan yang disajikan, Faisal bergegas kembali ke rumah. Sudah 30 menit dia duduk dan menikmati makanan dari kafe tersebut. Dia melihat jam yang ada di telepon pintarnya, waktu menunjukkan pukul 19.27 waktu setempat. Sudah saatnya kembali melanjutkan tugas pribadinya di rumah.

Mungkin bagi sebagian orang, Harun Kasimun adalah bajingan yang memeras orang dan seorang oportunis yang tidak tahu diri. Namun bagi orang-orang yang dibantunya seperti Faisal, dia adalah seorang penyelamat bagi para pelarian maupun pelindung dari gangguan masyarakat setempat. Di tempat yang jauh dari tanah air, Eropa khususnya Inggris merupakan tanah yang tidak bersahabat bagi para perantau yang berkulit selain putih.

Rasialisme masih jadi momok yang menakutkan bagi minoritas. Supremasi kulit putih atas kulit lain masih cukup tinggi meski perjanjian dan deklarasi internasional sudah dikumandangkan. Terutama sekarang, Inggris telah keluar dari Uni Eropa, sehingga para imigran dan perantau semakin cemas.

Perundungan terhadap para pendatang masih terjadi, terutama bagi pendatang yang berasal dari Afrika dan Asia. Mereka menganggap kedatangan mereka adalah sumber masalah bagi masyarakat Inggris asli. Meski telah berganti kewarganegaraan menjadi wara Inggris pun, pemisahan dan perundungan masih kerap terjadi.

Sehingga tidak heran bila berkumpul bersama sesama perantau jadi pilihan. Setidaknya itu bisa memberi rasa aman. Namun bagi Faisal, berkumpul dengan sesama perantau asal Indonesia cukup riskan. Rata-rata mereka dekat dengan Kedutaan Indonesia yang bisa saja mengetahui dirinya adalah mantan pembunuh.

Jadi tidak ada pilihan lain, Faisal terpaksa berlindung kepada Harun yang notabenenya adalah “pengusaha” yang membantu menyelundupkan imigran gelap. Ada kalanya iblis lebih tulus dibanding manusia itu sendiri. Setidaknya dia aman dari kejaran hukum yang berlaku.

Ada urusan yang harus diselesaikan, Faisal keluar dari kafe yang sederhana tersebut menuju halte yang ada di sebelahnya. Dia kembali ke Bridlington untuk menyelesaikan tulisannya. Selain sebagai teknisi kereta api, dia seorang penulis lepas di situs pencari kerja atau penerbit lokal. Tentu dengan identitas yang lain agar tidak diketahui oleh mereka yang memperkerjakannya.

Bus yang ditunggu telah tiba, kali ini penumpang di lantai dasar lebih banyak dibanding sebelumnya. Faisal mengira, mereka adalah para pekerja yang selesai bekerja dan pulang ke rumah masing-masing. Ini masih hari Kamis, biasanya para pekerja akan pulang lebih awal sembari membawa belanjaan untuk kebutuhan selama seminggu.

Lampu jalan menerangi jalanan aspal yang mulus dan tak bergelombang. Langkah para pejalan kaki masih terlihat walau tidak sebanyak sebelumnya. Harap dimaklumi karena waktu sudah menunjukkan pukul 20.15 waktu setempat. Ada pembatasan jam keluar setelah kejadian wabah yang melanda beberapa tahun yang lalu.

Meski wabah telah berlalu, akan tetapi kebiasaan di masa tersebut masih tersisa sampai saat ini. Apalagi di sini bukan kota besar seperti London, Oxford, maupun Manchester yang menyediakan tempat hiburan yang lengkap. Hanya ada bar, kafe, taman hiburan lawas dan bioskop sebagai tempat melepas penat.

Bus yang ditumpangi Faisal telah tiba di halte dekat rumahnya. Sebuah flat klasik berlantai lima jadi tempat tinggal Faisal di Bridlington. Konon di tempat ini, para perantau asal Asia Tenggara dan Timur Tengah bisa tinggal dengan bujet yang murah. Di depan pagar terdapat papan bertuliskan “To Let” yang berasal dari istilah disewakan, sepertinya ada kamar kosong yang hendak disewakan kepada calon penghuni baru. Pemilik gedung atau biasa disebut landlord bernama Nyonya Emilia Harrison. Dia dan keluarganya pernah tinggal di Hong Kong pada tahun 1960, lalu pindah ke tempat asal neneknya di Bridlington. Maka tidak heran bila Nyonya Harrison cukup akrab dengan orang-orang Asia. Dia cukup ramah dan suka menyapa meski usianya sudah 70 tahun lebih. Dia selalu duduk di lobi sambil merajut anyaman dari benang wol. Suara televisi yang menampilkan acara lama memecah kesunyian. Saat Faisal membuka pintu depan, lonceng kecil yang dipasang dekat pintu berbunyi dan pandangan nyonya Harrison berpaling ke arahnya. Dengan bahasa Inggris yang khas, dia menyapa Faisal sebagaimana seorang nenek menyapa cucunya. “Tuan Fairuz?”

“Iya Nyonya Harrison.”

“Ada paket untukmu di meja lobi, sepertinya pesanan dari Toko Asia.”

“Benar nyonya, kemarin saya memesan mie instan, beras dan beberapa bumbu masak di internet.”

“Bilang beras dan bumbu masak mengingatkanku akan masa kecilku di Hong Kong. Dahulu perawatku selalu memasakkan masakan Asia seperti tumis daging dan bebek panggang. Oh iya, silahkan ambil barangmu dan selamat beristirahat. Semoga harimu menyenangkan!”

“Terima kasih Nyonya Harrison.”

Fairuz alias Faisal pun mengambil paket berupa kotak dus besar dan dibawa ke kamarnya di lantai empat. Sebelum beranjak ke kamar, Faisal mengucapkan selamat malam kepada Nyonya Harrison dan melangkahkan kakinya di atas anak tangga yang terbuat dari kayu.

***

Faisal telah pulang ke rumahnya. Sebuah kamar flat yang dihuni oleh dirinya seorang. Dia tinggal di lantai empat pojok kiri, lantai kayu warna cokelat muda dan tembok yang ditutupi oleh wallpaper maroon menghiasi interior flat yang minimalis.

Tidak banyak barang atau hiasan dinding yang menempel. Hanya kerangka lampu gantung kuningan tua yang jadi pemanis lorong sekaligus penerang lorong kamarnya. Kusen jendela yang cukup besar nan tinggi juga menghiasi lorong flat dari tangga hingga kamar-kamar. Setidaknya, sinar bulan jadi penerang tambahan bila terang lampu kurang kuat menyinari lorong.

Tidak ada lift ekskavator, hanya tangga kayu yang jadi akses keluar masuk flat. Bangunan tua yang ditinggalinya bukan gedung pencakar langit sebagaimana di kota besar. Rata-rata bangunan tua yang ada di sini memiliki tinggi lima lantai. Itu pun sudah termasuk tinggi di tempatnya tinggal.

Lift termasuk barang mewah di tempatnya tinggal. Selain merusak nilai artistik dan historis gedung, keberadaannya juga menambah tarif listrik yang harus dibayar. Padahal para penghuni flat di daerah Bridlington itu adalah pekerja berpenghasilan rendah.

Faisal melangkahkan kakinya hingga ke pojok. Jalannya santai tetapi cepat, tanpa menimbulkan suara yang menggangu tetangga sebelah. Di depan pintu kamarnya, dia merogoh saku kanan celananya. Lelaki itu jarang membawa tas kecuali bila berpergian jauh atau dinas ke stasiun lain. Buku saku yang jadi teman curhatnya selalu disimpan di jaket atau rompinya.

Tangan kanannya memutar kunci dan membuka pintu kamarnya, sedangkan tangan satunya membawa paket berisi kebutuhan sehari-hari. Ruang gelap menyambut kedatangan Faisal yang berdiri di depan pintu. Tak beberapa lama, dia menaruh paketnya dan tangan kirinya meraba dinding di sebelah pintu untuk mencari saklar lampu. Kemudian ruang yang awalnya gelap gulita berganti terang setelah dia menekan saklar yang ada.

Kamarnya termasuk rapi bagi ukuran seorang pria. Tidak banyak barang atau perabotan yang ada di kamar miliknya. Hanya ada lemari buku yang tidak terlalu besar dan lemari pakaian yang bersebelahan dengan rak buku milik Faisal. Kamar yang berukuran 4×6 M itu nyaris tanpa sekat.

Satu-satunya sekat yang memisahkan ruang privat dengan umum adalah lemari buku yang menghadap ke depan pintu yang membelakangi pintu masuk. Lemari itu diletakkan di sebelah kanan dan lemari baju di sisi lainnya, sehingga ada lorong di tengah untuk dirinya masuk ke ruang yang lebih privat.

Di balik sekat tersebut, terdapat tiga ruang yang terdiri dari kamar tidur dan meja tulis di sisi kiri. Dapur dan ruang makan kecil di depan, serta kamar mandi di sebelah kanan. Terdapat penghangat dan pendingin ruangan di flatnya tinggal. Air minum berasal dari air kran yang dapat diminum langsung dan ada jaringan WiFi sebagai pengganti jaringan telepon. Gas tersedia sebagaimana air yang disalurkan dengan pipa khusus. Sebelum beraktivitas di malam hari, Faisal menyalakan laptop yang ada di atas meja dan membuka

YesTube tentang berita dari tanah air.

Dia mengambil ketel metal dan mengisinya dengan air dari kran, sepertinya Faisal akan bergadang berteman dengan kopi. Kotak yang dibawanya dibuka dan isinya disusun ke lemari khusus menyimpan makanan dan bumbu masak. Malam ini ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Hari ini dia harus menyelesaikan editing buku milik mahasiswa Belanda yang berjudul “Catatan Hindia Belanda” dan “Cara Lahap Menyantap Sejarah” dari penggiat sejarah asal Indonesia. Entah sebuah kebetulan atau apa, naskah yang sedang digarap Faisal berhubungan dengan sejarah.

Bila mengingat sejarah, alam bawah sadarnya tertuju pada masa lalunya di Sidoarjo. Tempat yang dahulunya hanya mengenal dirinya sebagai seorang mahasiswa biasa yang datang dan pulang dari kampus sekadar mengisi presensi kehadiran. Dari anak STM Galangan Buduran yang biasa menangani mesin otomotif beralih ke jurusan Bahasa Arab merupakan pilihan terburuk yang pernah Faisal pilih.

Faisal memilih jurusan Bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo karena hanya itu yang gratis. Sayangnya dia tidak memiliki cukup dasar mengenai ilmu bahasa seperti Nahwu Sharaf maupun Fikih, satu-satunya yang Faisal tahu hanya pelajaran sejarah peradaban Islam, itu pun sekarang tahu dan belajar secara otodidak di musala kampung.

Dia bukan orang yang religius, tetapi dia menghormati nilai-nilai ada dalam kehidupan bermasyarakat. Baginya, buta akan jati diri sangat berbahaya. Buta jati diri yang dimaksud adalah tidak tahu asal usul diri dan sejarah para pendahulu.

***

Untuk mereka yang berjuang dengan diri sendiri, Kalian seorang pemberani yang tangguh.

Tidak ada yang terlambat selama ada keinginan, Karena berdamai dengan diri sendiri butuh keberanian.

—{o0o}—