Contents
Rahim
Bab 3: Tak Terjebak Masa Lalu
BERTUGAS pagi hari ini cukup membuat tubuhku letih. Rampung menangani pasien Lina, aku, Linda, dan Dina segera beres-beres ruang bersalin hingga rapi dan bersih. Petugas kebersihan juga banyak membantu kami.
“Selamat Pagi, Angels!” seruan itu membuat kami terkejut dan serta merta menoleh ke arah pintu ruang bersalin.
Seorang pria jangkung berkacamata masuk dengan wajah semringah sambil berjalan menuju nurse station, tempat kami berkumpul.
Kami tengah melengkapi catatan medis pasien. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30 WIB.
“Pagi!” jawab kami bersamaan.
Dokter Bimo membuka snellinya dan duduk di sebelahku. “Hai, Kania. Udah eek belum?” tanyanya ringan.
Aku menjengkit sementara yang lain terbahak-bahak mendengar pertanyaan Dokter Bimo.
“Apaan, sih, pertanyaannya gitu amat?” protesku.
“Enggak romantis, Dok,” timpal Dina membuat Linda cekikikan.
“Lho? Apa salah?” Dokter Bimo mengangkat bahu acuh tak acuh. “Buang air besar juga penting buat kesehatan. Aku nanya gitu karena peduli sama Kania. Ya, kan, Nia?”
Aku benar-benar tak habis pikir dengan pria ini. Ada saja tingkah konyolnya yang membuat ruang bersalin ramai dan penuh tawa. Semenjak kedatangannya tiga bulan lalu, dokter spesialis kandungan bertitel duda keren itu berhasil mencuri perhatian para bidan, perawat, dan pasien-pasien. Pembawaannya yang riang dan ramah membuat Dokter Bimo banyak disukai orang.
“Nanti siang makan soto, yuk,” gumamnya kepadaku.
“Puasa,” jawabku.
“Alhamdulillah, ya, Allah. Selain cantik, Kau kirimkan wanita saliha ini.” Dokter Bimo berkata sambil mengusapkan tangannya ke wajah, seolah-olah mengucap syukur kepada Tuhan.
Sekali lagi Linda dan Dina berpingkal-pingkal melihat ulahnya. Aku hanya tersenyum seraya menggeleng-geleng.
Di tengah keceriaan pagi itu, tiba-tiba ada kabar dari
IGD yang membuat kami siaga. Linda mengangkat telepon yang baru saja berdering. Wajahnya menjadi serius. Pasti ada pasien gawat darurat.
“Pasien suspect KET¹. Kesadarannya komposmentis tapi histeris.” Linda mengumumkan.
Dengan sigap Dokter Bimo bangkit lalu memberi instruksi kepada kami. Wajahnya serius dan bicara dengan lugas. Jika sedang begitu dia tampak lumayan keren.
“Dina, persiapan operasi segera, ya. Minta tolong hubungi kamar operasi. Linda coba cek persediaan darah. Nia, siapin informed consent². Aku ke IGD dulu cek kondisinya.”
Diagnosa pasien bernama Siska sudah tegak. Pasien itu memang mengalami kehamilan di luar kandungan. Hasil USG menunjukkan saluran telur sebelah kanan hampir pecah. Dia juga mengalami perdarahan dalam perutnya. Operasi akan segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Jika menunggu terlalu lama, pasien bisa saja meninggal akibat perdarahan dan nyeri yang hebat.
Aku sudah menyiapkan dokumen pasien untuk dibawa ke ruang operasi. Saat ini Dokter Bimo sedang berbicara dengan suami pasien. Namanya Daniel. Itu yang tertera di rekam medisnya. Tak lama kemudian Dokter Bimo muncul diikuti suami pasien.
“Silakan Bapak tanda tangan persetujuan di meja itu. Ada Bidan Kania yang akan membantu Bapak.”
Kudengar Dokter Bimo berbicara.
Aku segera mengambil pena dan menyiapkan formulir persetujuan tindakan.
“Nia?” Tiba-tiba suami pasien itu memanggil namaku.
Aku mendongak dan melihatnya lebih saksama. Sedetik kemudian aku sadar siapa pria gemuk yang tengah berdiri di samping Dokter Bimo. Dia Daniel. Daniel yang kukenal di masa lalu.
Setelah berhasil memulihkan keterkejutanku, aku tersenyum kepadanya. “Silakan duduk,” ujarku.
Aku merasakan tatapan dari dua pria yang masih mematung di tempat mereka. Satu menatap takjub, satu lagi menatap penasaran, membuatku sedikit jengah. Akhirnya Daniel duduk dan mendengarkan penjelasanku. Dia membubuhkan tanda tangan kemudian melihatku lagi.
“Istriku akan susah hamil lagi. Padahal kami sudah menunggu kehamilan ini selama bertahun-tahun. Tapi sekarang malah jadi begini.” Nada kesal dalam suaranya membuatku mengangkat alis.
Aku paling tidak tahan menghadapi pria bermental lemah. Bersikap seolah-olah menjadi makhluk yang paling menderita. Daniel tidak banyak berubah, kecuali fisiknya yang kini mungkin surplus 20 kilogram dibandingkan dengan enam tahun lalu ketika kami memutuskan berpisah.
Ya. Daniel adalah mantan kekasihku.
“Padahal aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk konsultasi dengan dokter agar Siska bisa hamil.” Dia mengeluh lagi.
Aku mendengkus keras, membuat Daniel tergemap dan menatapku.
“Pak, dokter hanya perantara untuk membantu. Selebihnya tergantung kondisi masing-masing pasien. Banyak faktor yang menyebabkan kehamilan di luar kandungan terjadi. Upaya yang paling mungkin sekarang adalah menolong istri Bapak sebelum terlambat. Karena jika tidak cepat dilakukan operasi, maka nyawanya akan terancam. Lebih baik Bapak berdoa agar operasinya lancar dan istri Bapak dapat segera pulih.” Aku berbicara dengan nada datar.
Daniel membisu. Kulihat wajahnya memerah. Entah marah atau merasa malu. Aku tak peduli.
“Silakan Bapak menunggu di ruang tunggu kamar operasi. Letaknya di lantai dua.” Aku mengakhiri perbincangan.
Kata-kataku membuat Daniel bangkit dan pamit terburu-buru. Dokter Bimo masih berdiri di tempatnya dengan wajah terkesima. Aku balas menatapnya sambil bersidekap.
“Hei, Dok. Jangan bengong aja. Pasien udah nunggu di kamar operasi,” ucapku kepadanya.
Dokter Bimo nanap dan tersenyum gugup salah tingkah. Dia mengangguk dan segera memelesat meninggalkanku yang masih merasa dongkol.
Menjadi orang tua bukan perkara siap secara fisik dan finansial. Namun, ada tanggung jawab besar dan jalan kesabaran yang harus ditempuh. Mungkin saat ini aku belum diberi kesempatan untuk memiliki pasangan, tetapi setidaknya aku paham, bahwa ujian hidup bukan untuk dikutuk, tetapi untuk direnungkan.
Diam-diam aku bersyukur dengan apa yang ada pada diriku. Meski setiap bertemu Mama, dia selalu menanyakan kapan akan mengenalkan calon menantunya, tetapi setidaknya aku tidak terjebak dengan pasangan yang tidak pandai bersyukur dan menyembunyikan keluh kesahnya.
Selepas kepergian Dokter Bimo aku terpekur, merasa kasihan kepada Siska. Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk dan membuatku tertegun
Selamat pagi, Kania. Perkenalkan saya Dewa Putra Manggala, anak Ibu Rosa Setiana dan Bapak Endang Suryadiningrat.
Belum apa-apa, pria yang disebut Mama baik dan bersahaja itu membuatku memutar bola mata.
***
- KET (Kehamilan Ektopik Terganggu): kehamilan yang terjadi di luar kandungan. Biasanya terjadi di saluran telur.
- Informed consent: Penyampaian informasi dari dokter atau perawat/bidan kepada pasien/keluarga pasien sebelum suatu tindakan media dilakukan.