Contents
Beauty Is A Privilege
4. Kenapa Harus?
"Maaf, saya sebenarnya sudah tiba sejak beberapa saat lalu," ucap Dimas, duduk di kursi yang tersisa di sisi anaknya, Nata. Pria itu mengusap kepala anaknya dengan lembut. Kemudian melirik Milly dengan seulas senyum kecilnya.
"Saya setuju dengan apa yang Milly ucapkan barusan. Pun dengan apa yang ibunya katakan," tutur pria bernama lengkap Adimas Prayoga itu kembali, seraya melirik Wida sejenak. "Tidak ada asap jika tidak ada api, bukan begitu? Ini permasalahan anak-anak. Jadi biarkan anak-anak lagi yang menyelesaikannya. Kita sebagai orang tua cukup untuk menengahi saja. Jangan sampai pertemuan orang tua ini justru membuat mereka menjadi semakin terpecah belah."
Dera merasa kalah dan terpojok mendengar ucapan Dimas. Sehingga wanita itu hanya terdiam sambil merotasikan bola matanya. Apalagi setelah tahu bahwa Dimas adalah seorang pengacara.
Setelah pembicaraan lebih lanjut selama beberapa waktu, pertemuan pun berakhir dengan hasil bahwa kasus tidak akan diperpanjang. Rendi, Milly, dan Nata berbaikan dengan bersalaman tangan.
"Terima kasih karena Pak Adimas barusan membela Milly dan membuat permasalahan selesai dengan baik," ucap Wida begitu ia keluar dari ruang wali kelas. "Jika tidak ada Bapak, kemungkinan akan sulit untuk menyelesaikan permasalahan tadi."
Dimas tersenyum kecil. "Apa yang dikatakan oleh Milly memang benar, makanya saya berbicara demikian. Milly benar-benar anak yang kritis dan pemberani. Saya salut dan berterima kasih karena dia begitu berani membela Nata."
Wida melirik anaknya yang sedang berbicara dengan Nata akrab. "Terima kasih, Pak Dimas,"
pungkasnya. Wida juga bangga karena Milly begitu berani mengutarakan pandangannya di depan orang-orang. Dia juga begitu berani membela orang yang lemah. Namun di satu sisi, Wida pun merasa takut.
"Kamu tidak apa-apa?"
Wida tidak sadar bahwa beberapa saat lalu dia terlalu lama melamun seraya menatap Milly, sampai akhirnya Dimas melambaikan tangan di depan wajahnya dan Wida mengerjap seketika.
"Oh, saya tidak apa-apa, Pak." Wida tersenyum canggung. Dia lalu melirik pada Fathan yang terlihat mengantuk di gendongannya. "Kalau begitu, saya pamit pulang. Anak saya sepertinya sudah mengantuk."
Dimas menatap Fathan lalu mengangguk singkat. "Baiklah."
Wida memanggil Milly untuk pulang, kemudian pamit pada Dimas dan berjalan pergi meninggalkan sekolah.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Wida tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Wanita itu hanya terdiam dengan tatapan yang nanar, tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Ma! Mama!"
Wida mengerjap saat Milly menggoyangkan tangannya sambil memanggilnya dengan lantang. Begitu melirik sekitar, Wida baru sadar bahwa mereka sudah tiba di depan rumah.
"Kenapa Mama ngelamun terus, sih? Milly panggil dari tadi," gerutu Milly. Anak itu mengerucutkan bibir mungilnya.
Wida menghela napas pelan, kemudian tersenyum seraya mengusap puncak kepala anak sulungnya itu. "Maafin Mama. Mama cuma lagi enggak enak badan, Sayang."
"Mama sakit?" Milly kembali bertanya. Menelisik raut wajah ibunya.
Wida menggeleng pelan. "Cuma sedikit capek aja, Sayang."
"Bukan karena Milly?" Milly menatap Wida menengadah. Matanya yang jernih terlihat begitu polos sehingga membuat Wida merasa terenyuh seketika. "Milly ngerepotin Mama terus, ya?"
"Enggak, Sayang. Bukan seperti itu," lirih Wida. Perempuan itu dengan hati-hati berjongkok di hadapan Milly. Berusaha tidak membuat Fathan bangun. "Kamu enggak ngerepotin Mama. Kalaupun iya ngerepotin, ya enggak apa-apa. Mama lebih suka kayak gitu, daripada Milly menjadi anak yang terlalu baik dan tumbuh dewasa lebih cepat. Mama mau, Milly tumbuh dengan apa adanya."
"Maksudnya?"
"Maksud Mama, Milly jangan terlalu cepat tumbuh dewasa. Mama mau, Milly bersikap sesuai usia Milly. Enggak apa-apa kalau Milly mau kesal, mau marah-marah, mau merengek mainan sama Mama, mau merengek pengin dibeliin es krim, atau apa pun itu."
"Mama aneh. Padahal, Milly selalu lihat ibu orang lain marahin anaknya saat mereka rewel. Tapi Mama malah pengin Milly kayak gitu." Milly geleng-geleng kepala. Tak habis pikir dengan apa yang ibunya katakan.
Sementara Wida hanya bisa tersenyum kecil. Dia merasa bangga, tetapi juga takut di saat yang sama. Dia takut bahwa Milly tumbuh dewasa secara terpaksa.
"Wida!"
Wida dan Milly seketika menoleh saat mendengar suara seseorang memanggil nama Wida. Tampak seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri mereka dengan raut wajah yang terlihat kesal.
"Bu."
Wida seketika berdiri. Berjalan menghampiri wanita paruh baya itu dan mengulurkan tangan untuk mengecup tangannya. Namun, wanita itu justru menepis tangan Wida dengan kasar.
"Kamu, kok, belum pergi ke toko kelontong Ibu, sih? Ini udah jam berapa, eh? Toko enggak ada yang jaga. Ibu mau pergi arisan sama temen-temen. Jadi pada kesal karena Ibu enggak kunjung datang karena harus jagain toko!" omel ibu mertu Wida, Bu Mirna.
"Iya, Bu. Tadi aku ...."
"Udah, deh. Jangan banyak kasih alasan. Sekarang cepetan pergi ke toko! Enggak ada yang jaga sekarang," titah Bu Mirna ketus. Wanita dengan dandanan yang cukup glamour tersebut langsung membalikkan tubuh begitu saja. Padahal, Wida saja belum selesai berbicara.
Wida menghela napas dalam. Selalu saja seperti itu. Entah bagaimana Wida menghadapi sikap ibu mertuanya tersebut. Selama ini Wida selalu sabar dan menuruti saja apa pun yang dia katakan. Sebab Aryo selalu bilang untuk memperlakukan ibunya seperti ibu kandung Wida sendiri. Turuti apa yang dia perintahkan, sebab watak Ibu keras. Namun, berulang kali Wida berpikir, kenapa harus?
Kenapa harus dia terus menuruti perintah ibu mertuanya di saat dia sendiri tahu ada sesuatu hal lain yang lebih genting untuk dia kerjakan? Kenapa harus dia terus memberi makan ego Bu Mirna setiap saat? Kenapa harus dia yang selalu mengalah dengan sikap ibunya? Kenapa?
"Ibu!" panggil Wida. Agak keras agar Mirna mendengarnya dan mau berhenti barang sejenak. Untungnya, kali ini wanita itu menoleh, meski tatapannya kurang bersahabat. "Ada yang mau aku obrolin sama Ibu. Cuma sebentar. Enggak sampai lima menit," lanjutnya.
Wida lalu menepuk pelan bahu Milly. "Sayang, Mama harus bicara dulu sama Nenek. Kamu masuk ke dalam, ya. Makan siang. Mama udah masak tadi."
Milly mengangguk pelan. Sekilas, dia menatap neneknya yang selalu saja bersikap seenaknya kepada Wida. Kemudian masuk begitu saja ke dalam rumah. Sementara Wida kini menghampiri ibu mertuanya itu.
"Apa, sih, Wid? Ibu lagi buru-buru juga. Apa enggak bisa ngomongnya entar lagi?" ketus Bu Mirna.
Wida memilin jari-jarinya sendiri dengan gugup. Teringat dengan apa yang dikatakan oleh Aryo beberapa saat lalu. Teringat pula dengan apa yang lelaki itu lakukan di belakangnya.
"Anu ... aku mau minta tolong sama Ibu," kata Wida terbata. Dia merasa tidak enak. "Ibu bisa bicara baik-baik dengan Mas Aryo? Tolong minta dia untuk pulang tepat waktu atau setidaknyaa angkat telepon aku dan bicara baik-baik. Ada banyak hal yang mau aku sampaikan. Tapi, Mas Aryo sangat sulit buat aku ajak bicara. Kalau Ibu yang bilang, dia pasti nurut."
Sesaat, Bu Mirna menatap Wida dengan tatapan menelisik. Lalu berujar, "Kalian lagi ada masalah?" dia tanya. Nadanya tidak terdengar simpatik, melainkan sangsi.
Wida mengangguk pelan, tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
Bu Mirna menghela napas dalam. "Palingan masalahnya ada di kamu, Wid. Aryo enggak mau ketemu dan ngobrol sama kamu karena kamu kucel, kumel, dan jelek begini. Aryo udah sering ngeluh sama Ibu soal kamu."
Tenggorokan Wida seketika tersekat mendengarnya. Dia tidak mengira bahwa Aryo bahkan menjelek-jelekkan dirinya pada ibunya sendiri. Dadanya semakin sakit saja. Padahal dia harap, dia bisa berbicara baik-baik setelah semuanya. Entah dengan lewat ibu mertuanya, atau lewat Aryo langsung. Namun yang terjadi, dia justru sakit hati karena mendapat penghinaan lagi.
"Bu."
"Lagian heran Ibu juga. Kenapa dulu dia mau-maunya sama kamu? Sekarang aja, dia baru nyesel. Banyak ngeluhnya." Bu Mirna geleng-geleng kepala. "Enggak guna emang kamu itu. Nyenengin hati suami aja enggak becus."
Dan pada detik itu, Wida hanya bisa terdiam mendengar rentetan kata-kata menyakitkan tersebut. Dia bukannya tidak bisa melawan atau membela diri. Hanya saja, Wida masih menghormati Bu Mirna sebagai ibu mertuanya. Sehingga pada akhirnya dia hanya bisa pasrah mendengar semuanya.
***