Contents
Partner (In Crime) With Benefit
1. Penipi Gagal Bohong
Rora Kell Bongkar Identitas Penyanyi Berinisial R di Podcast Gosip Today
Di tengah sesak bus kota, sambil berpegang pada pegangan langit bus, mulut seorang pelajar berseragam putih abu-abu tersebut membulat begitu melihat headline lewat di TL instagramnya.
"Ha? Ini R? Remy?"
•••
Ternyata Ini Sosok Berinisial R yang Diduga Kekasih Gelap Rora Kell
Di tempat lain, ada cewek baru menyantap soto babat di kantin kantor, langsung tersedak saat membaca headline tersebut.
"Gila aja! Pantes nggak doyan cewek! Demen yang jadi-jadian."
•••
Rora Menjadi Alasan Remy Tidak Tertarik pada Cewek
Sering Bikin Baper Penggemar, Remy Ternyata Seorang Gay
"Ya ampun! Ya ampun!" Di salah satu rumah di antara pemukiman kumuh dekat rel kereta api, tepatnya di teras, seorang cewek yang duduk di atas kursi kayu panjang tersebut uring-uringan usai membaca berita barusan dari ponsel yang layarnya sudah retak.
"Kenapa, sih?" Cewek di sampingnya malas-malasan menyahut sebab isi kepalanya penuh dengan himpitan masalah. Tangannya sibuk kipas-kipas dengan potongan kardus lusuh. Sementara rambutnya sudah mirip singa habis memburu mangsa.
"Remy! Remy katanya gay!"
Gerakan tangannya berhenti, salah satu alis cewek tersebut menukik. "Remy siapa, sih?"
"Artis!"
Wajar dia tidak tahu, rumahnya absen televisi. Berbeda dengan sahabatnya tersebut, masih punya kesempatan pegang hape, walau kentang dan suka mati setiap sedang asik di gunakan.
"Nggak tahu."
"Katrok banget sih, Neng. Vokalis band! Lagi naik daun."
"Idola baru lu?" Habis sahabatnya doyan banget ngelist idola baru, yang aktorlah, yang penyanyilah, sampai selebgram juga.
Dia mengangguk. Ya elah, pantas saja cewek tersebut tidak tahu.
"Ya udah, mending berhenti suka. Dia gay. Gak doyan semangka lo," kekehnya langsung kena geplak sahabatnya tersebut.
"Sial! Sakit, Tin!"
•••
Menjelang Perilisan Single Terbaru, Remy Vokalis Take Over the Moon Band Dikabarkan Menjalin Hubungan Gelap dengan Rora Kill
"Angkat hape lo, Nyet!"
Sementara jemari Tiara terus menggulir luar ponsel berisi headline media yang membuat kedua matanya pedih, suara Tian mengusik, menegur cowok yang duduk pada sofa ktemu di depan Tiara dengan kaki resah.
Remy. Vokalis Take Over the Moon band.
"Remy, bundahara lo itu."
Desahan Tiara lolos. Remy sengaja meletakkan ponselnya di atas meja, sementara mereka duduk di atas sofa. Terjebak di salah satu stand by room agensi demi meloloskan diri dari kepungan puluhan wartawan di lobi agensi.
"Rem!" tegur Tiara, sang manajer.
Mendengkus kesal, Remy membanting punggungnya pada sandaran sofa. "Beliau ini pasti cuma mau marah-marah."
Rindra, salah satu cowok yang berada di antara mereka, memijat keningnya, tidak lebih baik, justru semakin pening.
"Seenggaknya angkat, Njing! Bunda lo itu. Khawatir sama lo." Yang berdiri di dekat jendela kaca dan berseru kencang tersebut Adam, drummer TOtM Band.
"Kalau lo nggak berniat nyanggah, artinya yang beredar bener?" sambung Rindra.
Sontak saja, kedua mata Remy terbelalak. "Bangsat! Gue nggak makan terong!"
"Makanya angkat!" gertak Tiara ikut tidak sabaran.
Meski terlihat ogah-ogahan, tangan Remy menyambar ponselnya, sebelum menggeser tombol hijau, tidak lama, panggilan tersambung.
"Remy!"
Nah kan! Remy kontan memejamkan mata dan sedikit menjauhkan ponsel dari telinga.
"Bun, ak-"
"Tega kamu sama Bunda! Kamu pacaran sama cewek jadi jadian itu?"
Belum juga memberi penjelasan, sudah kena semprot.
"Bun, itu hanya rumor. Nggak bener." Remy berusaha menjelaskan dengan lembut. Yang lain hanya meringis tidak tega. Remy boleh jadi bengis kepada yang lain, tetapi kepada Sang Bunda, Remy tidak mampu berkutik.
"Tapi kamu benar nggak ada pacar! Gimana Bunda bisa percaya, Rem?"
Yang lain tidak bisa menahan tawa mendengar omelan Bunda. Bagaimana pun, Remy memang tidak pernah terlihat menggandeng cewek mana pun. Wajar saja kalau mereka mudah tergiring rumor tersebut, meski pun bukan kebenaran.
"Bun, aku ada pacar kok."
"Idih, mulai mengarang cerita," komentar Tiara langsung mendapat pelototan dari Remy.
"Bunda nggak percaya! Bawa dia ke rumah. Baru Bunda percaya!"
Belum sempat Remy menyahut, panggilan terputus. Bukan hanya dia, semua tercengang.
"Gila, Bunda udah fase nggak tahan. Jadi, lo bakal bawa pacar lo?" buka Adam.
Remy benar-benar tidak lagi punya kesempatan bersuara saat pintu tiba-tiba terbuka. Remy sempat terperanjat karena takut penyusup, ternyata salah satu rekan bandnya yang masuk bersama Pak Dean, peninggi agensi mereka.
"Sudah aman. Kamu bisa balik sekarang," kata Pak Dean.
"Jackpot!" Remy langsung berdiri.
"Kamu benar pulang sendiri, Rem?" Pak Dean perlu memastikan.
Remy mengangguk. "Iya, Pak."
"Okay. Selama rumor ini nggak benar, biar kami yang handle."
Rasanya hangat sekali karena bisa mempercayakan semuanya pada agensi yang telah membesarkan namanya.
"Ingat, Rem. Pulang ke rumah lo dan pastikan lo tidak keluar." Tiara memberi peringatan, mengingat Remy ini suka sekali ngeyel.
Remy mengangguk. "Selama kalian di sini, orang akan berpikir gue juga di sini, Mbak. Jadi lo tenaga aja."
•••
Di tempat lain ...
Orang-orang di sekitarnya mungkin masih bisa tertawa sambil mengusap kening yang berkeringat jagung. Atau lari-larian sehabis makan somay di tenda terdekat. Mintang lupa kapan terakhir bisa seringan itu menikmati hidup. Baginya, hidup enggak pernah adil. Yang kaya semakin kaya, yang melarat kemakan tanah. Mintang bukannya tidak berusaha, gagal lulus SMA, punya empat adik dan tinggal di perumahan kumuh seolah menjadi batu sandungan seluruh urusannya. Hanya berujung ikut Mpok Reni jadi buruh cuci. Itu pun sehari hanya dapat 50 ribu. Mana cukup untuk hidup berlima di kota besar begini.
Perutnya bisa menahan lapar sepekan penuh, tidak untuk empat adiknya. Paling bontot sudah ingin makan, sementara adik pertama mengeluh seragam sekolahnya menjadi incaran ejekan teman-temannya.
Di tengah kosong pasar yang ramai, Mintang tidak pernah merasa payah bersama terik yang menyengat. Tangan kanannya menggenggam erat tongkat kayu yang biasa dia gunakan untuk pekerjaan kotor.
"Aku bisa dapat seragam sekarang, Kak?" Suara Janu seberapa saat lalu sepulang dia sekolah, terus mengusik. Bagaimana pun, kakak mana yang tega melihat adiknya hidup dalam pecutan ejekan teman-temannya. Cukup dia yang gagal, tidak untuk adik-adiknya.
Mintang mencium kedua keteknya.
"Sudah bauk, Tang. Nggak usah Ente cium-cium!"
Mintang nyengir pada Haji Muhid, seorang penjual buah-buahan yang tak jauh darinya.
"Biar makin yahud dong, Pak Haji!"
Haji Muhid geleng-geleng. "Mau ke mana Ente? Pasti ambil uang haram lagi, kan? Dosa!"
Yah! Haji Muhid bisanya bilang dosa. Namun, tidak bersedia memberi sedekah kepada Mintang.
"Iyalah! Habis Ente ndak mau kasih uang. Iya nggak? Eh ampun Pak Haji!" Buru-buru Mintang kabur saat Haji Muhid mengambil satu melon dan hendak dia lempar pada Mintang.
"Mintang! Sini Ente!"
"Ampun!"
Yang lain hanya bisa tertawa melihat kelakuan Mintang dan Haji Muhid.
Setiap langkah larinya, sesekali Mintang menyapa para pedagang di pasar. "Siang Koh Ang!" Dia melampai.
"Oi!"
"Mintang! Mau telur? Kau ambil sore ini ya!" Mpok Jaenab menyahut.
Mata Mintang langsung berbinar. "Siap, Mpok. Nanti aye ambil!"
Mpok Jaenab mengangguk. Barulah begitu keluar pasar, desahan lega Mintang lolos. segera dia membuat kaus putih lusutnya dan celana pendeknya semakin kotor dan lusuh. Juga membuat rambutnya berantakan. Dia perlu duit cepat, dan ini satu-satunya cara.
"Tapi kakak jangan cari duit pake cara biasanya ya. Aku khawatir." Mintang tahu Janu amat benci cara kotornya. Akan tetapi, ini satu-satunya cara supaya mereka bisa hidup sampai besok.
Jadi, tanpa mengindahkan peringatan Sang Adik Tertua. Mintang pura-pura pincang untuk berjalan ke tengah jalan. Senyumnya mengembang begitu matanya memindai sebuah pajero hendak lewati di depannya. Dia memutar tumit untuk menghadap pajero tersebut. Sebentar lagi
Bentar lagi. Dan ...
TAK!
Mintang memukul kaca mobil tersebut dengan tongkatnya, tidak lama setelahnya, dia terjatuh begitu saja. Sontak, orang-orang langsung menoleh pada suara barusan. Sementara itu, mobil berhenti dengan rem yang memekak telinga.
"Ada orang jatuh!"
Kerumunan mulai tercipta. Mintang mengerang memegang kakinya yang memerah. Sudah dia buat skenario luka.
"Woi! Keluar! Tanggung jawab!"
Mintang melirik ke belakang, pada ekor mobil yang sudah berhenti tersebut. Benar saja, tidak lama kemudian, pria bertubuh tinggi dengan kaca mata hitam dan masker senada keluar. Dia tidak salah sasaran, kan?
"Tanggung jawab woi!" Pria berubah penuh tato berseru. Dia terlihat paling kesal.
Sosok tersebut mendekat, saat itulah, Mintang tetap tidak bisa memindai, dia hanya mampu terus mengerang dengan tatapan kesakitan. Terlebih, bukan saatnya Mintang penasaran.
"Mas! Kalau nyetir mobil bisa hati-hati nggak, sih!" Seru Mintang kesal yang mendapat sorakan yang lain.
Mintang menatap tajam pria itu. "Jangan mentang-mentang punya mobil besar, Mas bisa seenaknya pakai jalan ya."
Sial! Sudah marah-marah, kenapa dia diam, sih?
"Mas ngomong! Takut lu?" Yang lain menyahut.
Masker dan kaca mata yang dia kenakan betul-betul membuat Mintang sulit mengendalikan situasi.
Jadi, mintang memilih pura-pura mau berdiri dan langsung terjatuh lagi. "Mbak! Sakit banget, ya?"
Mintang hanya meringis penuh kesakitan. Tidak lama, dia mendongak memindai lagi pria tersebut. "Saya nggak akan lapor polisi kalau Mas mau tanggung jawab dengan beberapa uang." Terang-terangan Mintang bicara.
"Bener! Kasih ganti rugi. Dia sakit."
Pria tersebut memandang Mintang sangsi. Sebelum pandangannya mengedar pada ramainya orang pasar. Traffic light yang masih jauh dari pandangan. Dan saat itulah Mintang bisa melihat kepalan tangan pria itu. Dia menelan ludah susah payah, Mintang eenggak salah sasaran, kan? Dia hanya perlu dapat ganti rugi lalu kabur.
"Lo benar sakit?" Akhirnya suaranya keluar. Terdengar berat dan penuh ejekan.
Mintang mengangguk ragu. Kenapa firasatnya buruk ya?
"Okay."
"Eh!" panik Mintang saat pria itu membungkuk untuk menarik lengan Mintang sampai berdiri.
"Mas! Dia sakit, hati-hati, dong!" Seorang ibu-ibu yang membawa belanjaan protes.
Dia hanya mendengkus lesal. Lalu kembali beralih pada Mintang. "Ikut gue!"
"Nggak!" Mintang berusaha memberontak.
"Gue nggak hanya tanggung jawab uang, tapi juga akan mengantar lo ke rumah sakit. Jadi ayo!" Dia membungkuk lagi untuk mengambil tongkat Mintang. Tentu saja mulut Mintang hanya mampu membulat. Sementara isi kepalanya merancang skenario mengerikan.
"Nah! Gitu, dong! Tanggung jawab!" Yang lain berseru lagi.
Sial! Bukan begini rencana Mintang
"Mas, sa-"
"Ayo!" Minta gagal selesai bicara saat pria tersebut benar-benar menyeret Mintang ke mobil. Teseok-seoklah dian mengikuti langkahnya.
Pria itu membuka pintu mobil bagian depan. "Mas saya bisa kel- eh!" Mintang menjerit saat pria ini sembarangan menyentuh pinggangnya dan mendudukkan Minta pada kursi mobil.
"Duduk sini!"
Dia langsung menutup pintu dan berjalan memutari mobil. Mintang sudah mirip cacing kepanasan, baru dia ingin kabur saat pria tersebut ikut masuk mobil dan langsung mengunci pintu mobil. Dengan wajah tegang, Mintang menoleh pada pria yang sudah melepas kaca mata dan maskernya.
Sesaat, Mintang terkesima dengan pesona paras tampan dan tegas pria tersebut. Mulutnya membulat. Rahangnya tegas, kedua matanya tajam, ada tahi daat pada pipi kiri yang justru terlihat menarik, hidungnya benar seperti perosotan dan bibirnya yang kecil membuatnya terlihat sexy. Bagaimana bisa ada pahatan tampan di depannya?
"Kamu butuh tanggung jawab, kan?"
Lamunan Minta buyar. Shit!
"Gue bawa ke rumah sakit."
Mintang nyaris kejang-kejang. Nggak! Ini nggak sesuai rencana! Kalau begini, dia bisa ketahuan bohong, dong![]
Untuk bab 1 masih mengenalkan sedikit-sedikit soal Remy dan Mintang, ya. Sampai jumpa di bab berikutnya ^^