Try new experience
with our app

INSTALL

Legi dan Tulang Rusukku 

Cerpen Legi dan Tulang Rusukku

Malam mulai tampak gelap ketika kulihat seorang anak laki-laki kecil berkepala plontos, duduk meringkuk sambil menundukkan kepalanya di teras rumah. Tubuhnya kurus. Badannya mengigil kedidingan. 

  Ketika kutanyai, ia hanya diam tak menjawab sepatah kata pun. Lalu kubawa ia masuk ke dalam rumah. Dimana istriku sedang memasak makan malam. Tampak matanya berbinar-binar ketika melihat hidangan enak di atas meja makan. Seolah ia merasa sudah terlampau lapar. 

  “Nak, makanlah,” Aku, kepala keluarga di rumah menyuguhkan sepiring nasi lauk tempe. Dia memakan lahap. Butir-butiran nasi tercecer di meja. 

“Tenanglah, tak ada yang memburumu.” Dia tak mengubris perkataanku. Terus makan cepat. Mungkin kecepatannya sama seperti pesawat supersonic. Aku geleng geleng kepala melihatnya. 

 “Kita beri nama dia siapa, Pa?” Istri di sampingku bertanya. 

“Memangnya kita mau mengasuhnya?” 

“Ya, haruslah. Kan sampai sekarang, kita belum juga punya anak.” Istriku merajuk. Aku mengangguk pelan. Sebuah ciuman mendarat mulus di pipiku. 

“Terima kasih, Pa.”

“Ayo, sini, Nak. Mandi dulu.” Istriku menggandeng anak itu ke kamar mandi. Di atas meja, makanannya belum habis. Aku mengelengkan kepala.

“Begitu inginnya istriku punya anak. Mungkin dia memang ditakdirkan buat kami.” aku membatin.

  “Bagaimana, Pa? Sudah tahu mau diberi nama siapa?” tanya istriku sembari merapikan pakaian anak itu. Aku menggeleng.

“Kalau namanya Legi, cocok gak? Seperti pasaran Jawa hari ini.”

“Bagus juga, Pa. Mudah diingat. Selain itu dia juga manis anaknya.” Istriku menyetujuinya.

“Nak, sekarang namamu Legi. Kamu suka, kan.” Anak itu cuma terdiam. Matanya tampak lelah.

  “Dia pasti suka kan, Pa.” Aku mengangguk.

“Dia sepertinya sudah mengantuk.” Aku melihat Legi menguap beberapa kali. Istriku membawanya ke dalam kamar.

  “Sementara ini papa tidur di luar ya.” Aku terkejut.

“Tapi, Ma…” Belum rampung omonganku, pintu kamar sudah ditutup.

“Yah, sudah nasibku.” Aku nge-dumel sendiri. Bergegas menuju ke ruang keluarga.

  Di sofa panjang ruang keluarga, aku berbaring. Pikiranku menerawang kembali ke kejadian seminggu sebelumnya. Saat pernikahan kami tepat lima tahun, aku dan istriku sering bertengkar. Tak kunjung punya anak, biang masalahnya. Mertuaku pun ikut campur. Aku kesal dan tak terima.

  “Ini urusan keluarga kita, tak perlu bawa-bawa orang lain.” 

“Orang lain apa!! Mereka itu orang tuaku. Mereka masih berhak atas aku.”

“Iya, tapi sekarang kamu istriku. Jangan coba macam-macam.” 

“Terus kenapa? Kamu suami payah, tak bisa beri keturunan.” 

“Plak!!” Tamparan keras di pipi istriku. 

Istriku menangis. Masuk ke kamar, mengunci pintu. Aku terdiam di luar. Mencoba mengontrol emosiku yang masih tinggi. Seminggu lebih, kami tak berbicara, tak bertegur sapa. Keadaannya dingin seperti es membeku. Sebelum akhirnya, aku memberanikan diri.  

“Ma, maafkan Papa ya. Papa terlalu emosi.” Istriku menatapku lekat-lekat. Aku tahu dia juga menyesal. Kami pun berpelukan. Kebekuan itu tercairkan. 

Aku tersenyum pahit jika mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang tak ingin kami ulangi lagi. Cukup sekali itu saja, aku menampar istrinya. Cukup hari itu saja, aku mendengar perkataan suami payah dari mulut istriku. Lelah pikiran dan tubuh membuat mata ini mengantuk.

***

  Esok harinya, aku ke kantor Kependudukan mengurus administrasi persyaratan mengurus Legi. Cukup rumit karena aku tak tahu siapa orang tuanya Legi atau dari panti asuhan mana ia berasal. Aku pusing tujuh keliling dibuatnya.

  Seorang pria tiba-tiba mendekatiku. Mengatakan ia akan membantuku. Memperlancar urusan pengadopsian asal ada uang banyak. Aku mengangguk. Segera membayar setengahnya dulu. 

 Sehari kemudian, pria itu menemuiku di saat jam istirahat kantor. Memberiku surat pengadopsian Legi. Sudah lengkap, ada tanda tangan pihak terkait. Aku tahu itu aspal, asli tapi palsu. Di situ tertulis lengkap semuanya tentang Legi. Entah bagaimana ia mengarangnya, aku tak peduli. Yang penting, aku mendapatkan apa yang aku inginkan.

  Aku lalu bergegas pulang. Kukabarkan berita gembira ini kepada istriku. Ia tampak muram, sudah tak segembira seperti ketika pertama kali bertemu Legi. Aku mencoba berpikir positif, mungkin ia sedang lelah dan membutuhkan hiburan. 

  Aku pun segera mengajak istri dan Legi liburan ke pantai. Kulihat istriku kembali ceria. Untuk kedua orang kusayangi, aku nekat bolos kerja. Esok harinya, si bos memanggilku. Memarahi habis-habisan. Lalu mengeluarkan SP 1. Aku hanya bisa pasrah. Sebagai hukumannya, aku diharuskan kerja lembur selama sebulan penuh.

***

  Sebulan pun berlalu, aku kembali menikmati kebebasanku dari kerja lembur. Aku berharap bisa tidur nyenyak bangun sekarang. Tapi ternyata tak seperti yang kuharapkan. Karena tengah malam, istriku membangunkanku. 

  “Pa, bangun.” Aku terbangun. Mengucek-ucek mata. 

“Legi tak ada.” Aku terkejut mendengarnya.

“Lho bukannya tidur sama kamu.” Aku masuk ke dalam kamar. 

“Tak ada kan, Pa.” Aku mengangguk. Mendapati tempat tidur kosong.

“Padahal tadi pintunya, aku kunci. Ini kuncinya aku kantongi, masih ada.” Istriku memperlihatkan kunci di saku piyamanya. 

“Terus Legi kemana, Ma?” Istriku menggeleng bingung.

  Aku memeriksa kamar mandi dan dapur. Tak ada Legi di sana. Semua pintu dan jendela rumah juga terkunci. Tak ada yang terbuka. 

“Kemana gerangan Legi?” Aku heran. Malam sudah larut, terlalu berbahaya buat Legi keluar rumah.  

  Istriku mulai menangis sesenggukan. Aku yakin hatinya sudah kesengsem Legi. Ia seperti tak rela Legi pergi dari sampingnya. 

“Pa, lapor Polisi saja.” 

“Jangan dulu, Ma. Kan belum dua puluh empat jam, pasti tak ditangani.” Aku berbohong. Takut surat pengadopsian asli tapi palsu Legi bisa terbogkar nanti.

“Lha terus bagaimana, Pa?” Tangis istriku semakin keras. Aku berusaha menenangkannya. Takut para tetangga yang sok usil menyebarkan gosip kami sedang bertengkar.

  “Legi anak kita hilang. Dia kemana, Pa?” Tangis istriku mulai mereda. Aku terdiam, tak mampu menjawabnya. 

“Sabar, Ma. Papa akan coba cari di sekeliling kampung, siapa tahu Legi ketemu.” Aku mencoba menghibur istriku. Ia hanya mengangguk. Lalu kutinggalkan sendiri, ia di rumah. 

  Sudah dini hari, jam dua. Aku melihat istriku belum tidur. Tampaknya ia masih terus menunggu Legi pulang. Matanya pun memerah seperti menahan kantuk.

“Sampai kapan, kita menunggu Legi. Ma?”

“Entahlah, Pa. Mungkin sampai esok pagi atau lusa.” Aku membaringkan kepalaku di pangkuan istriku.

“Mama masih cinta Papa kan?” Istriku tak menjawab, hanya memghela nafas.

“Walaupun Papa belum bisa kasih anak, Mama masih tetap cinta kan.” Istriku lagi-lagi diam sembari menghela nafas. Diciumnya sebentar keningku. Aku tersenyum. Mata ini sudah tak bisa lagi menahan kantuk. 

  Pagi, jam tujuh. Aku terbangun. Tak lagi mendapati tidur di pangkuan istri, Cuma beralasan sofa. 

“Kemana istriku?” pikirku heran.

“Ma… Ma.” Aku memanggilnya. Tak ada sahutan. Aku heran. suasana tampak sepi. Tak seperti biasanya, terdengar rebusan air di dapur, ketukan pisau memotong sayuran dan adukan sendok di gelas.

  Di atas meja, aku melihat sepucuk kertas putih. 

“Ini dari istriku.” Tulisannya aku hafal benar.

“Maafkan Mama pergi tanpa izinmu, pulang ke rumah orang tua Mama, Pa. Siapa tahu Legi ada di sana.” Aku terkecat membacanya. Ponsel aku ambil, segera menelepon istriku.

“Ponselnya tak aktif.” Aku heran. Tak biasanya, istriku mematikan ponsel.

“Aku harus menyusulnya.” Tanpa sempat berganti pakaian dan mandi, cuma cuci muka, aku pergi mengendarai mobil.

  Di sepanjang perjalanan, aku tertegun. Memikirkan kejadian semalam. Tentang Legi yang hilang, istriku yang tiba-tiba putuskan kembali ke rumahnya. Semuanya membuatku bingung dan pusing.

“Legi…” Aku mengerem mobilku. Melihat Legi sedang meminta-minta di pinggir jalan. Tubuhnya masih tampak kurus.

  Aku turun dari mobil, mendekati Legi. Melihat kedatanganku, raut wajahnya menyiratkan ketakutan. 

“Tak perlu takut, ayo pulang ke rumah.” kataku. Legi menggeleng.

“Kenapa?” tanyaku. Legi hanya diam. 

“Papa nakal ya.” tanyaku lagi. Legi kembali mengeleng.

  “Mama yang nakal ya.” Kali ini ia mengangguk. Aku terkejut.

“Memangnya Mama nakal kenapa?” Lama Legi terdiam. Lalu dengan suara setengah berbisik, Legi mengatakan, “Mama yang usir Legi pergi. Katanya Legi hanya jadi beban saja.” Aku kembali terkejut mendengarnya. Kemudian mencoba bersikap tenang. 

“Ya sudah, kita ke tempat Mama yuk. Supaya Mama mau minta maaf.” ajakku. Legi tersenyum lalu masuk ke dalam mobil. Ia tampak senang memainkan boneka teddy bear pajanganku di atas dashboard mobil.

***

  “Kita sudah sampai.” Aku turun dari mobil.

“Ayo turun, katanya mau ketemu Mama.” Legi menggeleng, ketakutan tak mau turun.

“Di dalam banyak makanan enak-enak, kamu pasti suka.” Legi tetap tak mau turun. Aku menyerah. Berjalan seorang diri menuju rumah orang tua istriku.

  Istriku tak kaget melihat kedatangan aku. Sikapnya berubah dingin. Seolah tak menghendaki aku lagi.

“Ma, ayo pulang, Legi sudah aku temukan.”

“Aku tak mau. Aku ingin di sini saja.” Aku terkejut mendengarnya.

“Kenapa kamu usir Legi dari rumah? Bukankah kamu sendiri yang minta dia jadi pancingan biar dapat momongan.” Istriku tak menjawab. Terdiam cukup lama.

  “Kenapa?” tanyaku lagi.

“Karena hanya kamu yang merasa bahagia bersama anak bukan darah dagingmu. Aku tidak!! He’s your happiness not me...!!” jawabnya penuh emosi.

“Bukankah kamu sudah setuju Legi tinggal di rumah kita.” kataku.

“Aku setuju karena kupikir itu akan membahagiakanku. Tapi ternyata tidak. Kebahagiaanku punya anak dari rahimku sendiri. He’s your happiness not me...!!” sahut istriku kencang sambil memberikan secarik surat.

“Apa ini?”

“Itu dari Dokter kandungan, tadi aku periksa dan ternyata aku subur.” kata istriku lalu menangis sesenggukan. Aku tak bisa berkata apa-apa, pilih diam. 

  “Aku minta cerai, Pa.” Aku terkejut mendengar perkataannya.

“Aku tak mau. Kamu istriku, tulang rusuk yang selama ini kucari.”

“Aku tak peduli. Aku mau pisah, Pa.”

“Aku tetap tak mau, kenapa kamu lakukan ini? Kita masih bisa usaha.” Istri tak menjawab, ia kembali menangis sesenggukan. Tak ada yang bisa aku lakukan selain pergi darinya. Trauma pertengkaran yang lalu masih bergelayut erat di pikiranku. Aku putuskan kembali ke mobil dimana Legi sudah tak sabar menunggu.

  Kini semua jerih payahku selama ini tak ada artinya lagi. Entah berapa kali, aku sudah melakukan segala cara bahagiakan istriku. Tapi inikah balasan yang aku dapatkan? Pantaskah aku menerimanya? Kepalaku benar-benar pening dibuatnya. Kubenturkan kepala ke setir mobil. Berkali-kali. Ingin rasanya cepat menghilangkan pening di kepala ini. Legi terus menatapku. Membuat aku menghentikan tindakan konyolku itu. 

   “Kepala Ayah kan sakit kalau dibegituin.” Pandangannya masih tampak polos. Aku tersenyum. Anak seusia Legi memang belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biarkan saja, dia tak perlu tahu. Biar aku sendiri saja yang menanggung masalah ini.

  “Tok… Tok.” Kaca pintu samping kemudiku diketuk orang. Aku mendongakkan kepala. Kulihat dua orang petugas Kepolisian berdiri.

“Bisa ikut kami sebentar ke kantor, Pak?” pinta salah satu petugas.

“Ada perlu apa ya?” tanyaku balik. Kedua petugas saling berpandangan.

“Kami duga bapak terlibat bisnis pemalsuan surat adopsi anak.” jawab tegas petugasnya. Aku tertegun sejenak. Kupandangi Legi yang ada di mobil. Ia juga melihatku. Lalu kulihat istriku yang berdiri di beranda rumahnya, sesekali mengusap air mata.

“Aku yang menelepon Polisi setelah kamu pergi tadi, Pa.”

“Kenapa kamu lakukan ini?”

“Aku ingin punya kebahagiaanku sendiri.” Aku terdiam menunduk, menghela nafas.

  “Baik, Pak Polisi. Saya akan ikut Anda tapi bagaimana anak saya ini?” tanyaku.

“Kebetulan kami ada Polwan yang ikut. Dia yang bawa Legi ke penampungan sosial.” jawab petugasnya sambil memanggil nama seorang Polisi wanita. Ia lalu membawa Legi keluar dari mobil.

  Awalnya, Legi tak mau. Lalu ia kutenangkan, aku bilang, “Papa tak apa-apa, hanya pergi sebentar.” Akhirnya, Legi pun mau pergi dengan Polisi wanita. Aku menghela nafas. 

  Aku memberi tanda siap berangkat menuju ke kantor Polisi. Sekali lagi, kulihat istriku yang masih berdiri di beranda rumahnya. Tak tampak lagi air matanya, sudah berganti senyuman. Entah apa maknanya. 

Yogyakarta, 14 Desember 2023