Contents
Petualangan Menangkap Capung
Perjalanan Pulang
Jakarta sekarang sudah tidak asik bagi perantau seperti aku ini. Maka dari itu aku memutuskan untuk pulang ke kampungku di kota W, kota kecil diantara jajaran gunung-gunung yang menjulang dari timur ke barat. Kotaku, kota W seperti oase di tengah padang pasir. Sejuk dan menyejukan adalah moto yang terkenal dan sering terdengar. Walau akhir-akhir ini moto itu lebih terasa seperti iklan minuman kemasan yang banyak muncul di televisi. Perjalanan ke kotaku harus menaiki bis antar kota antar provinsi dan menghabiskan waktu satu hari perjalanan. Bis yang kutumpangi sekarang memasuki kawasan Kota W, ingatanku tiba-tiba melayang menuju masa lalu saat aku dan kawan-kawanku berpetualang menangkap capung. Petualangan yang sangat membekas.
Kira-kira dua puluh tahun lalu saat umurku sembilan tahun, seekor burung celepuk bertengger di dahan jendela kamarku. Sejurus kemudian sebuah batu muncul dari luar jendela mengenai burung tersebut lalu mendarat di kepalaku. Alhasil burung itu terbang tinggi dan kepalaku benjol. Sambil kupengangi kepalaku aku melongok keluar jendela. Di depan jendela sudah ada Dio dan Sukari. Tidak tampak diantaranya Mada.
“Jim, ayo cepetan ganti bajumu” terdengar suara Sukari tampak bersemangat.
“Mana Mada?” tanyaku menyelidik.
“Mada ngompol lagi, kita susul ke rumahnya.” Dio mengajakku dengan penuh semanagat.
Aku langsung mengganti bajuku menuju rumah Mada, aku beritahu kalian Mada adalah yang terkecil dari kami dan yang tercengeng, tapi walau begitu Mada adalah yang paling kaya diantara kami. Ia adalah penyuplai makanan kami, penyelamat saat kami kelaparan setelah bermain seharian penuh. Lalu Dio Si Kriting, dia adalah orang yang paling sok tau diantara kami. Tapi dibalik sok taunya yang kadang berlebihan itu ia punya insting yang kuat. Mungking gara-gara kepala depannya yang mirip ikan lohan, sedikit menonjol sehingga membuatnya begitu berinsting tinggi. Diantara kami berempat Sukari adalah yang paling sabar dan paling memperhitungkan sesuatu. Dia adalah penasehat umum saat masalah-masalah berat menimpa kami. Buktinya Sukari sangat sabar berteman dengan orang-orang seperti kami. Sementara aku, Jimmy Suseno Bin Markoni adalah orang yang memegang kendali mereka. Setidaknya menurutku begitu. Aku, Sukari dan Dio sampai di rumah Mada. Kami menunggu di luar pagar rumah Mada, tidak lama Mada keluar menjemur pakaian yang basah karena ompolnya sendiri. Terlihat raut mukanya sangat sedih, pasti ia tertekan karena penyakitnya yang tidak kunjung sembuh itu. Kami sebagai teman yang baik berniat membantu Mada untuk menyembuhkan penyakitnya. Dio mengambil kerikil dan melemparkannya ke arah Mada untuk memberitahu keberadaan kami, Mada menoleh dan aku memberikannya sinyal. Mada mengangguk tanda ia paham maksud kami bahwa kami akan bertemu di pohon kehidupan tepat jam sepuluh pagi.
Pohon kehidupan, Sukari adalah orang yang paling berjasa memberikan nama pohon beringin tua itu dengan sebutan pohon kehidupan. Di bawah pohon kehidupan kami selalu melakukan segalanya mulai hanya sekedar bersantai hingga menyimpan rahasia kami dan mimpi-mimpi kami di masa depan. Oh ya, aku akan kasih tau kenapa pohon itu bisa disebut sebagai pohon kehidupan. Semua bermula dari perbuatan Dio yang sok tahu, dasar brengsek! Suatu hari Dio ingin mengajak wanita paling cantik di sekolah kami bernama Shana, Dio berencana mengajaknya ke acara kesenian rakyat di Balai Desa. Shana adalah gadis pindahan dari pulau M. Namun tanpa sepengetahuan Dio, Shana memiliki seorang Kakak satu tingkat di atas kami dan menjadi centeng di angkatannya. Dio sudah merencanakan segalanya dia akan pergi ke rumah Shana dan melemparkan surat yang dibungkus dengan batu ke kamarnya. Aku heran kenapa dia bisa tau kamar Shana dengan seyakin itu? Aku rasa dia sekarang sudah menjadi penguntit paling handal.
“Tenang kawan, aku akan buktikan pada kalian bahwa Shana akan menemaniku dalam acara kesenian di balai desa besok.” Katanya dengan penuh keyakinan, keyakinan yang akan disesali olehnya nanti.
Dio melanjutkan pidatonya, “Aku akan menulis, Shana maukah kau pergi denganku? Jika iya maka datanglah ke pohon beringin tua. Tertanda Dio Si Keriting.” Masih tetap bersemangat.
Dio berangkat dengan perasaan yakin bahwa dia bisa mengajak Shana, ditemani Sukari ia berjalan gagah seperti Rama menjemput Sintha dan Sukari sebagai Hanomannya. Sesampainya di depan rumah Shana, Dio menunjukan Sukari dimana letak kamar Shana. Kamar itu terletak di pojok kiri bagian atas. Tidak terlalu jelas isi kamarnya yang bisa dilihat adalah daun jendelanya yang terbuat dari kayu berwana putih. Lalu Dio mengambil langkah mundur pelan-pelan sambil memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. Dengan sekali sentakan dia melemparkan batu berisi surat ke arah jendela. Setelah batu itu dipastikan terlempar dan masuk ke dalam, Dio dan Sukari lari kesenangan dia sambil berharap Shana membaca suratnya.
Dio bercerita dengan mengebu-gebu bagaimana dia melakukan lemparan yang tepat sasaran dan dia meyakinkan kami Shana pasti datang. Benar saja tak berapa lama Shana datang, tetapi kedatangan Shana kali ini bersama Kakaknya yang sangat marah karena wajahnya sudah tidak beraturan karena disengat lebah yang sedang hamil. Kalian bisa bayangkan lebah biasa saja sudah sangat menyakitkan jika menggigit, apalagi lebah yang sedang hamil. Kemarahan Kakak Shana itu diakibatkan kecerobohan dan kesok tauannya Si Kriting. Karena, ternyata batu dan surat yang dilemparnya sempat mengenai sarang lebah dekat jendela sebelum akhirnya masuk ke dalam. Dan yang kalian harus tau, jendela itu bukan jendela Shana melainkan jendela kamar Kakaknya Shana. Biar tau rasa kau Kriting sok tau!
Matahari tiba-tiba menjadi sangat terik saat Dick, Kakak Shana menuntut balas. Dio ketakutan setengah mati. Aku merasa dia sudah kapok menjadi orang yang sok tau. Dick meminta sebuah pertarungan satu lawan satu untuk mengganti rugi atas apa yang terjadi kepada wajahnya yang sekarang tidak ganteng lagi itu. Pertarungan tidak bisa dielakan. Dio yang memang tidak bisa berantem total kalah telak. Kami mencoba membantu tapi semua percuma. Badan dan kekuatan Dick lebih besar dan kuat khas orang timur. Bahkan wajahku hingga lebam sampai beberapa hari setelahnya, namun disaat pertarungan yang tidak seimbang itu sebuah keajaiban terjadi. Seperti cerita Daud melawan Talut atau lebih popular dengan sebutan Goliat. Seorang penyabar bernama Sukari menjadi pahlawan kami. Iya, dia Sukari yang berbadan kurus kerempeng seperti kurang gizi itu seolah-oleh mendapatkan seribu kekuatan dari Daud untuk mengalahkan Dick. Semua itu karena karena sebuah kalimat. Kalimat yang bahkan tidak diucapkan oleh Goliat saat mengejek Daud. “Dasar anak pelacur” itulah kata-kata yang keluar dari mulut Dick. Memang sudah beberapa bulan terakhir Ibunya Sukari pergi dari rumah. Dari kabar yang santer terdengar Ibunya pergi dengan laki-laki lain, kabar itu aku dengar dari Ayahku. Dia suka senyum jika menyebutkan nama Ibu Sukari. Kembali ke pertarungan Sukari dan Dick, dengan amarah yang membuncah Sukari memukul Dick tanpa ampun dan tanpa tending aling-aling. Dan pukulan terkhir Sukari membuat Dick kelimpungan lalu jatuh tersungkur dengan hidung yang mengucurkan darah. Kami menang dari pertarungan sengit, dari pertarungan yang tidak mungkin kami menangkan itu. Mulai saat itulah pohon beringin tua itu kami namai dengan sebutan pohon kehidupan, terinspirasi dari Sukari yang sudah memberi kemenangan kepada kami seperti Daud yang menyelamatkan kaumnya.
Akhirnya yang ditungu-tunggu datang. Mada datang dengan membawa plastik hitam yang sudah pasti isinya adalah es manis yang sudah beku. Es itu lalu dibagikannya kepada kami satu-satu. Mada mulai membuka topik untuk menghilangkan kebiasaan ngompolnya itu, sedangkan kami sambil menyedot es mendengarkan dengan seksama.
“Bagaimana caranya aku bisa sembuh dari penyakitku ini. Aku sudah bosan seperti ini terus.”
“Kamu mimpi apa sih saat ngompol?” tanyaku menyelidik.
“Ya, macam-macam. Dikejar kucing, kadang juga dikejar harimau dari hutan di balik lembah sana itu.” jawab Mada mengingat-ingat tregedi di dalam mimpinya.
“Oh ya aku juga pernah memimpikan…” Tiba-tiba Mada tidak jadi meneruskan bicaranya. Aku dan Sukari menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Namun Dio memotong dengan gaya sok taunya.
“Kau pasti memimpikan yu Nem kan?” Aku dan Sukari saling pandang.
Namun kali ini kesok tauannya Dio benar. Yu Nem adalah janda paling ayu dan sexy di kampung kami. Banyak sekali para remaja dan bapak-bapak memenuhi warungnya bahkan tak jarang aku menemui Ayahku makan di sana jika sedang tidak enak makan di rumah.
“Kita harus ketemu Markum” ucap Dio kepada kami.
“Markum si peramal?” tanyaku menyelidik, “Bukannya dia sedikit gini” aku sambil memiringkan jariku di depan dahi kepalaku.
Mada dengan penuh selidik, “Maksudnya dia gila?”
“Dia tidak gila, hanya saja pikiran kita yang tidak sama dengannya” Dio menyanggah, “Dia punya ide-ide brilian untuk menyelesaikan sesuatu. Kalian ingat Shana?” tanya Dio pada kami.
Aku langsung kesal dan bilang, “Bagaimana tidak ingat bahkan sampai sekarang terkadang aku masih merasa sakit di kepalaku. Gara-gara kesoktauanmu itu.” sementara itu Sukari bersungut-sungut.
Dengan tenang Dio berkata lagi, “Bukan itu maksudku, kalian ingat akhirnya aku bisa mengajak Shana ke acara kesenian kan? Ya, walau kakaknya benci dan marah padaku. Itu semua gara-gara nasihat Markum Si Peramal kawan.”
Dio seperti ingin menyombongkan dirinya yang sudah berhasil mengajak Shana dan lupa kejadian sebelumnya yang membuat kami babak belur. Dasar kurang ajar kau Dio. Namun terlepas dari itu semua nama Markum Si Peramal memang sudah menjadi cerita yang melegenda di desa kami. Hampir semuanya tebakannya benar dan tidak sedikit juga yang gagal.
“Mau apa kita ketemu dengan Markum si peramal itu?” tanya Sukari lagi membuyarkan lamunan kami.
Dengan serius Dio berucap, “Kau pernah dengar soal capung biru yang bisa membuat sembuh anak-anak yang suka mengompol. Dia pasti tau tempat capung biru itu berkumpul.”
Mendengar ucapan Dio, aku mengingat sebuah cerita lendaris dari Markum Si Peramal. Menurut cerita Markum capung biru adalah jelamaan dari naga. Naga tersebut membuat takut anak-anak yang suka kencing sembarangan. Lalu sang naga dikutuk oleh raja menjadi capung. Raja mengutuk naga tersebut karena sudah menakuti anaknya yang masih kecil sampai dia tidak bisa kencing lagi. Walau sudah berubah menjadi capung, naga itu masih mengincar anak-anak yang suka ngompol di malam hari dan akan menggigit pusarnya hingga anak yang suka ngompol itu berhenti untuk mengompol. Kami akhirnya sepakat bersiap pergi menemui Markum Si Peramal.