Try new experience
with our app

INSTALL

Petualangan Menangkap Capung 

Kepulangan Ibu Sukari

           Kami berlari sekencang-kencangnya sambil menggendong Mada yang pingsan. Iya, Mada pingsan karena ketakutan setengah mati. Namun aku akui kali ini momen pingsannya tidak tau waktu, kami terpaksa harus menggendongnya. Semua usaha kami lakukan untuk mengusir harimau anakan itu mulai dari melempar semua isi tas kami sampai tidak tersisa apapun tinggal hanya panci dan kompor portable yang dibawa Dio. Terpikir olehku untuk melemparkan panci dan kompor tersebut. Sejurus kemudian panci dan kompor itu sudah terlempar dan tepat mengenai kepala harimau. Kepala harimau tersebut tertutupi oleh panic.  Karena tidak bisa melihat harimau itu berjalan ke samping dan kami akhirnya bisa terlepas dari bahaya. Ini berkat kau panci, kau adalah penyelamat kami.  Terima kasih.  Jasamu akan kami kenang!

          Setelah berlari cukup cepat dan melelahkan kami berhenti untuk membangunkan Mada. Dia terbangun sempoyongan. Kami melihat keadaan sekitar, semua aman kecuali tempat kami berhenti. Kami berhenti di tempat yang tidak tepat. Kami berhenti di rumah yang oleh Markum dilarang untuk melewatinya. Aku memberikan isyarat kepada Dio, Sukari dan Mada yang sudah siuman untuk tenang dan berjalan perlahan. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah itu seperti sebuah benda yang jatuh. Kami terkaget, Sukari mendekati rumah itu dan ingin tau apa yang terjadi. Aku sudah mencegahnya namun dia tetap mau masuk. Akhirnya terpaksa aku dan yang lainnya mengikuti. Sebenarnya rumah itu tidak terlalu menyeramkan karena beberapa bagian masih terawat rapi, tetapi gaya rumah tersebut yang mengesankan seperti rumah berhantu. Sebuah gaya rumah khas jaman kolonial yaitu gabungan kejayaan Eropa dan ketertindasan pribumi. Sampai di depan pintu pelan-pelan pintu dibuka oleh Sukari dan terdengar bunyi “Ngeekk..” Dengan perlahan kami mengikuti, sedangkan Mada menarik bajuku hingga hampir sobek. Di dalam rumah ada koridor yang panjang dan gelap. Saat kami ingin melanjutkan perjalanan, ada sesosok muncul dari ujung kegelapan. Kami berteriak. Sosok yang muncul juga berteriak kencang. Sedetik kemudian aku sadar dia adalah Markoni Susenso,  Ayahku.

“Ayah, Kok Ayah di sini?” aku bertanya heran melihat Ayahku di rumah itu. Bajunya terlihat lecek seperti baju yang belum disetrika. Sejurus kemudian muncul wanita cantik yang wajahnya tidak asing bagiku dan Sukari. Rambutnya kusut berantakan seperti habis bangun tidur.

“Ibu….” Sukari terkaget sejurus kemudian.

Keadaan tiba-tiba sunyi hingga suara kelereng  jika jatuh pun pasti terdengar.

“Eeee..Ayah anu..Ayah sedang cari capung...iya capung!” jawabnya sekenanya sambil melihat capung ditanganku yang sudah terbungkus plasti rapi.

           Udara di kampungku menghembus seperti biasa sejuk dan dingin namun jika sudah terbiasa pasti kalian akan merasa gerah di siang hari. Tiba-tiba bis berhenti dan kondektur berteriak memberitahukan ke penumpang bahwa itu adalah pemberhentian terakhir aku terbangun dari lamunanku dan segera turung untuk pulang ke rumah dan bertemu dengan kawan-kawanku.

SELESAI