Contents
Amorf Part 3: Annoying Boy
Part 4
Entahlah, aku cuma ngerasa… begitu sedih. Sedih karena ternyata ada yang bikin Aira lebih bahagia daripada aku. Padahal aku udah siap-siap biar aku gak sesedih ini. Aku takut, diary, aku takut aku bukan bintang kejora pertama yang Aira lihat di pagi hari. Bintang tanpa kejora hanya akan menjadi bintang biasa, bukan? Astaga, patah hati begini ya rasanya?
Nat menutup diarynya dengan wajah sayu. Ia menatap ke langit-langit kamarnya, menahan agar ia tidak menangis. Natasha gak boleh cengeng. Natasha harus kuat! Nat perlahan mencoba tersenyum dan memasukkan diarynya ke dalam tas putihnya.
Nat terkejut melihat pemandangan di depannya! Pemandangan ruang makan pagi ini benar-benar berbeda: ada Aira yang sedang sarapan roti selai cokelat di salah satu kursi di ruang makannya!
“Aira? Ma, kok ada Aira?” Nat mengernyitkan dahi, benar-benar bingung dan tak mengerti.
Aira hanya nyengir kecil, seperti biasa, tampak tidak merasa bersalah karena sudah membuat Nat begitu galau malam tadi. Bener-bener, deh, Aira! Nat gusar sendiri. “Tante Irma belum cerita ya?” tanya Aira, Nat menggeleng pelan.
Nat menatap Mamanya penasaran, minta jawaban. Mama tersenyum kecil, “Bunda sama Ayahnya Aira pindah ke Jepang, Nat. Aira gak mau ikut karena gak masih betah di sini. Nah, makanya… Mulai hari ini, Aira tinggal di rumah ini, Nat.”
“HAH?!” Nat terbelalak tak percaya. Apa? Aira pindah ke rumahnya? Baru saja dia mau melancarkan rencana menghindari Aira karena takut sedih seperti kemarin, tapi sekarang keadaan malah bikin Aira makin dekat dengan Nat. Apa-apaan ini? Semesta kayak gak mendukung gue move on banget! Gerutu Nat dalam hati.
“Mulut lo jangan mangap segede gitu, dong. Masuk lalet loh!” canda Aira sambil ngakak.
“Gue seatap sama lo? Gak mau. Gak mau. Gak mau!!!” rengek Nat gak terima. Nat kemudian menatap Mamanya dengan tatapan memohon agar rencana itu dibatalkan. “Mama, ayolah! Masa Aira tinggal di sini, sih, Ma?!”
“Ya elah, Nat. Kenapa, sih, memangnya? Lo gak mau deket-deket sama sahabat lo sendiri? Lagian nih ya, uang jajan kita dinaekin dua kali lipat gara-gara duit titipan Nyokap Bokap gue. Enak ‘kan? Lo gak bisa nolak, Nat.”
Nat hanya menggembungkan pipinya. Ia kemudian membuka mulutnya hendak protes saat Mama bilang. “Nat, jangan gitu, ah. Mama sama orang tuanya Aira kan udah kenal deket. Mereka percaya ke Mama kalau Mama bisa jaga Aira. Aira udah Mama anggap sebagai anak Mama sendiri.”
Nat langsung mengatupkan bibirnya. Ia sudah tak bisa berkata-kata lagi kalau Mama yang bicara. Nat begitu sayang pada Mama, begitu sayangnya sampai ia tidak bisa menolak permintaan atau membantah ucapan Mama. “Ya… ya udah…” Nat hanya bisa menghela napas, pasrah.
Nat membayangkan setiap hari bertemu dengan Aira. Satu meja makan, satu atap, satu kamar mandi—soalnya gak mungkin Aira mandi di kamar mandi Bik Anah soalnya gak ada kuncinya. LaluNat membayangkan bagaimana perasaannya setiap malam minggu dia melihat Aira dan Rea pergi berkencan. Lalu… kebiasaan Nat yang gak suka ngunci pintu kamar mandi kalau lagi pup, harus diilangin,deh.
“Nat, lo sampe kapan mau cengok di situ? Ayo berangkat, udah siang.” seru Aira menghapus lamunan Nat.
“Iya, Natasha… berangkat, gih. Udah siang ini, nanti kamu kesiangan lagi. Kesiangan, kok, dijadiin hobi?” Mama geleng-geleng kepala yang membuat Nat nyengir kuda. Ah, Mama emang paling tau, nih, kebiasaan anaknya!
***
Di sekolah Nat, pelajaran olah raga itu dua kali dalam seminggu. Kelas Nat kebagian olah raga hari ini. Anak-anak 3 IPS 2 udah siap dengan seragam olah raganya dan berlari-lari kecil mengelilingi lapangan. Nat masih di ruang ganti sekolah, menyisir rambutnya dan membenarkan poninya yang awut-awutan di depan cermin. “Gue males olahraga,” ujar Neira lesu.
“Kenapa emang? Jangan bilang elo gak sarapan!” tanyaNat yang sibuk membenarkan celana olahraga yang daritadi melorot.
Neira menggeleng cepat. “Gue sarapan kok tadi pagi, pake roti gandum dan black tea.” katanya lengkap. “Tapi, gue gak bawa sunblock. Lupa juga pake BB Cream,” tambahnya.
Rocha melotot. “Duh, gak ngerti lagi, deh, gue sama perubahan sikap lo gara-gara si Patra itu!” Celetuknya sambil memutar bola matanya, jengah. “Sampe kapan lo nyiksa diri lo sendiri? Lo gak begini, Nei.”
Neira hanya terdiam, bingung menanggapi pernyataan Rocha. Ia mengakui juga perubahannya itu dimulai sejak ia resmi jadian sama Patra. Neira sebenarnya risih juga harus terus-terusan diet, menjaga penampilan. Tapi demi Patra, ya… Neira nurut aja.
Nat mengikat tali sepatunya.“Udahlah. Selama Neira baik-baik aja dan ngerasa betah terus-terusan gitu ya…gak masalah ‘kan?At least, Neira bener-bener cantik sekarang.”Hiburnya sambil tersenyum. Mendengar hal itu Neira tersenyum, betul-betul senang mendengar perkataan Nat.
Nat memasukan cerminnya ke dalam loker, lalu menyemprot parfum ke pergelangan tangan dan belakang kupingnya. “Ke lapangan, yuuk!” ajaknya lalu berlari-lari kecil keluar ruang ganti menuju lapangan. Kedua temannya mengikuti dari belakang.
Lapangan SMU YTA, SMU yang termasuk SMA favorit di kota ini. Lapangan tersebut cukup luas, biasa dipakai untuk main sepakbola, basket, voli, atau tenis.Di lapangan tersebut, ada dua kelas yang punya jadwal olah raga hari ini. 3 IPS 2 dan kelas unggulan, 3 IPS 3. Tapi, guru dan lapangannya berbeda. Kelasnya Nat, 3 IPS 2 berolahraga di lapangan basket, dedangkan 3 IPS 3, diajar berolahraga di lapangan voli yang bersebelahan dengan lapangan basket.
Setelah berlari-lari kecil mengelilingi lapangan, Nat duduk bersama Rocha sambil memeluk bola basket sementara Neira tampak berteduh di bawah pohon rindang tak jauh dari sana. Nat menatap anak cowok—khususnya Reo—yang sedang asyik bermain 3 on 3. “Nat… Reo ganteng, ya?” bisik Rocha yang duduk di sebelah Nat.
Nat tidak langsung menanggapi, ia hanya menatap dalam Reo yang tengah melakukan dunk. Nat bertepuk tangan kagum. “Iya, Cha. Reo emang ganteng, pinter, tajir, jago olahraga.” komentar Nat. “Eh, lo naksir?”
“Ye, siapa yang naksir. Justru gue pengen nanya, kenapa lo gak sama dia aja, Nat? Atau lo sama siapa pun, deh, cowok di SMA YTA ini! Biar lo gak galau terus sama Aira!” Rocha kemudian menatap Nat dengan tulus, tampak betul-betul perhatian pada Nat. “Sebagai temen, gue ikut sedih, Nat, liat lo kayak gini. Ngelamun terus… keliatan sedih, tapi berusaha gak nunjukin rasa sedih lo. Lo pura-pura ketawa, pura-pura bahagia, padahal hati lo nggak ‘kan?” tanya Rocha hati-hati, takut-takut ia salah bicara pada teman di sampingnya.
Benar saja, raut wajah Nat mendadak muram. Seperti ada awan mendung yang hampir di hatinya. Rocha terdiam, menunggu Nat menjawab. Nat menatap langit yang biru tanpa awan dengan bibir terkatup rapat. “Cha… Sebenernya, ini bukan kali pertama Aira jatuh cinta sama cewek. Dia dulu pernah jadian sama banyak cewek. Tapi gue tau itu cuma maen-maen doang buat dia. Pas dia jadian sama Rea, entah kenapa, gue ngerasa dia gak maen-maen. Dia keliatan serius, Cha, sama Rea. Gue takut, Cha. Gue takut kehilangan Aira. Begitu sayangnya gue ke Aira sampai dada gue sesak, gue gak bisa kehilangan sahabat sebaik Aira,” ujar Nat panjang lebar sambil menatap langit.Ah, kenapa begitu sulitnya mengikhlaskan sosok Aira kepada perempuan lain.
Rocha menatap Nat lekat. “Natasha… lo gak akan kehilangan dia. Secinta apapun Aira sama Rea. Dia sayang sama lo. Lo berdua saling butuh, saling sayang, dan selalu ada buat satu sama lain,” hibur Rocha sambil tersenyum tulus.
Nat mengangguk, seakan setuju dengan perkataan Rocha. “Seindah itu, ya, persahabatan gue sama Aira, Cha. Gue selalu suka kalo bareng Aira. Rasanya kayak gak ada di taman bermain. Gue bisa ketawa, teriak, nangis, main. Sepuasnya! Aira gak pernah membosankan.”
Rocha tersenyum. “Selama ini Aira udah jadian sama berpuluh-puluh cewek. Sedangkan elo belum pernah jadian sama sekali. Bukan karena elo gak ada yang mau, tapi karena…”
Nat tak sabar menunggu lanjutan ucapan Rocha.
“Karena lo setia nungguin Aira sampai Aira sadar bahwa elo cinta sama dia. Gue salut banget sama lo.”
Nat tersenyum, tapi kemudian ia menjitak Rocha. “Sok tau lo!”
Rocha mengelus-ngelus kepalanya sambil geleng-geleng kepala. Entah apa yang harus Rocha lakukan biar Nat benar-benar mengakui kalo dia cinta pada Aira. Saat itu pula Rocha merasa tenggorokannya begitu kering. “Eh, Nat, gue ke kantin ya. Sumpah haus banget! Mau nitip gak?” tawar Rocha.
“Engg… jus stroberi aja,” sahut Nat sambil menyerahkan selembar uang gocengan pada Rocha. Rocha kemudian berjalan ke kantin dengan sedikit berlari.
Nat kemudian termenung di sisi lapangan. Tiba-tiba ia kepikiran juga kata-kata Rocha, apa bener kalo dia cari gebetan baru, dia bisa berhenti mikirin Aira. Tapi siapa? Nat tadinya rada ada feel gitu ke Ibet. Tapi Ibet? Nyebelinnya setengah mampus. Ilfil deh jadinya. Tapi Nat akui, kalau Ibet minta maaf ke dia, kemungkinan Nat naksir ke dia. Soalnya, Nat paling suka cowok yang mengakui kesalahan.
Nat geleng-geleng kepala, seperti melawan pikirannya sendiri. Kayaknya Ibet gak gitu, deh. Nat punya kesimpulan mengenai sifat Ibet. Yang pertama, hemat bicara, dia kira ngomong pake pulsa apa, dasar! Yang kedua, SOK COOL gimana gitu. Tapi Nat akui, sifat cool-nya Ibet emang bikin dia tambah keren. Yang ketiga, BANCI!! Cowok mana yang gak berani ngakuin kesalahannya kecuali cowok yang gak jantan? Berarti Ibet banci kan? Yang terakhir dan yang paling Nat gak suka…MULUT Ibet tuh TAJEM. Gak peduli orang itu siapa… dia seenaknya aja ngehina. Sialan! Mungkin Ibet kira dia manusia sempurna dan yang laen cuma cecunguk yang emang pantes disompralin.
Tanpa Nat sadari, sebuah bola voli meluncur cepat kearahnya. BUAGH! Bola itu mengenai kepala Nat. Pandangan Nat pun berubah gelap.