Try new experience
with our app

INSTALL

Di Penghujung Senja 

04 — Tiur Pingsan

Jeff ingin pulang sedari tadi, tapi mengurungkan niatnya karena cerita Tiur lebih menarik daripada panggilan telepon sang Ibu.

Jam 19: 55, masih terlalu dini kan untuk pulang? Jeff memang anak yang patuh, tapi bukan berarti kebebasannya juga harus diatur oleh orang tuanya. Kadang Jeff jengkel sama kehidupannya yang terkungkung. Ibarat Jeff Yajuj Majuj, begitulah terisolir dirinya. Dibatasi oleh dinding penghalang. Sikap aneh kedua orang tua, pastinya.


 

Jeff memperhatikan rahang gadis di sebelahnya yang tertutup jilbab cokelat. Penutup kepala yang sama seperti dua hari lalu dilihat. Sementara mereka bicara di depan rumah sambil melihat halaman kecil, Tyas di dalam berusaha memejamkan matanya sambil mendengarkan radio. Hanya itu yang bisa dia dengar, kalau menonton akan lucu rasanya saat adik buta itu lakoni. Memangnya apa yang bisa dia lihat dari dunia gelapnya?

“Kalian hanya berdua?”


 

“Ayah dan Ibu meninggal saat Tyas baru berusia beberapa bulan.” Tiur menjelaskan, tanpa ragu membuka tabir kehidupan pada pria yang baru tiga hari rajin menemui Tyas. Katanya sahabat sang adik. “Kala itu aku berusia tiga belas tahun. Aku masih polos, masih terlalu dini untuk tahu akan arti hitam putihnya hidup ini. Warna pelangi, hujan, mendung, awan dan segala hal tentang dunia. Namun detik-detik itu, nasib nahas menimpa keluarga kami. Ayah dan Ibu meninggal di kamarnya, Tyas terjatuh dari ayunan, darah bersimbah di lantai, gadis kecil hanya meringkuk menangis dan ketakutan melihat semua kejadian itu. Perampokan, semua harta benda di rumah ini habis dijarah. Saat itu aku mencoba berteriak, sayangnya tiga pasang sepatu bot menerjang kaki lemahku. Tulang-tulang rapuh itu patah, tanpa bisa dikembalikan ke semula. Walau demikian, gadis kecil nan polos masih berusaha berjalan tertatih-tatih. Meraih tangan Ibu dan Ayahnya. Dia ....”

Jeff memejamkan matanya sekilas, mencoba merenungi nasib apa selanjutnya yang terjadi pada kedua anak polos tanpa sentuhan orang tua bertahun-tahun silam. Tiur mengusap air matanya, sebelum luruh di atas jilbab kusam. Jeff melihat, terulur sudah tangan itu mengambil tisu, menyodorkan kertas lembut pada lawan bicara.


 

“Jangan dilanjutkan lagi jika tidak kuat.”


 

Tiur menggeleng, “Aku harus menceritakannya, sebelum semua ini terlambat. Agar kelak di kemudian hari, ketika aku meninggal, biarkan Tyas tahu seperti apa kehidupannya saat kecil. Aku ingin dia tahu, kalau dia memiliki kakak yang juga sama cacatnya dengan dia. Aku ingin dia ....”

Cepat-cepat Jeff meraih dua lembar tisu lagi dari tasnya. Sekalian sama bungkus tisu Jeff berikan pada Tiur. Darah segar mengalir di sela hidungnya. Amis. Jijik untuk dilihat, namun anehnya Jeff malah seperti terbiasa melihat darah berbau menyengat tak enak ini. Baunya hampir sama dengan bangkai, tapi lebih baik sedikit tetesan darah yang terjatuh di kulit tangan Tiur daripada bau bangkai hewan. Seperti dua pekan lalu, dia ingat betul. Di gorong-gorong komplek perumahan, bangkai anjing membusuk di dekat taman umum. Sial. Aromanya masih terngiang di kepala Jeff.

“Kamu nggak apa-apa kan?”


 

Tiur menyeka air matanya berikut dengan darah di hidung. Tersenyum murah, seolah tadi itu hanya simulasi untuk memacu jantung Jeff. Terlalu muda bagi Jeff untuk jadi tersangka kalau lawan bicaranya kenapa-kenapa.

“Mari akhiri perbincangan malam ini. Jeff, pulanglah, sudah larut. Tidak enak dilihat tetangga kanan kiri.”


 

Jeff meneguk ludahnya, memahami maksud Tiur. Diraihnya ransel kulit, berlalu pamitan tanpa berujar pada Tyas yang masih setia ditemani oleh radio jadulnya keluaran tahun 90-an. Tiur berjalan ngesot di lantai, masuk ke dalam, mengunci pintu. Begitulah yang dia lakukan, sebelum Jeff itu tahu kalau sebenarnya tadi Tiur pura-pura bisa berjalan agar tidak menyusahkan pemuda itu.


 

•••••


 

Ini aneh, sangat aneh. Berulang kali Jeff bergumam pelan prihal cerita Tiur tadi. Bukan apa-apa, dia mau bercerita seolah mereka teman lama yang cukup dekat. Padahal mereka kan tidak sedekat ini. Perampokan, pembunuhan, semua terjadi tujuh tahun silam. Sesadis itukah pelaku tega membunuh Ayah dan Ibu Tiur?


 

Lima menit lagi Jeff sampai rumah, dia masih di trotoar jalan komplek. Rumah terang benderang layaknya istana negara terlihat di depan mata. Rumah orang tuanya, yang sebentar lagi sang Ayah akan menyuruh sopir menjemput Jeff.


 

Terlalu protektif. Banyak di luar sana orang-orang memiliki anak tunggal, tapi tidak seperti orang tua Jeff. Apa-apa harus dibatasi. Jeff tidak akan menyelinap masuk ke rumah secara diam-diam. Dia bukan pencuri. Dia bukan maling yang harus mencongkel jendela kamar tamu agar bisa masuk.

Namun konsekuensi tetap konsekuensi. Pulang larut itu artinya siap diinterogasi. Dari mana kamu Jeff? Kenapa pulang lama? Dan masih banyak pertanyaan yang bakal muncul dalam otaknya. Jeff hapal betul setiap kalimat runtut itu terlontar nantinya.


 

Benar. Dugaan itu tidak salah. Mereka di sana. Mereka sedang sibuk di ruang keluarga. Bercengkrama. Bercanda ria. Tertawa lepas. Sumbang, Bungah, membuncah sudah gelak tawa. Kedua orang tuanya sibuk pada curhatan hati masing-masing.


 

“Jeff, kemari.”


 

Pemuda ini berbalik, sebelum sampai di lantai dua ke kamarnya. Mulut Jeff ditahan agar tidak mengucapkan apapun yang akan membuat perdebatan nantinya. Biasanya Jeff diam kalau diomeli. Cuma batas manusia itu kan ada wajarnya, dia juga bosan kalau diceramahi terus menerus. Maaf, Jeff bukan bocah. Jeff sudah cukup dewasa, berpikir ke mana tujuan hidupnya berlabuh.


 

Jeff duduk di sebelah Ibu. Dua pasang mata telah menatapnya lamat-lamat. Satu menginterogasi, satu terpatri memperhatikan perubahan bentuk tubuh dan wajah Jeff yang makin hari tumbuh dewasa. Ah, Ibu merasa kalau anak kecil yang dulu merengek-rengek minta dibelikan robot-robotan saat ini sudah besar hanya dalam hitungan naik turunnya matahari. Siang-malam dilalui, ternyata pemuda itu sudah terlihat gagah. Dulu saat kecil, tubuh Jeff ringkih, Kurus. Sekarang? Wah, bahkan proposional tubuh saja sudah mirip model papan bawah yang tengah naik daun pisang.


 

“Akhir-akhir ini kamu pulang malam tanpa memberi kabar. Kamu sedang ada masalah?”


 

Jeff menggeleng pelan, “Nggak. Cuma ada tugas tambahan dari dosen pembimbing. Mau nggak mau Jeff harus ke perpustakaan kampus, ngerjain semua tugas tambahannya.”


 

“Bukan karena lagi menyembunyikan sesuatu?” Ibunya menyahut. Jeff tetap mempertahankan mimik wajah datar.


 

Ah, mereka bertanya tentang prilakunya, bukan mengajak berdebat kusir yang membuat Jeff pusing. Sejenak mengambil napas. Jeff menggeleng, menandakan tidak ada yang dia sembunyikan. Apanya yang dia sembunyikan? Rahasia? Bahkan Jeff tidak punya rahasia yang harus dipendam seorang diri.


 

“Nggak ada, Ma. Mungkin sekarang akhir semester, makanya dibuat kalut sendiri sama urusan pribadi.”


 

•••••


 

Hari-hari Tiur dan adiknya, tidak ada ubahnya seperti hari-hari yang telah mereka lalui. Tidak ada ke sekolah, tidak ada yang bekerja mencari uang dan semacamnya. Tidak ada hari-hari spesial yang mereka lalui. Kecuali saat Ramadhan, itu hari ter-spesial menurut Tiur dan Tyas. Karena hari itu, mereka akan dapat makanan nikmat dari para tetangga. Kolak pisang, kolak ubi, gorengan dan semua takjil lezat tersedia di meja makan mereka. Berbuka nikmat, mengucap Hamdallah, mengusap wajah penuh haru. Setidaknya Tuhan masih berbaik hati dengan memberikan cukup rezeki untuk duo yatim-piatu.


 

Tiur pernah dengar saat guru agama SD-nya dulu bilang—kalau “Tuhan tidak akan menguji hambanya melebih kemampuannya.” Tiur percaya, Tuhan yang maha Esa sedang merencanakan hal terindah dalam hidupnya.

Sepagi ini Tiur mati-matian berjalan sambil memapah penyangga (tongkat skruk) agar kakinya tidak terasa ngilu. Membawa ember plastik hitam berisi pakaian, Tiur menjemur di penyepian pakaian yang terbuat dari seutas tali tambang kecil. Dari ujung jambu klutuk sampai di dinding rumah tetangga yang langsung menempel dengan pagar rumah Tiur. Di sana membentangkan tali jemuran berwarna biru langit.


 

Sesekali Tiur mendesis sakit. Ngilu kakinya. Ini rasanya seperti balok es sedang diletakkan di kaki. Tyas duduk di ayunan di bawah jambu klutuk sambil belajar berhitung. Jika saja dia bisa melihat, mungkin tahun ini Tyas bakal sekolah.


 

Uang? Tentu Tiur punya uang. Ayahnya dulu mantan pekerja perusahaan asing. Meninggalkan kekayaan dalam bentuk klaim asuransi jiwa. Asuransinya berhasil dicairkan pihak pengadilan, dan uang ini yang digunakan untuk membiayai kehidupan mereka.


 

Satu fakta yang belum pernah Tiur katakan pada adiknya. Hingga saat ini, Tiur akan tetap merahasiakan fakta bahwa dia mengidap kanker darah stadium lanjut. Itu Tiur tahu sudah lama, cuma saja merahasiakan adalah jalan terbaik. Buat apa berobat, kalau ujung-ujungnya nanti pakai uang dari klaim asuransi. Kan sayang uangnya kalau habis begitu saja. Sembuh nggak, nyusahin dan melarat itu sudah pasti. Mereka juga kan masih punya kehidupan esok. Perlu duit untuk makan. Prinsip ekonomis Tiur benar-benar patut diacungi jempol.


 

“Tyas.”


 

Yang dipanggil, segera menajamkan pendengaran, mencari sumber suara. Jarak keduanya hanya beberapa meter. Tiur selesai menjemur kain basah, tapi tiba-tiba merasa kepalanya pusing. Dunia berputar, matanya mulai buram. Sakit sekali rasanya di kepala. Bagai ditusuk ribuan jarum.


 

“Kakak di mana?” Tongkat penuntun Tyas dipukul kuat di tanah, supaya tahu di mana letak sang kakak. Detik selanjutnya Tiur mulai linglung, terjatuh di rumput depan rumah.


 

Tongkat Tyas memukul ember, suaranya cukup nyaring terdengar. Kaki Tyas tidak sengaja menendang perut kakaknya, Tyas tersungkur. Namun sadar sekarang kalau dia telah mendapatkan kakaknya tergeletak pingsan.

“Kak Tiur kenapa? Kakak bangun.”