Try new experience
with our app

INSTALL

CODET 

Part 5

  Pintu langsung ada yang membuka. Masuk Dina putrinya yang kedua. Dengan nafas tersengal-sengal dan panik dia terus nyerocos ngomong…. “Bu, Diana kejang-kejang di depan mushola, orang-orang bilang kena corona.. Cepetan Bu ayo kesana..” Wanita bergegas keluar bersama Dina anaknya. Codet pun keluar dari sembunyiannya. “Kamu tunggu di rumah ya” “Iya Bang” jawab Damar sambil terus makan mie rebus Codet keluar dari bedeng mengikuti Wanita itu bersama anaknya berjalan menuju mushola. *** Di depan mushola sudah berkerumun melingkar tapi berjauhan satu sama lain hanya memandangi Diana yang terkejang-kejang dan nafas tersendat. Riuh rendah suara-suara mereka. 

  Ada yang bilang jangan deket-deket ntar ketularan corona. Kasihan tuh anak. Ketular dimana ya. Siapa tadi yang deketan sama dia. Udah ada yang telfon ambulance belum. Pak RT setempat dan perangkatnya mengamankan area itu. Remaja pengajian disuruh pada bubar. “Pada pulang semua, ayo pada pulang, jangan pada nonton” “Sudah telfon Rumah Sakit Pak RT?” “Ambulance sudah dikirim, bantu bukain jalanan saja supaya ambulance mudah masuk” Perangkat RT berusaha membubarkan orang-orang. Tapi orang malah pada megang hape merekam kejadian itu bikin konten masing-masing. Tak lama terdengar suara raung ambulance. Keluar dari ambulance petugas yang berseragam seperti astrounot standar pelayanan penanganan penderita corona. Mereka membawa tandu. Proses pengangkutkan dilakukan dengan seksama. Diana diletakkan diatas tandu dan dibawa masuk kedalam ambulance. Sementara area tempat mushola ada yang menyemprot disinfektan. Proses ritual penanganan itu berjalan dengan ringkas dan cepat. 

  Ambulance menyeruak kumpulan warga yang masih keranjingan membikin konten pakai handphone nya masing-masing hingga ambulance keluar ke jalan raya. Bertepatan dengan itu, Ibunya Diana, Dina dan Codet sampai di area mushola dari arah belakang sehingga ketinggalan moment itu. “Dibawa kemana anak saya Pak RT?” “Sudah dibawa ambulance ke Rumah Sakit, kita doakan saja semoga tidak terkena corona” “Anakku…” “Ibu di rumah saja berdoa. Ibu tidak boleh menemaninya sama pihak Rumah Sakit” “Anakku…” “Khawatir nanti ibu terkena virus corona” “Dina, bawa ibumu pulang Nak” Wanita itu meneteskan air mata. Codet meliriknya. Merasakan pilunya seorang ibu yang anaknya terkena corona dan tidak bisa bertemu. Wanita itu terus berjalan dan berjalan tanpa henti menuju jalan raya diikuti Dina, anaknya “Anakku…. Anakku….” “Ibu… Ibu… Ibu mau kemana?” Belum sampai jalan raya wanita itu semakin rapuh. Kakinya gemetaran. 

  Dan tiba-tiba terjatuh. Dina dan Codet mengangkatnya untuk berdiri lagi. “Dina, kamu pulang, jaga adikmu di rumah” “Ibu mau kemana?” “Biar ibu ditemani Abang ini ke Rumah Sakit” Codet membangkitkan Wanita itu. Memapahnya hingga jalan raya. Dina masih terpaku memperhatikan ibunya. Ibunya menoleh melambaikan tangannya mengkode supaya Dina pulang. Taksi yang lewat dicegat Codet untuk berhenti. Codet memapah Wanita itu sampai ke masuk ke dalam taksi. Begitu taksi itu jalan kembali, Dina baru balik badan untuk pulang. *** Taksi sampai di depan Rumah Sakit. Wanita itu buru-buru keluar dari taksi tanpa menunggu Codet. “Aduh saya belum ambil ATM, Bapak tunggu disini sebentar ya, saya ambil uang dulu di ATM” Codet keluar dari taksi mengejar wanita itu. Taksi kelihatan cari parkir yang mudah dicari. Wanita itu sudah terlebih dulu di depan resepsionist Rumah Sakit. “Anak saya dimana..dimana anak saya Suster” “Siapa namanya Bu?” “Diana Sari.. katanya kena corona dibawa kesini” “Codet yang sampai disampingnya menimpali “Baru dibawa ambulance dari Rumah Sakit ini” “Silakan tunggu ya Bu, satu atau dua jam lagi saya kabari” Codet membawa Wanita itu jalan menuju tempat duduk di ruang tunggu. 

  Beberapa remaja berbondongan masuk Rumah Sakit langsung menanyakan dimana ruang UGD. Seorang suster menunjukkan arah jalan ke UGD. Remaja-remaja itu menghambur ke UGD. Salah satu remaja terhenti. Perlahan mengamati wanita yang duduk bersama Codet. Dia mengeluarkan handphone nya dan mencari tiang tembok untuk sembunyi. Camera handphone nya diarahkan ke tempat Codet dan wanita itu. Mereka berdua difoto tanpa sepengetahuan Codet maupun wanita itu yang sedang bersedih hatinya. Pacar remaja itu menghampirinya. “Motret apaan lu?” “Lihat, wanita ini yang menjual motor sama Boni, terus motornya yang dijual wanita ini dibawa kabur sama Boni, malamnya Boni lehernya ditusuk belati. Pasti laki-laki biadab ini yang membunuh Boni.” “Terus ngapain mereka ke Rumah Sakit? Mau jenguk Boni?” “Egak. Dia mau cari mati. Ayo kasih tahu temen-temen Genk kita” Kedua remaja itu melanjutkan tujuannya berjalan menuju ruang UGD, meninggalkan Codet dan Wanita itu yang sedang menunggu kabar tentang apa yang diderita oleh anaknya Diana. “Kenapa orang susah seperti saya ini terus menerus dilanda kesulitan. Kenapa Diana anak saya juga terkena corona. Apa salah kami ya Allah” “Gak ada yang salah. Gak usah kuatir sama Diana. Dia pasti bisa sembuh. Kita cari jalan sama-sama.” “O ya sampai lupa nanya nama kamu siapa?” “Panggil saja Codet” “Gak mau manggil itu, nama dari orang tua kamu siapa?” “Saya dari lahir sudah tidak punya orang tua” “Masa gak ada yang ngasih nama” “Seingatku namanya saya Saeful” “Saeful siapa?” “Kalau gak salah Saeful Jihat” “Kok kalau gak salah, emang sama kayak aku ya” “Sama kenapa?” “Sama-sama tidak punya KTP” Codet tersenyum. 

  “Iya KTP saya buang waktu …” “Waktu apa?” “Waktu masuk tahanan” “Kamu napi yang dibebaskan itu?” Codet menggangguk “Udah kapok belum?” “Semua orang intinya pingin hidup baik tapi sering keplesetnya dan gak mati-mati, kata temenku nunggu kita perbaikan dulu” “Jadi kalau udah bener baru mati, kalau pingin hidup terus ndablek aja terus gitu” “Saya gak tau pasti, itu kata temen saya” “Hmmm mungkin bener juga sih, bumi ini bengkel untuk manusia, yang rusak-rusak dibenerin biar jalan lagi, kayak kamu” Codet tersenyum sekali lagi. Wanita itu pinter membuat Codet tersenyum sehingga membuat Codet betah bersamanya. “Kamu belum ngasih tahu nama kamu” “Panggil saja Nur kalau manggil Jannah kan susah” “Nur Jannah?” “Ngomong-ngomong sudah berapa hari kamu dibebaskan?” “Mmmm” tampak wajah Codet menghitung hari. “10 harian mungkin, sebelum puasa” “Kenapa bisa sampai ketemu saya? Mau cerita ke aku gak?” “Kep-poh” “Banget” “Kamu gak takut cerita dunia hitam, serem, sadis tapi memang harus begitu.” “Gak usah panjang-panjang, dari kamu dibebasi corona aja” “Boleh.. Semua napi pasti berakal bulus.. kalau gak susah bebasnya lagi.. aku rajin ikut jamaah sholat di penjara sekalipun semua bacaan sholat gak ada satupun yang hapal. Jadi cuma ikutan-ikutan aja. Kalau semua nunduk apa tuh namanya” “Rukuk?” “Iya gitu, kalau semua rukuk ya ikutan rukuk kalau sujud yan ikutan sujud. Nengok kanan kiri. Salaman. Udah lama-lama nilainya bagus kan. Tapi lucunya waktu tadi di Masjid aku mau sholat aku baru sadar kalau aku gak hapal satu ayatpun.” “Kamu ke Masjid mau tobat?” “Enggak” “Lalu?” “Aku merasa konyol dah menjual alat sholat untuk makan” “Gimana ceritanya bisa gitu?” “Dari aku dibebaskan temenku ngasih sarung sama peci. Tapi nyari-nyari kerja ga ada nyari duit ga dapet ya aku jual. Tapi jadi merasa bersalah, ke Masjid pingin doain yang kasih sarung sama peci. Aku gedor-gedor pintu Masjid mau masuk mau buka-buka Al Qur an semua Masjid digembok juga pintu-pintunya terkunci.” “Kan lagi Corona Bang jadi dikunci jangan baper deh apa kuper nih” “Waktu keluar ada pegawai tahanan yang temen panti asuhan dulu, dia jadi pegawai tahanan dan baik banget. 

  Dia yang menyodorkan supaya saya ikut asimilasi pembebasan napi. Waktu keluar juga ngasih saya kopiah baru masih kardusan. Sarung baru masih kardusan. Ngasih duit. Dia ngomong gini. Aku ngarepin bisa sholat sama kamu lagi suatu saat. Dia sangat yakin dia sangat ngarepin berubah. Tapi 10 hari cari kerja tambah susah kan, uang yang dikasih habis. Sarung peci baru ya akhirnya saya jual untuk ulur hidup. Dia sebenarnya juga bilang, apapun berapapun kapanpun aku butuh sesuatu disuruh datang ke rumahnya. Kalau gak bisa makan suruh datang ke rumahnya atau ke kantornya. Dia janji akan mengusaha memberi apapun yang saya butuhkan. Tapi aku gak mau nyusahin orang. Apa yang dikasih sudah lebih dari cukup” “Baik banget temen kamu” “Salahudin memang baik banget, saya juga paling bisa bales doain dia masuk sorga biarpun saya masuk neraka” “Hush ngaco ah ngomongnya, ngomong itu yang baik-baik, kata pak Ustadznya Diana, omongan itu doa, ngomong yang baik supaya doain diri kita juga” “Iya Nyai” “Ih manggilnya Nyai, Nur nama gue” “Tapi kan gak punya KTP” “Sama kayak kamu” “Emang kamu tinggal dimana..?” “Dibawah kaki langit, diatas bumi manusia” Nur memandanginya dengan mendalam. Dibalik tampangnya yang keras itu ada aura kebaikan. “Terus setelah ini mau tinggal dimana?” “Dimana saja yang bisa aku tinggali” Sekali lagi Nur memandanginya penuh rasa yang berbeda.